Charlie benar-benar berpikir ayahnya sudah tidak waras. Tiba-tiba memacari Nadine dan mengklaim bahwa gadis itu adalah miliknya. Ia sangat terkejut, bahkan Niko sendiri kaget dengan ucapannya barusan.
"Pa, kenapa harus Nadine? Papa bisa cari cewek lain? Jangan ambil mantan pacar aku, deh!" gerutu Charlie.
"Itu bukan urusan kamu. Kalau kamu mau Papa bantu, lepasin Nadine dan jangan ikut campur urusan Papa," kata Niko seraya berdiri.
Charlie berdecak kesal. "Dari semua cewek, kenapa harus Nadine?"
Karena Nadine tiba-tiba datang ke rumahnya. Karena Nadine sangat cantik. Dan karena Nadine memeluknya dengan erat semalam ketika takut dikejar Bruno. Dan karena semalam keberadaan Nadine di kamar sudah memporak-porandakan hati Niko.
Niko ingin mengatakan itu pada Charlie, tetapi itu jelas alasan yang konyol. Semua yang terjadi hanya kebetulan, lagipula ia dan Nadine hanya pura-pura pacaran.
"Mendingan kamu fokus aja sama rencana pernikahan kamu dengan Yessy."
"Aku tahu. Tapi ... tapi Papa nggak akan nikah sama Nadine, kan?" Charlie menatap ayahnya dengan wajah mengerut. Apa yang akan dikatakan orang sedunia jika Nadine menjadi ibu tirinya?
Niko mengangkat bahu. "Kita lihat aja nanti."
"Sial!"
"Charlie! Papa udah bilang jangan mengumpat di depan Papa!" gertak Niko tak tahan lagi. "Berikan semua informasi tentang keluarga Yessy malam ini juga. Bukannya kamu harus bergegas menikahi gadis itu sebelum kandungannya makin besar?"
Charlie mendengkus. Ia tahu itu, tetapi ia masih sangat penasaran dengan hubungan ayahnya dan Nadine. Tak mungkin tiba-tiba mereka pacaran setelah ia memutuskan Nadine. Apakah Nadine hendak balas dendam?
"Kamu dengar Papa?"
"Ya. Papa tenang aja!" gerutu Charlie.
Niko tak bicara lagi. Ia keluar dari ruang baca lalu masuk ke kamarnya. Ia mengambil pakaian ganti di lemari. Ia menutup pintu perlahan, berdiri di sana dan menempelkan keningnya di pintu lemari.
Bodoh! Kenapa ia tak bisa menjaga anaknya sendiri sampai-sampai menghamili seorang gadis?
Niko memukulkan kepalan tangannya di d**a. Ia gagal. Ia adalah ayah yang buruk. Sejak awal memang begitu. Ia tak menyukai kehadiran Charlie, ia tak menginginkan Charlie. Akan tetapi, ia juga harus menanggung semuanya.
Niko membuang napas panjang. Seandainya ia merawat Charlie dengan sepenuh hati, seandainya ia membawa Charlie ke rumah ini sejak anak itu masih kecil, semuanya mungkin akan berbeda.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Orang-orang pasti akan bicara seperti itu meskipun kasusnya dengan Charlie sama sekali berbeda.
"Astaga!" desis Niko.
Ia memutuskan untuk segera mandi karena ia ingat di bawah sana ada Nadine yang ia tinggalkan berdua saja dengan ayahnya. Ia mempercepat mandinya, agak cemas jika Nadine kenapa-kenapa, mungkin ditanya hal-hal aneh oleh ayahnya.
Ketika Niko turun, ia mendengar tawa Nadine yang hangat. Kekhawatiran Niko perlahan menguap. Ia senang Nadine bisa mengobrol dengan ayahnya.
"Gimana kaki kamu? Masih sakit?" tanya Niko seraya duduk di sebelah Nadine.
Nadine menoleh pada Niko lalu menatap lukanya yang memerah. Ia menggeleng walaupun sebenarnya itu sangat nyeri.
"Papa nggak tanya yang aneh-aneh ke Nadine, kan?" tanya Niko pada Morgan.
Morgan mendesis sebal. "Kamu pikir Papa akan menyulitkan calon menantu Papa?"
