Annette mengangkat alisnya sebal. “Lalu?”
Linz mengedik ke arah jendela, memandang jauh ke seberang jalan. “Kau seperti sedang mengamati mobil hitam di seberang sana.”
“Jangan mengarang cerita.” Annette mendengus malas. Padahal dalam hati ia mulai kebat-kebit. Mengapa Linz bisa secermat ini dalam menganalisis tingkah lakunya? Ia sampai tidak bisa menyembunyikan rahasia apa-apa dari sahabatnya itu.
“Aku bicara kenyataan. Berdasarkan pengamatanku,” balas Linz sombong.
“Oh, ya?” sahut Annette sebal.
Linz melirik jam di tangannya kemudian kembali menjabarkan analisisnya.
“Sejak aku datang pagi ini, yang artinya sudah sekitar empat jam, mobil itu sudah ada di sana. Pengemudinya terus diam di mobil dan tidak beranjak sama sekali. Lalu kau …,” Linz memajukan tubuh hingga wajahnya berdekatan dengan Annette, menatap penuh curiga, kemudian menjentikkan jari di hadapan gadis itu. “Sejak tadi, setiap sepuluh menit sekali kau akan menatap mobil itu.”
Annette menatap horor pada Linz. Bisa-bisanya Linz mengetahui semua itu. Benar sejelas itukah kelakuannya? Betapa memalukan!
Linz tersenyum penuh kemenangan melihat Annette tidak berkutik untuk membantah teorinya. “Diam berarti mengiakan teoriku.”
“Aku lelah menghadapi mulut usilmu, Linz,” sahut Annette ketus kemudian mendekatkan buku sketsanya ke wajah Linz. “Sudah kukatakan aku sedang memikirkan rancangan untuk Lady Minerva.”
“Mengelak berarti membuktikan teoriku benar.” Kini Linz tergelak kencang.
“Linz!” seru Annette geram. Sulit sekali memenangkan adu mulut dengan Linz. Namun anehnya, sampai hari ini ia bisa bertahan bersahabat dengan gadis itu.
Linz mencolek dagu Annette untuk menggodanya dan membuat gadis itu semakin kesal. “Tidak adakah yang ingin kau ceritakan, Sayangku?”
“Tidak ada.” Annette menepis tangan Linz dari wajahnya.
“Tapi aku bisa mendengar bisikan hatimu,” goda Linz lagi.
“Linz …,” keluh Annette lelah. Tanpa keusilan Linz pun kepala Annette sudah terasa pengar sejak pagi tadi. Kini rasanya kepala Annette seakan siap meledak.
“Ceritakan saja.” Linz mengedip jail. “Aku tahu kau tidak sanggup menyembunyikan hal sekecil apa pun dariku.”
Annette mengembuskan napas kencang-kencang. Dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Linz. Tidak ada satu hal pun yang dapat ia tutupi dari ketajaman mata dan mulut Linz.
“Pria itu …,” ujar Annette sambil menatap ke seberang jalan. “Aku bertemu dengannya kemarin.”
“Di mana?” Kadar keusilan Linz langsung meningkat tajam. Jarang sekali ia mendengar Annette bertemu dengan seorang pria, hampir tidak pernah bahkan.
“Di pernikahan Tuan William.”
“Sedang apa dia di sana?” tanya Linz penasaran.
Annette mencoba mengingat hal yang terjadi kemarin dan ia tidak bisa memutuskan apa yang Aaron lakukan kemarin di dekat kapel. Ia hanya sempat melihat Aaron termenung di tengah jembatan, lalu mereka kembali bertemu di depan butik. Itu saja.
“Entah,” gumam Annette bingung.
“Lalu apa yang membuatmu terganggu? Bisa-bisanya seorang asing memengaruhi pikiranmu, hm?” ujar Linz bingung. Annette yang ia kenal bukanlah gadis yang mudah tergugah hanya karena pertemuan singkat dengan seorang pria. Pria yang sudah berbulan-bulan melakukan serangan gencar saja tidak pernah berhasil menarik perhatian Annette.
“Tatapan matanya yang membuatku tidak bisa lupa,” jawab Annette sambil membayangkan tatapan Aaron.
“Karena?”
“Tatapan matanya begitu sedih. Begitu mendamba. Penuh kesakitan. Juga kesepian.” Entah mengapa hatinya tiba-tiba terasa dingin setiap kali membayangkan tatapan Aaron.
“Mendalam sekali ceritamu itu,” sindir Linz.
“Masih mau kulanjutkan atau tidak?” ancam Annette sebal.
