Selasa (13.54), 13 April 2021
-------------------------
Carissa berjalan ragu menuju pintu kamar mandi hanya dengan dibalut bathrobe yang disediakan pihak hotel. Sejenak dia melongokkan kepala, mengintip ke arah ranjang tempat Fachmi tengah membaca sambil menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Lalu pandangannya beralih pada tas besar tempat pakaiannya berada. Tas itu diletakkan di atas sofa yang menempel di salah satu dinding kamar. Dan untuk mencapai sofa itu, Carissa harus melewati ranjang.
Tahu tidak punya pilihan, Carissa menelan ludah sejenak lalu berjalan keluar kamar mandi tanpa menoleh ke tempat Fachmi berada. Buru-buru dia membuka tas, mencari pakaian dalam dan baju tidur yang paling tertutup.
Setelah mendapat apa yang dia cari, Carissa segera berbalik tapi kemudian memekik kaget. Entah sejak kapan Fachmi sudah berada di belakangnya. Sangat dekat hingga tubuh bagian depan mereka nyaris saling bersentuhan.
“Sedang apa kau dibelakangku?!” Mata Carissa melebar. Pakaian di tangannya ia peluk di depan d**a seolah itu adalah tameng untuk melindungi dirinya dari serangan Fachmi.
Fachmi mengerutkan kening seolah bingung dengan reaksi Carissa. “Aku hanya ingin mengambil sesuatu di tasku. Kau saja yang berbalik tiba-tiba.” Tanpa menunggu Carissa pindah tempat, Fachmi memajukan tubuh hingga dadanya menyentuh tangan Carissa yang menyilang di depan tubuh, lalu menjangkau sebuah buku lain dari dalam tas miliknya yang bersebelahan dengan tas Carissa.
Refleks Carissa menahan napas seraya menahan tubuhnya agar tidak bergerak. Jantungnya bergemuruh dalam d**a seolah hendak melompat keluar. Wajahnya terasa panas akibat posisi tubuh mereka yang begitu dekat.
Seharusnya Carissa segera menyingkir dari sana. Seharusnya Carissa bergegas kembali ke kamar mandi. Tapi entah mengapa, kakinya seolah berubah jadi batu dan tidak bisa digerakkan. Entah sihir apa yang digunakan Fachmi hingga selalu berhasil membuat Carissa yang liar seolah tidak berdaya di depannya.
Berhasil mendapat apa yang dicarinya, Fachmi tidak segera menyingkir dari depan Carissa. Dia malah sengaja menoleh menatap wajah Carissa yang memerah dengan jarak yang amat dekat.
“Ada apa dengan wajahmu? Merah sekali seperti baru saja dimasukkan ke dalam oven.”
Carissa tidak sanggup mengatakan apapun. Bibirnya seolah terkunci dengan tatapan terpaku pada mata hitam Fachmi.
“Carissa, kau baik-baik saja?” tangan Fachmi terangkat hendak menyentuh pipi Carissa namun—
“KYAAAAA!!”
Mendadak Carissa berteriak lalu beberapa detik kemudian dia mendorong d**a Fachmi hingga lelaki itu mundur menjauh dengan raut wajah kaget.
BRAKK!
Belum hilang perasaan kaget Fachmi akibat teriakan Carissa, dia kembali dikagetkan suara pintu kamar mandi yang ditutup dengan keras.
“Astaga.” Fachmi ternganga sambil memegang d**a untuk menenangkan debar jantungnya yang memacu cepat.
Ini seperti senjata makan tuan. Tadi dia memang sengaja hendak mengganggu Carissa karena gadis itu terlihat sangat gugup ketika keluar dari kamar mandi. Tapi sekarang, malah Fachmi yang harus merasa kaget karena teriakan gadis itu.
Setelah debar jantungnya lebih tenang, Fachmi meletakkan kembali buku yang tadi diambilnya ke dalam tas lalu kembali duduk bersandar di ranjang. Namun belum sempat ia kembali membaca, ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk.
Keluar sebentar.
Pesan itu dikirim oleh sepupunya, Juan. Salah satu alis Fachmi terangkat penasaran mengapa Juan mengganggunya di malam pertamanya. Jangan bilang Juan sengaja melakukan ini karena dia menjadi satu-satunya lelaki dewasa dalam keluarga mereka yang belum menikah. Sudut bibir Fachmi melekuk membentuk senyuman memikirkan hal itu. Segera dia turun dari ranjang menuju pintu sambil dalam hati memikirkan kata-kata manis untuk mengejek sang sepupu.
Klek.
BRAK!
“Argh!”
“Ouch!”
“s**t!”
“Aduh!”
Fachmi buru-buru mundur dengan mata terbelalak melihat empat orang jatuh tersungkur ke dalam kamarnya. Kemudian dia mendongak menatap sepupunya yang terbahak di koridor depan pintu kamarnya, beberapa langkah di belakang orang-orang yang terjatuh itu.
