“Ya, aku akan pulang Sabtu ini...” setelah menyetujui permintaan Mami, pembicaraan berakhir pun Dante menurunkan ponselnya. Salah satu yang bisa merusak suasana hatinya, bila sudah dapati telepon dari orang rumah. Terutama Mami yang memintanya untuk pulang.
Wajahnya makin terlihat dingin, sorot mata tajam itu hanya menatap lurus tanpa pedulikan karyawan Sadajiwa yang beramah-tamah. Terheran hari ini Dante terlihat datang lima belas menit lebih awal dari hari-hari biasanya.
Dante menaiki lift khusus untuk para petinggi, naik ke lantai dua puluh tiga. Ruangannya berada. Ia sedang tidak bisa tidur dengan berkualitas akhir-akhir ini, terlebih semalam ia sungguh merasa pening dan agak demam. Paginya sudah baik-baik saja, bahkan tadi memutuskan olahraga pagi kemudian bersiap ke kantor lebih awal. Begitu ia sampai dilantai tujuan, berjalan menuju ruangannya dan tidak heran dapati meja sekretarisnya kosong. Reema belum datang.
Setengah jam kemudian, Hans tiba menghampirinya. Mereka diskusi hingga waktu bergerak hampir sekitar jam sembilan lewat lima belas menit saat Dante mengecek mesin waktu ditangannya.
Ia melirik pintu, Hans ikut berhenti bicara dan mengamati.
“Pak—“
“Reema belum datang,” Dante yakin, karena kebiasaan saat jam sembilan ia tiba biasanya Reema sudah bersiap dan langsung membawakan kopinya. Perempuan itu cukup tepat waktu setiap harinya.
Hans berdiri, “saya akan cek, Pak...” katanya dan berlalu.
Dante fokus kembali ke layar laptopnya, mengamati angka-angka dengan teliti hingga Hans kembali.
“Reema belum datang, Pak...” lapornya yang mendapati meja sekretaris Dante itu masih kosong.
Dante berdecak sambil mengambil ponselnya, "tidak biasanya Reema terlambat begini!" Decak Dante yang mendapati sekretarisnya belum datang.
Dante baru saja akan menelepon saat dapati pintu diketuk kemudian terbuka, Reema datang tergesa-gesa dengan raut wajah tegangnya. Dante meletakan kembali ponselnya.
Begitu Reema datang dengan langkah terburu-buru, napas yang belum teratur dan mata yang terlihat agak lelah, ia masuk sambil menunduk. "Saya minta maaf, Pak Dante... Saya terlambat pagi ini."
Dante menatapnya tajam, suaranya datar saat berkata, "terlambat bukan hanya soal jam. Ini soal profesionalitas, Reema. Saya pikir kamu sudah mengerti ritme kerja di sini setelah enam bulan."
Kalimat Dante seolah Reema sering terlambat, padahal ini pertama kalinya.
Hans memilih diam. Membiarkan itu jadi bagian bos dan sekretarisnya. Dante yang memang orangnya selalu tepat waktu, disiplin, pasti akan mempermasalahkan Reema.
Reema menggigit bibir bawahnya. Ia tahu, menjelaskan bisa terdengar seperti alasan. Tapi tetap ia katakan pelan, "Bapak saya dirawat inap sejak semalam. Saya berjaga, karena adik saya sedang ujian. Saya kesiangan...”
Tatapannya tak berubah, sorot dingin seperti biasa, suaranya nyaris tak berperasaan saat berkata, "kalau memang tidak sanggup membagi waktu, lebih baik ajukan cuti. Jangan bawa urusan rumah, keluargamu ke kantor. Di sini kamu sekretaris saya. Itu saja."
Kalimat itu bagai tamparan.
Reema menunduk lebih dalam, menahan napas yang tercekat. Ia ingin berkata banyak hal—ingin menjelaskan lebih jauh, ingin berkata bahwa ia hanya butuh dimengerti hari ini saja. Tapi ia memilih diam. Menelan rasa sakit yang tak bisa dibalas. Dante ada benarnya, tapi kata-katanya selalu saja tajam tak berperasaan.
Dante kembali membuang pandang ke layar komputer. "Mulai pekerjaanmu. Dan siapkan bahan presentasi jam sepuluh."
“Saya akan siapkan kopi—“
“Hari ini saya sudah tidak menginginkan kopi. Kamu merusak suasana pagi saya dengan keterlambatan ini.”
“Sekali lagi, maafkan saya, Pak...”
Dante mengibaskan tangannya. Reema melangkah pelan keluar ruangan dengan perasaan seperti baru dihukum. Tapi ia tetap berjalan tegak. Hans memilih diam, kemudian melanjutkan diskusi dengan Dante.
***
Hari ini terasa berat. Bukan hanya karena Reema datang terlambat untuk pertama kalinya sejak bekerja di bawah Dante, tapi juga karena pikirannya yang terus kembali ke rumah sakit. Ia berusaha fokus, mengetik laporan, mengatur jadwal meeting, tapi tetap saja ada satu-dua kekeliruan kecil yang ia lakukan tanpa sadar. Selembar dokumen tertukar. Jadwal salah input. Padahal ia terus mengupayakan tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun hari ini yang akan memancing amukan sang bos.