“Tentu, Nona Cantik.” Linz langsung memasang senyum semanis mungkin meski jatuhnya malah terlihat sangat menyebalkan. “Lanjutkan kisah sedihmu itu.”
“Tengah malam tadi, mobil itu tiba-tiba datang. Hanya berhenti sebentar, lalu pergi lagi. Dan pagi ini, mobil itu kembali. Terparkir di sana. Selebihnya, kau tahu sendiri.”
“Dan bagaimana kau bisa tahu semalam dia datang?” tanya Linz curiga.
Ah! Salah besar! Annette lupa dengan siapa dia bercerita. Lupa betapa telitinya Linz mendengarkan cerita orang lain. Dan lupa betapa usilnya gadis itu.
“Aku belum tidur,” sahutnya datar.
“Apa yang kau lakukan di tengah malam, hm?” Suara Linz terdengar semakin curiga.
“Aku tidak bisa tidur.”
“Karena?” cecar Linz.
“Kau terdengar seperti ibuku, Linz!” protes Annette sebal.
Perlukah ia ceritakan bahwa beberapa tahun terakhir tidurnya memang tidak pernah nyenyak. Bahkan lebih tepat dikatakan jika Annette selalu mengalami kesulitan tidur di malam hari. Ada perasaan cemas selalu membayangi setiap kali ia akan memejamkan mata. Ada perasaan sedih yang menyayat hati tanpa Annette tahu alasannya. Dan ada sosok tanpa wajah yang sering kali hadir dalam mimpinya setiap kali Annette tertidur.
Linz berdecak tidak sabar. “Jawab saja, Anakku!”
“Entah. Perasaanku tidak enak sejak pertemuan dengan pria itu. Hatiku terus gelisah.” Perasaannya semalam benar-benar parah. Jauh lebih kacau dibandingkan malam-malam biasanya. “Aku tidak bisa melupakan tatapannya.”
“Bisa-bisanya kau memusingkan tatapan sedih pria itu,” sungut Linz jengkel. “Seharusnya kau pikirkan keselamatanmu!”
“Kenapa malah keselamatanku?” tanya Annette bingung.
“Kau ini terlalu lugu, Ann!” Linz mengerang frustasi. Gadis mana yang tidak sadar akan bahaya ketika ada seorang pria yang menguntitnya? “Apa kau tidak takut kalau dia memiliki niat jahat padamu?”
“Anehnya tidak.” Annette menjawab jujur. Bukan berarti Annette tidak pernah merasa curiga pada orang lain. Namun untuk Aaron, benar-benar tidak ada kecurigaan yang Annette rasakan. “Meski penampilannya memang terlihat urakan, namun dia sama sekali tidak menakutkan. Malah menyedihkan.”
“Apa yang membuatmu jatuh iba pada pria itu?” Sekarang Linz mulai penasaran dengan sosok pria di seberang jalan itu.
“Dia kehilangan gadis yang dicintainya pada hari pernikahan mereka. Tiga tahun yang lalu.”
“Lantas apa hubungannya denganmu?”
“Pria itu salah mengenaliku. Ia mengira aku adalah gadisnya yang hilang.” Annette benar-benar tidak bisa lupa ekspresi Aaron saat mereka bertatapan. Bahkan ia juga tidak bisa melupakan sensasi yang dirasakan ketika kulit mereka bersentuhan. Baik saat tangan Aaron memegang lengannya, terlebih saat pria itu memeluknya. Bukan perasaan marah yang Annette rasakan, melainkan hangat.
“Kau yakin itu bukan akal-akalannya saja untuk berkenalan denganmu?” Seperti biasa, Linz punya segudang kecurigaan untuk setiap orang.
“Aku bisa merasakan ketulusannya. Lagi pula untuk apa dia berbohong hanya untuk berkenalan denganku?”
“Kau itu memang terlalu bodoh dan mudah jatuh kasihan, Ann,” ejek Linz kejam.
“Linz …,” desis Annette kesal.
“Kau tidak berniat menemuinya?”
“Untuk apa?”
“Tanyakan niatnya.”
Annette menggeleng malas. “Mungkin saja dia hanya kebetulan berada di sini karena urusan lain.”
“Bodoh!” omel Linz. “Apa perlu aku yang mendatanginya?”
“Jangan!” cegah Annette panik.
Tiba-tiba senyum jail merekah di bibir Linz. “Sebelum kita memutuskan siapa yang akan bertanya, sepertinya dia yang sudah lebih dulu akan mendatangimu.”
Annette langsung mengalihkan tatapan ke luar jendela dan melihat sosok Aaron menyeberang jalan menuju butiknya.