“Ada apa ini?” tanya Fachmi bingung.
Farrel berdiri seraya meringis memegangi lengannya yang terasa ngilu. “Latihan akrobat.”
“Hah?” Fachmi melongo.
Rafka hanya nyengir seraya berdiri di samping Farrel. Sementara itu Alan buru-buru turut berdiri lalu berkata, “Kami jatuh.”
“Tentu saja aku tahu kalian jatuh.” Fachmi mendengus kesal.
“Juan yang mendorong.” Celetuk Freddy yang juga sudah berdiri.
Tawa Juan langsung menghilang. “Pa, kenapa—”
“Iya, benar.” Dukung Farrel. “Juan iri karena dia belum menikah.”
“Hei, hei!” seru Juan namun sama sekali tidak digubris.
“Juan, seharusnya kau tidak boleh seperti itu. Itu tidak baik.” Alan menasihati dengan nada bijak.
“Kenapa Om menyalahkanku juga?!” nada suara Juan meninggi.
“Karena memang kau yang salah.” Farrel buru-buru menghampiri Juan lalu menyeret sepupunya itu menjauh.
“Aku akan menghukum anak nakal itu,” gumam Freddy lalu pergi menyusul Juan dan Farrel.
“Hmm, sebaiknya aku membantu Freddy.” Alan juga buru-buru pergi.
Kini tinggal Rafka di sana, berdiri di hadapan putranya yang baru saja melepas masa lajang.
“Ckckck, Papa tidak malu mengintip anak Papa yang hendak berbulan madu?” Fachmi melipat kedua tangan di depan d**a dan menatap Papanya dengan sorot menegur.
“Ish, kau ini. Malah memperlakukan Papa seolah Papa ini anak kecil,” gerutu Rafka.
“Papa memang selalu seperti anak kecil jika sudah berkumpul bersama geng Papa itu.”
“Geng?”
“Ya. Papa, Om Freddy, dan Om Alan memang geng konyol.”
“Lalu kau, Farrel, dan Juan geng apa?” Rafka tidak mau kalah.
“Kalau Papa datang hanya untuk membicarakan hal tidak penting seperti itu, sebaiknya aku masuk dan menemani gadisku.”
Rafka meringis malu. Kalau sudah seperti ini, siapa yang orang tua dan siapa yang anak di sini?
“Baiklah, lupakan masalah geng tadi. Sebenarnya itu yang ingin Papa bicarakan. Kenapa tadi Carissa berteriak? Kau apakan dia?” Rafka menanyakan itu sambil sesekali melirik ke dalam kamar, namun dari tempatnya berdiri dia tidak bisa melihat ke arah ranjang.
“Tentu menagih hakku sebagai suami. Apa perlu kuceritakan lebih detail? Memangnya Papa sudah lupa saat malam pertama bersama Mama?”
“Hush!” Rafka melotot. “Kenapa kau malah membicarakan malam pertama orang tuamu?”
“Papa sendiri kenapa mencampuri urusan malam pertamaku?” tantang Fachmi.
Rafka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Yah, memang dirinya yang salah, memulai mengangkat topik ini lebih dulu.
“Bukan Papa bermaksud mencampuri. Tapi Carissa itu—dia masih kecil. Seharusnya kau menunggu.”
“Ah, jadi Papa mengajariku untuk tidak melaksanakan kewajibanku sebagai suami? Padahal menjadi suami itu tidak boleh hanya menafkahi istri secara lahir tapi juga secara ba—”
“Yah, baiklah. Kau menang!” Akhirnya Rafka menyerah lalu mendorong pelan Fachmi ke dalam kamar seraya menutup pintu dari luar. Sebelum pintu benar-benar tertutup, dia menambahkan, “Sana temani gadismu itu dan pastikan dia tidak berteriak lagi.”
Klek.
Fachmi terkekeh pelan. Berdebat dengan papanya memang sangat menyenangkan. Apalagi jika dia berhasil membuat wajah sang Papa tampak frustasi.
Fachmi akui. Meski keluarganya kerap membuatnya sakit kepala karena tingkah mereka, tapi dia tidak akan pernah mau menukar keluarganya dengan harta sebanyak lautan sekalipun. Tidak ada yang lebih berarti dari mereka. Orang kaya dengan harta berlimpah namun hidup seorang diri bisa berada di titik bosan. Tapi keluarga tidak akan pernah membuatnya bosan. Karena mereka adalah hartanya yang paling berharga.
“Siapa yang datang?”
Buru-buru Fachmi mengubah eskpresi wajahnya menjadi datar kembali lalu berbalik menghadap Carissa yang kini telah mengenakan piama lengan panjang.
“Papa, Papa mertua, Om Freddy, Farrel, dan Juan.”