Dante menatapnya tanpa berkata apa-apa di awal. Tapi saat sore menjelang dan Reema menghampiri dengan suara pelan, “Pak Dante, jika memungkinkan... saya ingin izin pulang sedikit lebih cepat hari ini. Ada yang perlu saya urus di rumah sakit.”
Dante meletakkan pena di atas meja. Matanya menatap lurus ke arahnya. “Datang terlambat, dan ingin pulang cepat?”
Jelas kalimat itu sindiran.
“Saya tahu seperti tidak tahu diri meminta izin ini.”
“Apa tidak ada orang lain yang bisa menjaga ayahmu? Keluargamu harusnya mengerti kalau kamu punya tanggung jawab lain dengan pekerjaanmu!” Pertanyaan itu menusuk jauh lebih dalam daripada yang Dante sadari.
Reema terdiam. Menunduk pelan, seolah mengumpulkan keberanian.
“Ada ibumu, atau siapa pun itu... minta mereka menjaga sebentar. Jangan sampai karena ini kamu kehilangan pekerjaanmu!”
Lalu suaranya terdengar lirih namun jelas, “Ibu saya sudah meninggal dunia, Pak. Yang tersisa hanya saya dan adik saya. Keluarga lain tidak dekat... mereka sudah punya hidup masing-masing. Adik saya juga masih sekolah, jadi saya memang yang diandalkan.”
Sejenak, suasana di ruangan menjadi sunyi. Hanya terdengar suara AC dan detak jam dinding. Dante tidak berkata apa-apa. Tatapannya tetap dingin, namun ada sesuatu di sorot matanya yang tak sekeras biasanya.
“Jika memang Pak Dante tidak mengizinkan, saya akan tetap tinggal—“
“Pulanglah,” katanya singkat.
Reema mengangguk pelan, ternyata Dante mengizinkan. Lega walau masih dalam suasana tegang. “Terima kasih, Pak...”
Ia berbalik, berjalan perlahan keluar. Saat pintu tertutup, Dante menyandarkan punggungnya di kursi. Pandangannya menatap kosong ke arah berkas-berkas di meja, tapi pikirannya tidak lagi di sana.
Enam bulan. Enam bulan wanita itu bekerja bersamanya—setia duduk di luar ruangannya, mengatur jadwalnya, menjaga rapat-rapat berjalan lancar, memastikan makan siangnya sesuai selera dan aman dari alergi... dan selama itu, ia tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pribadi Reema Kanaya. Tidak tahu bahwa ayahnya sakit parah. Tidak tahu bahwa ibunya sudah tiada. Tidak tahu bahwa sekretaris yang ia tuntut untuk selalu profesional itu, ternyata sedang berjuang sendirian menjaga keluarganya tetap berdiri.
Dante mengembuskan napas pelan, lalu membuka berkas baru.
***
Lorong rumah sakit itu sudah tak asing lagi bagi Reema. Bau antiseptik, suara alat medis yang berdenting pelan, bertemu wajah-wajah yang lelah menunggu kabar—semuanya telah menjadi bagian dari hidupnya sejak Bapak sakit.
Ia duduk di kursi tepat di samping ranjang tempat ayahnya terbaring. Tubuh lelaki itu tampak lebih kurus dibanding sebulan lalu. Selang oksigen terpasang di hidungnya, dan dadanya naik turun perlahan dengan suara napas yang berat. Kanker paru-paru stadium lanjut yang diderita ayahnya makin hari makin menggerogoti kekuatannya. Dan kemarin, kembali terjadi komplikasi yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit.
Reema menggenggam tangan ayahnya. Urat-uratnya menonjol, dingin, namun masih ada sedikit genggaman kembali dari ayahnya.
“Maaf ya, Pa… Reema belum bisa kasih perawatan yang terbaik...” lirihnya, ia sudah berusaha.
Ia menatap infus yang menetes perlahan, menghitung detiknya, lalu mengalihkan pandangan ke papan nama pasien di ujung ranjang. Rumah sakit pemerintah ini sudah cukup baik dalam menangani kondisi pasien, tapi tetap saja tidak semua pengobatan bisa ditanggung penuh. Beberapa obat yang lebih ampuh, terapi yang lebih intensif, semuanya berbayar.
Kartu kesehatan dari pemerintah hanya menanggung separuh jalan. Sisanya? Reema menambalnya dari gajinya yang nyaris habis setiap akhir bulan. Meski nominal gajinya meningkat pesat sejak bekerja sebagai sekretaris pribadi Dante, uang itu bukanlah segalanya saat tagihan rumah sakit dan hutang keluarga terus menguntit seperti bayangan yang tak pernah selesai. Hutang lama yang masih ada—pinjaman saat kondisi keuangan keluarga runtuh karena bisnis kecil-kecilan gagal dan tabungan terkuras untuk biaya pengobatan ibunya juga.
