"Ayo, turun!" Eldo menyentuh tangan Scarlet dan mengajaknya turun dari mobil. Ia sendiri langsung turun dan membuka pintu belakang lalu menggendong Ocean.
"Aku bisa jalan, Daddy.” Terdengar protes kecil dari bocah mungil berusia empat tahun itu.
"Daddy tahu," jawab sang ayah. Ada kesedihan dalam hatinya jika teringat akan waktu-waktu yang hilang di antara mereka. Bayi kecilnya bertumbuh sangat cepat, di saat ia belum puas menikmati waktu mereka bersama.
"Daddy, ini rumah siapa?" tanya Ocean dalam gendongan Eldo.
"Rumah teman Daddy." Eldo berjalan mendekati Scarlet lalu meraih tangan wanita itu dan mengajaknya menuju pintu masuk rumah yang akan mereka kunjungi.
"Siapa namanya?" tanya Ocean lagi.
"Uncle Aaron."
"Baik?" tanya Ocean penasaran.
Eldo tersenyum dan mengangguk. "Baik."
"Seperti Uncle Rocky?" Tidak heran jika bocah mungil ini membandingkannya dengan Rocky, karena selama ini sosok yang Ocean kenal sehari-hari hanya ibunya dan Rocky saja.
Sejak Eldo menjemput Scarlet dan Ocean minggu lalu, kemudian membawa mereka kembali ke Verz, segala sesuatunya jelas terasa baru bagi Ocean. Berbeda dengan sang ibu yang dulu memang tinggal di kota ini, Ocean sama sekali tidak tahu apa-apa.
Eldo kembali tersenyum dan menepuk kepala Ocean penuh sayang. "Hm."
"Mommy kenal?" Kini Ocean beralih pada Scarlet.
"Kenal, Sayang." Tidak mungkin ia tidak mengenal sosok pria pemilik rumah ini. Sampai kapan pun Scarlet tidak akan lupa pengalaman pertamanya di rumah ini bersama Aaron dan Javier.
"Baik?" tanya Ocean lagi. Mungkin karena sebelumnya tidak pernah bertemu orang lain, Ocean jadi seantusias ini ketika akan berkenalan dengan orang baru.
Belum sempat Scarlet menjawab pertanyaan putranya, pintu rumah sudah terbuka dan sosok Aaron langsung menyambut mereka.
“Aku rindu padamu!” Aaron merentangkan tangan dan langsung memeluk Scarlet.
“Aku juga,” balas Scarlet hangat.
“Kau sehat?” Masih terbayang jelas dalam benak Aaron kengerian yang harus wanita ini lewati tiga tahun lalu.
“Hmm.” Scarlet mengangguk kecil.
Aaron melepaskan pelukannya dengan Scarlet kemudian beralih pada bocah lelaki yang memandanginya penuh rasa ingin tahu. "Halo, Tampan!"
Ocean melambaikan tangan malu-malu untuk membalas sapaan Aaron.
"Kau sudah sebesar ini sekarang." Aaron memandang takjub pada Ocean. "Terakhir aku melihatmu, kau masih sangat kecil."
Ocean hanya tersenyum malu-malu, namun ia langsung menyukai pamannya yang baru. Sama seperti ketika ia pertama kali bertemu Javier beberapa hari yang lalu.
"Kau pasti tidak ingat padaku, ya?" Aaron menjawil pipi mungil Ocean dengan gemas.
Ocean hanya menggeleng bingung.
"Tidak masalah. Kita punya banyak waktu untuk berkenalan, Nak!" Aaron menepuk kepala Ocean dengan sayang. “Kau mau melihat-lihat rumahku?”
“Ada yang menarik?”
“Kurasa banyak,” sahut Aaron.
Ocean mengangguk antusias. “Aku mau!”
Eldo dan Scarlet merasa lega karena perkenalan di antara Ocean dan Aaron berjalan mudah. Mulai sekarang, mereka ingin memperkenalkan Ocean dengan dunia luar, sebebas dan seluas yang mereka mampu tunjukkan. Dimulai dari lingkungan terdekat Eldo terlebih dahulu.
Hanya butuh waktu singkat bagi Aaron untuk mencuri hati Ocean dan membuat bocah kecil itu membuntutinya ke seluruh penjuru rumah.
"Tempat apa itu?" tunjuk Ocean ke arah sebuah pintu putih berukuran besar berukiran emas yang menarik perhatiannya.
"Itu ruang kerjaku. Kau mau melihatnya?" Ruang kerja yang Aaron maksud adalah ruangan khusus yang ia gunakan untuk menjalankan profesinya sebagai seorang tattoo artist, namun bukan pekerjaan utamanya dalam Dinasti Zhang.