“Hah? Sedang apa mereka?”
Fachmi mendekat lalu berdiri tepat di hadapan Carissa. “Mereka panik mendengarmu berteriak dan berpikir aku melakukan hal aneh padamu.” Telunjuk Fachmi menepuk ujung hidung Carissa. “Lain kali jangan berteriak seperti itu lagi. Bahkan ketika aku menagih hakku sebagai suami.” Kalimat terakhir itu Fachmi ucapkan dengan suara serak lalu ia segera menuju ranjang sebelum kendali dirinya runtuh.
Lagi-lagi wajah Carissa memerah dan jantungnya berdegup kencang hanya karena sentuhan kecil yang dilakukan Fachmi. Kedua tangannya saling meremas. Dia jadi ragu untuk tidur di sebelah Fachmi. Lebih tepatnya takut. Takut Fachmi menyerangnya saat ia terlelap nanti.
“Apa kau hanya akan berdiri di situ sepanjang malam?”
DEG.
Astaga!
Carissa menepuk dadanya yang tadi berdebar sangat keras dan menyakitkan karena suara Fachmi yang tiba-tiba. Sungguh, dia merasa tidak aman berada di dekat Fachmi. Bahkan suaranya saja bisa membuatnya terkejut seperti ini.
“Carissa…”
Kali ini suara Fachmi terdengar seperti seorang ayah yang tengah menegur putrinya karena tidak mau mendengarkan.
Perlahan Carissa berbalik menghadap Fachmi yang kini sudah kembali duduk bersandar di ranjang. “Hmm, Fachmi—”
“Suamiku.”
“Suamiku?”
“Mulai sekarang gunakan kata itu untuk memanggilku.”
Carissa melongo. “Kau bercanda?”
“Apa aku terlihat seperti bercanda?” Fachmi menampilkan raut datarnya.
Dasar tua m***m!
Rasanya Carissa ingin menjulurkan lidah pada manusia satu itu. Tapi tidak mungkin. Carissa hanya berani melakukan itu jika berhadapan dengan Juan atau Farrel.
Ah, tunggu dulu! Bukankah itu bisa Carissa jadikan alat barter? Ya, tentu saja. Dirinya memang cerdik.
Dengan sengaja Carissa mengangkat dagu untuk menunjukkan sikap tidak terintimidasi. “Oke aku akan menuruti keinginanmu. Tapi sebagai gantinya kau juga harus menuruti keinginanku.”
Fachmi tidak suka saat Carissa harus tawar menawar dengannya. Tapi kali ini dia mengalah. “Katakan dulu keinginanmu!” Nada suara Fachmi terdengar tegas.
“Aku tidak mau tidur di ranjang bersamamu.”
“Hanya untuk malam ini.” Itu bukan pertanyaan.
“Enggh…kurasa untuk beberapa—”
“Hanya untuk malam ini atau tidak sama sekali, Carissa.” Nada suara Fachmi tidak ingin dibantah.
Carissa mendesah kalah. “Baiklah, hanya untuk malam ini.”
“Dan sebagai gantinya kau akan memanggilku ‘suamiku’ seterusnya. Tidak ada batasan waktu.”
“Curang!” Carissa berseru tidak terima. “Aku hanya satu malam tapi kau—”
“Kalau begitu tidur sekarang juga sebelum aku menyeret dan mengikatmu di ranjang!” Mata Fachmi berkilat menunjukkan bahwa dia mulai kesal. “Tidak ada tawar menawar ataupun kesepakatan lagi!”
Mendadak Carissa merasa gentar melihat kilat kesal di mata Fachmi. Itu membuatnya tidak berani mendebat lebih jauh. “Baiklah, aku mendapat satu malamku dan kau selamanya.” Nada suara Carissa berubah lemah.
“Aku anggap kesepakatan kita sudah final. Dan kalau kau mendadak berubah pikiran lalu membatalkan kesepakatan ini, aku akan benar-benar meminta hakku sebagai suami saat ini juga. Tidak peduli kau mau atau tidak.”
Buru-buru Carissa menggeleng dengan ekspresi ngeri.
“Bagus.” Fachmi menunjuk ke arah lemari. “Sepertinya ada selimut tambahan di lemari. Gunakan saja.” Setelahnya, dengan tenang Fachmi meletakkan buku di meja nakas. Tanpa bertanya pada Carissa, ia mematikan lampu kamar lalu berbaring, membiarkan kamar itu hanya disinari cahaya bulan dan lampu-lampu dari luar.
Melihat itu Carissa merengut. Jadi seperti inilah malam pertama yang dulunya selalu Carissa bayangkan akan terasa romantis bersama lelaki yang dia cintai. Sungguh, dirinya tidak pernah membayangkan akan menikah di usia semuda ini, dengan lelaki yang jauh lebih tua sekaligus asing, dan menghabiskan malam pertama dengan tidur di lantai yang dingin sementara sang suami tidur nyaman di atas ranjang yang hangat.