Nadine memerah. Sejak tadi Morgan mengajaknya bicara soal bisnis. Ia diminta menceritakan apa saja yang ia lakukan selama ini dan Nadine membahas pekerjaan lamanya di kafe.
"Nadine mengelola kafe sebelum ini. Itu lumayan, bisnis yang menjanjikan," kata Morgan.
Niko tersenyum. Ia tahu itu bisnis Nadine dan Charlie, tetapi Charlie curang sampai akhir mengusir Nadine dari sana.
"Gimana kalau Nadine Papa kasih kepercayaan untuk mengelola restoran baru kita, Nik?" tanya Morgan.
"Restoran?" Nadine menatap Morgan dengan alis mengerut.
"Ya, itu adalah restoran yang menjual makanan khas Jawa. Masih baru dan kami butuh orang yang bisa mengelolanya," kata Morgan. Ia ingin melihat kinerja Nadine secara langsung.
"Restoran mungkin agak beda dari kafe," gumam Nadine.
"Tentu saja berbeda," timpal Morgan.
Niko yang tak tahu apa-apa tentang Nadine tak memiliki gagasan, tetapi ia yakin Nadine bukanlah gadis yang bodoh. Dan ia juga mengerti dengan ucapan ayahnya. Barangkali ini semacam tes.
"Kamu mau lihat dulu restoran itu? Baru beroperasi bulan depan rencananya," kata Niko pada Nadine.
"Ah, ya. Boleh," jawab Nadine ragu. "Apa jauh?"
"Nggak jauh, setengah jam. Besok kalau kaki kamu udah sembuh, aku ajak kamu ke sana," kata Niko tersenyum.
Nadine mengangguk. Setidaknya ia tak akan menganggur. Jika ia punya pekerjaan, ia akan mendapatkan gaji. Setelah cukup, mungkin ia bisa pergi dari sini. Mungkin! Sebab sejak tadi Morgan juga membahas masalah pernikahan. Dan Nadine berharap itu tidak sungguhan.
"Kalau gitu, ayo kita makan," ajak Morgan. Ia berdiri lebih dulu. "Di mana Charlie?"
"Tadi masih di atas." Niko menoleh ke anak tangga dan ia langsung mengedikkan dagu. "Itu dia. Kita makan berempat malam ini."
Morgan membuang napas panjang. "Apa anak itu pulang karena bikin masalah?"
"Nggak juga," jawab Niko berbohong.
Morgan menatap Niko seolah tahu bahwa Niko sedang berdusta. "Papa cukup mengenal cucu Papa."
Nadine menggigit bibirnya. Ia baru saja bertemu pandang dengan Charlie. Entah bagaimana, ia bisa melihat ekspresi menyesal di wajah Charlie.
"Kamu bisa jalan?" Pertanyaan Niko membuat Nadine terkesiap.
"Ya, tentu aja." Nadine berdiri perlahan. Ia meringis ketika rasa sakit mendera kakinya.
"Ayo," ajak Niko. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Nadine.
Sentuhan Niko membuat Nadine langsung meremang. Ia menoleh, aroma wangi menguar dari tubuh Niko yang baru saja mandi sore. Ia menahan napas.
"Aku bisa jalan sendiri, Om," kata Nadine.
"Jangan bohong, ini sakit."
Nadine mencebik. Yah, memang sakit. Ia pun tak protes lagi dan berjalan dengan Niko yang memapah tubuhnya.
Charlie yang lebih dulu duduk di meja makan menatap kemunculan Nadine dengan Niko. Hatinya terasa pedih melihat Nadine yang begitu dekat dengan ayahnya.
"Duduk sini, Honey," kata Niko.
"Makasih, Om," tukas Nadine. Ia duduk dengan gugup di sebelah Niko. Morgan di kursi utama dan Charlie di seberang Niko.
"Maaf tadi aku udah ngerjain kamu," ujar Charlie.
Nadine mengangguk pelan walaupun ia masih tak bisa memaafkan apa yang dilakukan oleh Charlie padanya. Tidak dengan perselingkuhan itu dan tidak pula dengan pengejaran anjing tadi. Sialan!
