"Masih saja membuka laman itu?" tanya Javier ketika melihat Aaron memandangi blog milik Zea Muller yang sudah tidak lagi aktif selama tiga tahun terakhir.
"Hm." Aaron mengangguk pelan sementara matanya tetap lurus menatap ponsel. Meski tahu ini konyol, namun ada harapan yang tidak pernah padam dalam dirinya jika suatu waktu ia akan kembali melihat unggahan terbaru di blog milik Zea Muller.
"Berharap menemukan petunjuk yang selama ini terlewat?" Javier berusaha terdengar sewajar mungkin agar Aaron tidak tersinggung. Sesungguhnya ia sedih melihat sahabatnya terpuruk seperti ini.
"Mungkin," balas Aaron lesu. "Atau mungkin aku lebih mengharapkan sebuah keajaiban dengan tiba-tiba melihat ada post terbaru di laman ini."
Perlahan tangannya bergerak, mencari post dari lima tahun yang lalu, dan menemukan foto dirinya di sana. Foto yang Zea ambil secara sembunyi-sembunyi, dan mengunggahnya diam-diam.
Aaron tersenyum sendu ketika mengenang kejadian yang membuatnya kembali bertemu dengan Zea setelah pertemuan pertama mereka dulu.
>>> Setengah ketakutan Zea berlari menuju pintu untuk melihat siapa yang menggedor apartemennya sekencang ini. Zea melihat melalui lubang intip dan seketika matanya membelalak. Sosok pria urakan bertato ular yang ditemuinya minggu lalu, kini berdiri di depan pintu apartemennya.
"Gosh!" bisik Zea ketakutan. Dari caranya menggedor pintu, Zea yakin pria itu datang bukan dengan maksud baik. Namun membiarkannya terus menggedor pintu tentu akan mengganggu penghuni lain. Akhirnya dengan terpaksa, Zea membuka pintu namun tidak melepas rantai pengamannya.
Begitu pintu terbuka sedikit, wajah marah pria itu langsung menyambut Zea.
"Mau apa kau ke sini?" bisik Zea ngeri.
"Buka!" Pria itu menggebrak lagi pintu apartemen Zea.
"Tidak mau!" teriak Zea panik. Dicengkeramnya kuat-kuat pintu apartemennya hingga buku-buku jari gadis itu memutih.
"Buka atau kudobrak!" ancam pria itu.
"Bicara saja dari sini!" teriak Zea ketakutan.
"BUKA!" sentak pria itu lalu bersiap untuk menendang pintu Zea.
Melihat tindakan pria itu, Zea cepat-cepat membuka pintunya dengan panik lalu mundur sejauh mungkin. Berusaha memaksa otaknya berpikir keras, alat apa di apartemen ini yang dapat ia gunakan untuk melindungi diri? Seberapa besar kemungkinan yang ia miliki untuk mengambil benda itu sebelum pria gila ini menghabisinya?
"Ada apa denganmu?" tanya Zea gemetar sambil terus mundur teratur. Berusaha mendekat ke arah meja pantry untuk mengambil pisau dapur. "Bagaimana kau bisa tahu tempat tinggalku?"
"Itu tidak penting!" sahut pria itu. Didorongnya pintu Zea dengan kasar hingga terbuka lebar, dan ia langsung melangkah masuk.
"Lalu untuk apa kau datang?" tanya Zea waspada.
"Hapus fotoku dari blogmu!" tuntut pria itu.
"Hah?" Zea tercengang mendengar perkataan pria itu. Langkahnya langsung terhenti seketika.
"Kau berani mengunggah fotoku tanpa izin. Cepat hapus!" hardiknya.
"Memang apa salahnya?" tanya Zea bingung.
Pria itu memandang tajam lalu mendesis, "kau membuat privasiku terganggu."
"Maksudmu?"
"Sekarang, ke mana saja aku pergi, orang-orang mengamatiku, menatapku sesuka hati, bahkan berani mendekati dan mengajakku berfoto bersama."
"Lalu di mana letak kesalahannya? Orang lain malah menikmati ketenaran sesaat semacam itu," balas Zea tidak habis pikir.
"Itu mereka, tidak denganku!" Pria itu mendengkus kasar.
"Lalu kau mendatangiku karena hal ini?" tanya Zea tidak percaya. Pria ini benar-benar gila rupanya. Cara berpikirnya tidak masuk akal dan terlalu aneh bagi Zea.
"Memang menurutmu apa lagi?" tantang pria itu.
"Bagaimana kau bisa menemukan tempat tinggalku?"
Pria itu tertawa sinis. "Itu hal mudah bagiku. Bahkan untuk memblokir blogmu pun sebenarnya aku bisa. Tapi aku masih kasihan padamu karena kau bilang itu hidupmu."