Ugh, sangat luar biasa!
Masih dengan wajah merengut, Carissa menuju lemari lalu mengambil dua selimut. Satu selimut ia hamparkan di depan jendela kaca tinggi yang mengarah ke balkon kamar. Kemudian ia menuju ranjang untuk mengambil bantal dan guling yang berada di sebelah Fachmi.
Benar-benar keterlaluan. Di sana Fachmi sudah tampak terlelap. Kalau di cerita-cerita romantis, seharusnya Fachmi menawarkan diri untuk tidur di lantai dan membiarkan Carissa tidur di ranjang. Tapi apa ini? Sungguh pernikahan paling menggelikan sepanjang sejarah.
Kesal, Carissa segera mengambil bantal dan gulingnya lalu ia bawa ke atas selimut yang sudah ia hamparkan. Setelah ia berbaring menghadap jendela dengan nyaman, selimut yang lain ia gunakan untuk menutupi tubuh.
“Yah, setidaknya pemandangan dari sini cukup bagus,” bisik Carissa, menghibur diri sendiri.
Dari tempatnya berbaring, dia bisa melihat bulan yang menggantung indah diiringi beberapa bintang. Pemandangan lampu-lampu dari gedung pencakar langit juga tak kalah memukau. Carissa pikir, malam ini tidak terlalu buruk.
Beberapa saat kemudian saat kelopak mata Carissa sudah terasa berat dan dirinya mulai dibuai alam mimpi, mendadak dia merasakan tubuh hangat melungkupinya dari belakang. Terasa juga gerakan seseorang menyelinap ke balik selimutnya lalu lengan kekar memeluknya dari belakang.
Carissa mendesah, merasa nyaman dan hangat. Alam mimpi kian membuainya namun tiba-tiba alam bawah sadar menyentaknya hingga terjaga.
“Aaa…hhmmppp!”
Carissa sudah nyaris berteriak namun tangan besar Fachmi langsung menutup mulutnya. Dia berbalik telentang dengan kedua tangan berusaha melepas tangan Fachmi yang masih membekap mulutnya namun gagal.
Kini posisi tubuh mereka sangat dekat. Fachmi setengah menindih tubuh Carissa agar berhenti meronta. Salah satu tangannya masih membekap mulut Carissa sementara tangan yang lain bertumpu di atas selimut agar ia bisa menatap lekat mata kecokelatan gadis itu.
“Hmmpp!”
“Masih mau berteriak?” nada suara Fachmi terdengar mengancam.
Buru-buru Carissa menggeleng lalu memukul-mukul lengan Fachmi agar melepaskan tangan yang masih membekap mulut Carissa.
“Awas kalau kau berteriak lagi. Aku akan langsung menciummu.”
Mata Carissa melebar lalu ia kembali menggeleng.
Yakin Carissa tidak akan berteriak, perlahan Fachmi melepaskan tangannya dari mulut Carissa.
Carissa terengah. Jantungnya berdegup sangat kencang. Posisi tubuh mereka sangat intim, membuatnya tidak nyaman dan—takut.
“Ka—kau, melanggar kesepakatan kita.”
“Apa yang kulanggar?” tanya Fachmi tenang tanpa memindahkan posisi tubuhnya. “Bukankah kau bilang tidak mau tidur denganku di ranjang? Nah, sekarang kau tidur denganku di lantai.”
“Bu—bukan begitu maksudku!”
“Lalu apa? Kau ingin membatalkan kesepakatan kita? Silakan saja. Aku akan sangat senang jika kau melakukannya.”
Grrr! Kira-kira berapa tahun hukuman penjara seorang gadis tujuh belas tahun yang membunuh suaminya di malam pertama mereka?
“Kau—”
“Tidur sekarang juga atau—” Tiba-tiba suara Fachmi berubah serak dan dia sengaja menunduk, mendekatkan wajahnya dengan wajah Carissa. “kita nikmati saja malam ini.”
Carissa terbelalak. Dia menggeliat lalu buru-buru mengubah posisi tidur kembali menghadap jendela kaca tinggi, memunggungi Fachmi. Di belakang Carissa, Fachmi menahan senyum geli. Kemudian ia rebah di bantal yang sama dengan yang Carissa tempati lalu kembali memeluk pinggang gadis itu.
“Selamat tidur, istriku,” gumam Fachmi pelan. Sebuah kecupan mendarat di puncak kepala Carissa.
DEG.
Duh, jantungnya!
Kalau seperti ini terus, kemungkinan besar Carissa tidak akan bisa mencapai ulang tahunnya yang ke delapan belas karena serangan jantung.
-------------------------
♥ Aya Emily ♥