"Jangan kayak gitu lagi, Kakek bisa kasih kamu hukuman yang berat kalau kamu berani macam-macam di rumah ini," kata Morgan sebal.
Charlie mendengkus. "Aku udah minta maaf, Kek. Masalah selesai."
"Kamu pikir begitu? Hanya dengan minta maaf semuanya selesai? Kamu nggak lihat kaki Nadine terluka gara-gara kamu? Dia syok berat!" omel Morgan.
Charlie mengepalkan tangannya. Jika ia tidak suka dimarahi Niko, rasanya itu lebih baik dibandingkan dengan dimarahi Morgan. Ia tak menyukai kakek tua itu karena ia tahu, si kakek juga tak menyukainya.
"Kamu harus bisa menghormati Nadine, dia akan jadi istri ayah kamu. Walaupun kalian seumuran, tapi Nadine akan jadi nyonya rumah ini. Paham?" Morgan melanjutkan.
Charlie menoleh kesal ke arah dapur. Ia melihat ibu Nadine yang sedang mengelap kompor. Senyum miring terbit di wajah Charlie.
"Apa Kakek tahu Nadine cuma anak pembantu di sini?"
Morgan melayangkan tatapan penuh tanya ke arah Charlie. Nadine mengepalkan tangannya di bawah meja sementara Niko masih terlihat tenang.
"Apa kata kamu?" tanya Morgan.
"Pa, aku bisa jelaskan," tukas Niko.
Morgan mengacungkan tangannya pada Niko. Ia butuh penjelasan Charlie. Jika Nadine adalah gadis biasa, ia bisa menerimanya. Akan tetapi, anak pelayan?
"Wanita itu, yang lagi ngelap kompor ibunya Nadine," kata Charlie seraya menunjuk Prapti. Ia tersenyum dengan licik.
"Apa?" Morgan menoleh ke dapur lalu menatap Nadine dan Niko. "Apa itu benar, Nik?"
Niko mengangguk. Ia tak mungkin berbohong. "Nadine putri Bu Prapti, benar. Dan ayah Nadine ... Pak Jono, sopir baru aku."
"Hah!" Morgan seperti kena serangan jantung. Ia memandangi wajah Nadine yang memucat. "Dia cuma anak sopir dan pembantu?"
Charlie menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia bisa merasakan tatapan tajam Niko sekilas dan Nadine juga meliriknya penuh amarah. Namun, apa boleh buat. Ia kesal sekali dengan si kakek dan membuat huru-hara kecil berhasil menyenangkan hatinya.
"Nggak ada aturan aku nggak boleh pacaran sama anak sopir dan pembantu," kata Niko tenang. Ia tersenyum pada Nadine lalu meraih tangan Nadine. "Aku justru berterima kasih sama Pak Jono dan Bu Prapti karena mereka membawa putri mereka ke sini."
"Nggak masuk akal! Kamu harus mikir dua kali, Nik! Kenapa kamu ... Papa nggak percaya ini! Papa nggak mau restoran Papa dikelola sama Nadine!"
"Papa tenang aja, Nadine sangat kompeten," kata Niko.
"Dia cuma anak pelayan!" gertak Morgan.
Nadine menelan saliva. Ia tak suka ibunya dihina seperti itu. Dan ia bersyukur, dapur itu cukup jauh dari meja makan, jadi ibunya tak akan dengar.
"Walau aku cuma anak pelayan, tapi aku bisa buktikan kalau aku mampu, Om," kata Nadine.
"Benarkah?" Morgan menatap Nadine tak percaya. Ia lalu melirik Niko yang menggenggam tangan Nadine.
"Ya." Nadine tak akan gentar. Ia sudah terlampau kesal dengan Charlie. Dan ia akan membalas semuanya setelah ini.
"Papa lihat nanti, Nadine nggak akan mengecewakan Papa. Lagipula, aku nggak akan mau menikah dengan wanita selain Nadine," imbuh Niko. Ia mencium punggung tangan Nadine di depan Morgan dan Charlie.
Charlie hampir tersedak. Baru kali ini ia melihat ayahnya bersikap manis pada wanita. Apakah benar ayahnya telah jatuh cinta pada Nadine?