Pekerjaan utama Aaron yang sesungguhnya ada menjadi penanggung jawab sistem keamanan di seluruh penjuru Qruinz, tattoo artist hanya sekadar hobi saja. Keseharian Aaron dihabiskan untuk memantau pergerakan seluruh jaringan Dinasti Zhang yang tersebar di seluruh Qruinz, dan memastikan tidak ada pihak-pihak yang melakukan aktivitas mencurigakan. Aaron bisa melakukan pekerjaan itu baik di markas besar atau kediamannya. Aaron merancang sebuah ruangan khusus di kediamannya yang terhubung langsung dengan markas besar.
"Mau!" sahut Ocean semangat.
"Ayo!"
"Wow …, wow …," ucap Ocean berulang-ulang ketika melihat ruang kerja Aaron. Semua yang ia lihat adalah hal baru. "Apa yang kau kerjakan di sini?"
"Membuat gambar."
"Di dinding?" tanya Ocean sambil menunjuk ke jajaran gambar-gambar di dinding.
"Bukan. Itu hanya contoh. Aku membuat gambar di tubuh seseorang."
Ocean berlari menghampiri Aaron lalu menunjuk lengan kanan pria itu. "Seperti ini?"
"Benar."
"Seperti milik Mommy juga?"
"Benar. Aku yang membuat gambar itu di punggung ibumu."
"Uncle Rocky juga?"
"Ya, dia juga. Uncle Jav, dan Daddy-mu juga."
"Wow! Aku ingin digambar juga!" pinta Ocean tiba-tiba.
"Kau?" Aaron terkekeh geli.
"Ya, aku ingin punya gambar di tubuh juga."
"Hm, aku akan membuatkannya saat kau sudah cukup besar nanti."
"Kenapa?"
"Ini agak sedikit sakit."
"Aku kuat."
"Tidak, tidak. Jangan sekarang. Kau masih terlalu kecil."
"Padahal aku ingin …," ujar Ocean sedih.
Aaron memandangi Ocean geli, namun tiba-tiba sebuah ingatan mengusiknya dan membuat perasaan Aaron berubah sendu.
Di satu masa yang telah lama terlewati, seseorang pernah mengajukan permohonan yang sama pada Aaron. Konyolnya, bahkan anak kecil seperti Ocean mampu membuat Aaron kembali teringat pada sosok Zea Muller. Bayangkan betapa hebatnya gadis itu memasuki kehidupan Aaron!
>>> "Mau apa kau di sini?!" seru Zea. Ia baru saja membuka pintu apartemen dan menemukan Aaron menunggunya di luar. Spontan Zea mundur kembali dan berniat menutup pintu, namun Aaron bergerak lebih cepat untuk menahannya.
"Menjemputmu," jawabnya dengan senyum manis yang sangat menyebalkan.
Zea mendelik heran. "Memangnya aku pernah meminta dijemput?"
"Tidak."
"Atau kau pernah mengatakan akan menjemputku?" tanya Zea lagi.
"Juga tidak," ujar Aaron santai.
"Lalu untuk apa kau tiba-tiba menjemputku?" Bodohkah ia sampai tidak bisa memahami maksud Aaron, ataukah otak pria itu memang terlalu gila untuk dipahami?
"Hanya bentuk inisiatif dan rasa tanggung jawabku sebagai seorang pria saja."
Zea membuang muka ke samping lalu bergumam sangat pelan agar tidak terdengar oleh Aaron, "aneh."
"Kau bilang apa?" Aaron memajukan wajahnya hingga hanya tersisa jarak yang sangat minim di antara mereka. "Aku tidak dengar.”
Bukannya menjawab Zea malah menanyakan hal lain. "Memangnya kita mau ke mana?"
"Kita …," gumam Aaron sambil mengulum senyum. "Aku suka kata ganti itu."
"Jawab pertanyaanku," dengus Zea tidak sabar. Sebal rasanya melihat senyum kurang ajar di wajah Aaron.
"Ke tempat kerjaku."
"Untuk apa ke sana?"
"Agar kau dapat lebih mengenal sosokku," jawab Aaron sesuka hati.
"Untuk apa?" Perasaan Zea langsung tidak enak.
"Agar kau bisa membuat ulasan yang hebat tentangku."
"Rasanya aku tidak pernah menyetujui ide itu," sahutnya dingin. "Lagi pula orang gila mana yang mau membaca ulasan tentangmu terus menerus?"
Aaron tergelak kencang mendengar jawaban Zea. Ia tidak menyangka gadis itu menanggapi ancamannya dengan serius. "Kau kira aku serius tentang hal itu?"
Zea mengerjap bingung. "Memangnya tidak?"
"Tentu saja tidak. Tapi aku serius ingin membuatmu mengenalku lebih dekat."
"Tapi aku tidak mau."
"Ayolah! Aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin kita bisa saling mengenal. Itu saja."
Zea masih terdiam. Namun dalam hati ia mulai bimbang. Ada satu sisi dirinya yang merasa tertarik untuk mengenal sosok Aaron lebih jauh. Dalam pandangan Zea, sesungguhnya Aaron adalah sosok yang menarik. Unik sekaligus misterius. Memiliki daya tarik yang membuat Zea penasaran dan ingin tahu lebih banyak pria itu, meski ia menunjukkan yang sebaliknya.