Reema menarik napas panjang. Wajah ayahnya tenang, tapi juga tampak seperti menanggung rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan.
Tanpa sadar, air mata jatuh dari sudut matanya. Ia cepat-cepat menghapusnya, tak ingin terlihat rapuh. Tapi malam ini ia lelah, tetap yang ia tahu jika Reema andalan keluarga yang selalu harus terlihat kuat dan bertahan. Memikirkan semuanya bersamaan ia harus mencari nafkah untuk keluarganya.
Jam dinding menunjuk angka sebelas malam. Ruangan mulai senyap. Reema menggenggam tangan ayahnya erat, lalu tanpa sadar... ia tertidur di sana. Dalam posisi duduk, dengan punggung kaku dan kepala bersandar pada ranjang.
Sementara itu kehidupan lain sedang diisi oleh gemerlap dunia. Lampu-lampu klub malam exclusive itu berpendar mewah, membelah ruangan luas penuh dentuman musik dan gelak tawa. Sofa panjang dengan pelapis beludru gelap berjejer mengelilingi meja kaca, di mana aneka minuman premium ditata dalam botol kristal, lengkap dengan platter makanan mahal meliputi wagyu mini sliders, foie gras crostini, dan sushi grade-A yang diletakkan di atas batu es artistik.
Dante duduk di sudut VIP, mengenakan setelan kasual hitam dengan jam tangan mewah di pergelangan. Ia baru saja menyesap single malt whisky berusia puluhan tahun, pesanan khas yang selalu disiapkan staf begitu ia datang. Tapi malam ini, rasa minuman itu terasa hambar di lidah.
Di sekelilingnya, teman-temannya mulai dari pebisnis muda dan pewaris kaya lainnya tengah tertawa lepas, masing-masing sudah ditemani wanita cantik yang dengan cepat akrab. Termasuk Ibra yang setelah pendekatannya gagal dengan perempuan tambatan hatinya, dikabarkan sudah menikah, ia kembali ke dunia ini. Musik berdentum, pelayan berlalu-lalang dengan tatapan memuja. Semua tampak glamor, seperti biasa. Tapi tidak untuk Dante.
Ia hanya duduk, sesekali menjawab singkat percakapan, lebih sering memandang kosong ke arah gelasnya. Ibra menepuk bahunya, “muram banget, Dante? Ayolah, kayak bukan biasanya! Apa tidak ada yang menarik?”
Dante hanya tersenyum tipis. Tidak menjawab. Ibra yang mengenalnya, tidak lanjut mengganggu. Hidup seperti ini, dulu memberinya pelarian apalagi enam bulan terakhir Dante sedang tidak bersama wanita mana pun. Dulu Party-party yang kerap diadakannya atau teman-temannya. Kehidupan liar dan bebas. Tapi malam ini—anehnya, semua terasa kosong.
Setelah satu jam hanya duduk diam dan menolak tawaran perempuan yang mencoba mendekat dengan wajah dinginnya, Dante memutuskan pulang lebih cepat. Sopirnya mengantar ke apartemen. Dia tidak mabuk.
Dante membuka dasinya, melempar jas ke sofa, dan menuang air putih. Dia berjalan ke balkon, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang tak pernah tidur. Tapi yang terbayang justru ekspresi Reema siang tadi. Cara wanita itu menunduk, suara lirihnya saat memberitahu sedikit mengenai keluarganya.
Ada sesuatu di sana. Bukan sekadar kesedihan.
“Terlalu sederhana...” Bibir Reema tak pernah banyak bicara. Penampilannya sederhana—kemeja polos, rambut yang selalu diikat rapi, wajah yang jarang memakai riasan mencolok apalagi perhiasan. Semua yang dipakainya terlalu biasa, tas yang sama, ponsel seri bertahun-tahun lalu yang menurutnya sudah ketinggalan jaman. Tapi di balik itu semua, ada dunia yang seolah tidak pernah ingin ditampakkan.
“Dengan gaji dan bonus-bonusnya, dia harusnya mulai membuang barang-barang usangnya...” gumam Dante.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya, Dante menyadari... ia penasaran. Penasaran pada hidup Reema Kanaya yang tidak ia mengerti, perlahan mulai menarik perhatiannya lebih dari perempuan mana pun yang pernah ia jamah atau bahkan perempuan yang coba dikenalkan Mami padanya.
Ia meraih laptop, membuka fail berisi data dan informasi Reema Kanaya yang bahkan sebelumnya tidak dipedulikan. Dante membacanya tanpa melewati satu pun kata yang tertera di sana. Berhenti lama menatap foto sederhaha Reema yang terlampir di sana. Senyum lebar berlipstik nude, warna pilihan bibirnya yang selalu sama.
"Damn, sejak kapan aku memerhatikan dan mengingat warna lipstiknya segala?!" Decaknya merasa aneh. Maka cepat-cepat ia tutup laptop tersebut supaya tetap waras mengenai sekretarisnya.