"Zea …," bisik Aaron lirih. Napasnya memburu. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.
Aaron memaksa tubuhnya yang terasa lemas untuk duduk dan memandang ke kegelapan kamar tidurnya. Kenyataan menamparnya dengan kejam bahwa apa yang dilihatnya dalam tidur hanyalah mimpi. Nyatanya, saat itu, Zea tidak pernah muncul. Aaron tidak pernah melihat Zea dalam balutan gaun pengantin, tidak pernah memegang tangannya di atas jembatan itu, dan tidak pernah sempat mengucapkan kata perpisahan.
"Di mana sebenarnya dirimu?" tanya Aaron lirih.
Zea Muller, calon pengantinnya menghilang begitu saja di hari pernikahan mereka, tanpa kabar, tanpa jejak. Meninggalkan luka mendalam yang terus menganga di hati Aaron.
"Sampai hari ini aku masih merindukanmu."
Tiga tahun telah berlalu, namun mimpi itu masih sering menghampirinya, meninggalkan sesak yang menyiksa dalam hati Aaron. Sakitnya masih sama. Sesaknya masih sama. Tidak berkurang sedikit juga.
***
"Kau juga ke sini lagi?" sapa Javier ketika Aaron mengempaskan bokongnya di sofa melingkar yang diperuntukkan khusus bagi pemilik Riverside Point dan tamu kehormatannya.
Rasa-rasanya Javier mulai lelah melihat dua wajah pria yang semakin hari semakin sering saja mengganggu pekerjaannya di sini, Eldo dan Aaron.
"Habis mau ke mana lagi kalau bukan ke sini?" balas Aaron cuek dan dengan santainya menyambar gelas minuman milik Javier lalu menenggaknya tanpa permisi.
Melihat tingkah Aaron, Javier hanya menggeleng pelan lalu menjentikkan jari untuk meminta Rick mengantarkan minuman lain ke meja mereka.
"Dulu kau jarang berkunjung ke sini," ujar Javier pada Aaron.
"Dia juga sering ke sini, kenapa tidak kau komentari?" Aaron mengedik ke arah Eldo yang duduk berseberangan dengannya.
Eldo hanya mendengus pelan menanggapi sindiran Aaron. Dulu sekali, ia pernah begitu rajin mengunjungi sebuah kelab malam karena suatu alasan khusus. Valenzka Savannah. Namun kebiasaan itu hilang bersamaan dengan kepindahan Valenzka ke kediamannya.
Kini, Eldo kembali menghabiskan malam-malam di kelab malam untuk membunuh rasa dingin yang menyerangnya setiap kali pulang ke kediamannya yang sepi. Tidak ada lagi tawa ceria Valenzka, juga kehangatan tubuh wanita itu yang memeluknya setiap malam. Tidak ada lagi tangis manja Winter atau gelak tawanya yang selalu berhasil menghangatkan hati Eldo. Sekarang yang ada hanya sepi berkepanjangan.
"Tempat ini memang miliknya, wajar kalau Eldo sering datang," bela Javier.
Javier adalah orang yang paling tahu sebesar apa kesakitan yang Eldo tanggung sejak kepergian Valenzka. Pria dingin yang sejak kecil selalu kesepian itu, tidak bisa mengatasi kesepiannya sekarang setelah mengecap kehangatan sebuah keluarga. Namun itulah resiko yang harus mereka tanggung.
"Sudahlah, Jav!" keluh Aaron lelah. "Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini."
"Mimpi buruk itu lagi?" tanya Javier hati-hati.
"Hmm," gumam Aaron tidak jelas.
"Kukira intensitasnya sudah berkurang," ujar Javier prihatin.
Dulu, Aaron hampir tidak pernah datang ke kelab malam mana pun untuk minum-minum seperti ini. Namun sejak menghilangnya Zea Muller, Aaron jadi sering sekali menghabiskan malam di Riverside Point. Mabuk dan meracau sampai pagi, untuk meredakan sakit yang mencekik dirinya. Dan setiap kali mabuk, Aaron akan menceritakan hal yang sama, mimpi buruk yang membayanginya terus menerus. Hingga Javier jadi paham, setiap kali bermimpi buruk, Aaron akan datang ke Riverside Point untuk mencari pengalih perhatian.
"Memang." Aaron tersenyum pahit. "Tapi sakitnya masih tetap sama."
"Masih belum menyerah mencari?" tanya Eldo prihatin.
Hampir tiga tahun telah berlalu, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Zea sampai hari ini. Gadis itu menghilang tanpa jejak. Jejaknya tidak bisa dilacak seolah keberadaan gadis itu memang tidak pernah ada.
Sampai hari ini, Eldo dan Javier masih membantu Aaron melacak jejak Zea, namun hasilnya nihil. Bukan hanya gadis itu yang menghilang, keluarganya juga.
Aaron menggeleng tegas. "Tidak akan pernah."
"Rupanya dia benar-benar spesial bagimu," gumam Javier.
"Sangat, Jav," sahut Aaron dengan tatapan menerawang, sambil mengenang wajah Zea dalam ingatannya. "Dia adalah yang pertama dan satu-satunya."
"Apa kau yakin dia masih …," ujar Javier ragu.
"Jangan lanjutkan, Jav!" pinta Aaron. Tangan kanan Aaron naik untuk menepuk d**a kirinya. "Selama di dalam sini masih berdetak, aku yakin dia masih bernapas. Jika dia sudah tidak lagi ada, di sini pun tidak akan lagi berfungsi."
"Kalau keyakinanmu begitu, kami juga akan mempercayai itu hal itu," dukung Eldo.
***
--- to be continue ---