"Jadi apa maumu?" Zea balas menantang dengan berani.
"Hapus fotoku!"
"Kalau aku tidak mau?" Kelihatannya saja gadis ini berani, padahal dalam hati sesungguhnya ia gemetar.
Pria itu melangkah maju dan membuat Zea mundur selangkah. "Aku akan terus menerormu sampai kau menuruti perkataanku."
"Apa tidak bisa kau lupakan saja masalah ini?" pinta Zea penuh harap. Kali ini ia kembali teringat untuk terus melangkah mundur untuk mencapai meja pantry. "Banyak sekali orang yang menyukai post itu, komentarnya pun positif. Mereka mengatakan ini sesuatu yang baru dalam ulasanku. Kalau kuhapus, mereka akan kecewa."
"Itu urusanmu," balasnya tidak peduli. Pria itu menyadari gelagat mencurigakan Zea yang terus mundur ke arah pantry, maka dengan sigap ia bergerak lebih cepat dan memblokir jalan Zea, membuat gadis itu terpaksa memutar arah.
"Kenapa kau tega sekali?" bisik Zea lirih. Kini ia merasa tersudut. Zea tidak lagi memiliki harapan untuk mengambil pisau dapur guna melindungi diri karena pria itu menggiringnya ke arah ruang tengah.
Pria itu kembali mendengkus. "Kenapa juga aku harus berbaik hati padamu?"
"Anggaplah aku seorang gadis malang yang hidupnya akan tamat tanpa pekerjaan ini," ujar Zea memelas.
"Aku tidak peduli. Cepat hapus!" balas pria itu tanpa perasaan.
"Tidak mau!" tolak Zea memberanikan diri.
Pria itu kembali melangkah maju dan refleks Zea mundur dengan cepat hingga ia terjungkal ke atas sofa. Melihat Zea terjatuh, pria itu tersenyum jahat.
Pria itu menundukkan tubuh, meletakkan tangan di sisi kiri dan kanan tubuh Zea, untuk mengunci gadis itu. "Jika kau tetap keras kepala, berarti kau harus membayarku. Dan bayaranku itu mahal," desis pria itu di atas wajah Zea.
Dalam keadaan terdesak, keberanian Zea muncul. Didorongnya d**a pria itu dengan kencang untuk membebaskan diri. Namun sayang Zea malah ikut terjatuh karena pria itu menyambar pinggangnya.
Pria itu terjatuh ke lantai sambil membawa tubuh Zea bersamanya. Zea terbelalak ngeri ketika tubuhnya mendarat di atas tubuh pria itu, beruntung ia masih sempat menahan kepalanya, jika tidak bibir mereka mungkin sudah beradu.
"Kau mengawali proses pembayaran dengan sangat baik, Zea Muller," ejek pria itu.
"Lepaskan aku!" Zea berusaha meronta lepas, namun lengan pria itu malah memeluknya semakin erat.
Belum cukup sampai di sana, pria itu meletakkan tangan di tengkuk Zea dan memaksa kepala gadis itu merunduk. Sekuat tenaga Zea meronta, namun tenaga pria itu jauh lebih kuat. Ketika bibir Zea akhirnya menyentuh bibir pria itu, dengan berani gadis itu mengigit bibir lawannya kuat-kuat.
"Sial!" desis pria itu terkejut lalu dengan spontan mendorong tubuh Zea ke samping sambil ia pun ikut berguling lalu menindih tubuh gadis itu. Dengan kekesalan yang memuncak, pria itu mencengkeram dagu Zea lalu kembali mendekatkan bibirnya. Ia melumat kasar bibir Zea dan berhenti beberapa saat kemudian ketika merasakan tubuh gadis itu bergetar hebat di bawahnya.
"Tolong jangan begini," rintih Zea putus asa disertai isakan kecil. Saat ini ia benar-benar ketakutan. Dalam benaknya sudah terbayang hal-hal mengerikan yang mungkin akan menimpa dirinya. Zea memang gadis modern, pergaulannya luas, namun masalah laki-laki, ia tergolong kuno. Jadi ketika diperhadapkan pada situasi seperti ini, Zea ingin menangis.
Melihat genangan air di sudut mata Zea, seketika terbit iba dalam hati pria itu. Tahulah ia bahwa Zea adalah gadis baik-baik yang tidak terbiasa dengan hal-hal liar semacam ini. Perlahan pria itu bangkit berdiri, menyeka darah di bibir akibat gigitan Zea tadi, lalu berkata datar, "kurasa cukup untuk hari ini. Sampai bertemu lagi."
Pria itu berlalu begitu saja, meninggalkan Zea yang masih ketakutan, berbaring kaku di lantai apartemennya. Seumur hidupnya, baru kali ini Zea mengalami kejadian mengerikan dengan seorang pria.