Prolog

1036 Words
Jemarinya mulai mengepal gugup menghadapi sepasang mata tajam bagai elang yang tengah mengintai mangsanya. Reema tahu jenis tatapan itu, mulai hafal. Kemudian pria di hadapannya mengangkat salah satu tangan yang terpasang arloji, seolah memastikan. Mencoba mengingatkan, mungkin saja bosnya mau berubah pikiran saat Reema mulai membuka mulutnya untuk berkata... “Pak Dante ada janji lagi, Pak komisaris utama—“ “Kurang dari sepuluh menit, sebelum papiku tiba di sini... menemuiku.” Satu alisnya naik, kemudian mengedik pada pintu. Reema berbalik sambil menarik napas dalam. Ruang kantor itu hening ketika hanya suara detik jam dinding dan desiran AC yang mengisi jeda di antara mereka. Dengan berat hati Reema memutar kunci barulah menoleh, Dante masih berdiri tegak, jasnya terbuka, dasi sedikit longgar, wajahnya dingin seperti biasa. Sementara matanya masih tajam dan dalam, menahan gejolak yang tak ia izinkan orang lain lihat. Tanpa berkata apa pun, Reema melangkah maju, mendekat dengan satu tujuan. Dia siap mengambil posisi di hadapannya tetapi tarikan pada pergelangan tangan Reema bukan kasar, melainkan begitu pasti. Tubuhnya terjerat dalam dekapan yang mulai familiar. Sangat erat, menuntut, dan menyisakan nyaris tak ada ruang untuk bernapas selain di dadanya. Aroma maskulin Dante, aroma kopi hitam dan cologne kayu, langsung memenuhi seluruh pikirannya. “Ketika aku menginginkanmu,” bisiknya, kasar tapi rendah. “Kamu tidak punya tempat untuk menghindar... Ngerti?” Kepalanya mengangguk, “ya...” Reema tak bertanya, tak menawar lagi. Berakhir dalam pelukan itu, ada bahasa yang tak diucapkan tapi ia kenal betul. Dante memutarnya. Saat tubuhnya mulai menyentuh pinggir meja kerja yang terasa dingin, kokoh, seperti pemiliknya, Reema hanya bisa menarik napas dan membiarkan tubuhnya menyesuaikan ritme yang Dante mulai atur. Jarinya mencari kancing kemeja Reema dengan cepat, tanpa terburu, namun tahu waktu mereka terbatas. Tatapan Dante gelap dan penuh lapar, seakan setiap detik yang ia dapatkan darinya harus dimiliki sepenuhnya. Ciumannya bukan lembut melainkan klaim. Ada gemetar halus pada jari-jarinya yang menyentuh sisi wajah Reema, seakan ia sedang memohon agar perempuan ini tidak ke mana-mana, tapi jelas seorang Dante tidak pernah memohon padanya. Sentuhan yang mulai menggebu namun menyimpan kerentanan tersembunyi. “Berbalik... Jangan coba mendahuluiku sampai aku mengizinkan...” bisiknya dapat anggukannya, lalu Reema mengatur posisi, tangannya mengerat pada pinggiran meja saat membungkuk. Roknya mulai tersingkap di pinggang. Dia memejamkan mata melihat dirinya ada diposisi ini. Sungguh memalukan. Menjual diri. Hanya itu sebutan yang pantas untuk dirinya, tidak ada nama lain dalam hubungannya dengan sang Bos. Reema kian menggigit bibirnya saat merasakan kecupan demi kecupan basah di tengkuk bersamaan rambutnya yang digenggam dan ditarik. Kasar tapi tidak menyakiti. Jemari dante lainnya menyentuh titik terintim tubuhnya. Desahan tertahan, hela napas yang dalam, jemarinya kian berpegangan erat. Tubuh mereka saling mencari, bukan karena rindu apalagi rasa bernama cinta, tapi karena kebutuhan satu sama lain. Dunia luar tidak bisa menyentuh mereka di sini. Tidak kantor, tidak keluarga, tidak publik. Saat detik terakhir mendekat, dan Dante menarik Reema lebih dekat satu kali lagi, kepalanya bersembunyi di lekuk lehernya sejenak. Napasnya berat, panas. Kaki Reema gemetar, lemas andai Dante tidak menahan dalam pelukan tangan kokohnya, pasti ia sudah jatuh terduduk lemas. "Reema," bisiknya di antara hela napas, “rapikan pakaianmu segera...” Reema memejamkan mata saat merasakan Dante menarik dirinya, ia segera berpegangan walau waktunya sebentar. Tak diberi waktu untuk menikmati sisa-sisa sentuhan panas mereka. Lalu menguatkan pijakan kakinya untuk berdiri tegak. Dia berbalik untuk sepersekian detik, ia melihat wajah yang selalu dingin itu.. Dante segera menjauh, rapi dalam satu gerakan refleks yang hanya bisa dikuasai oleh seseorang yang terlalu sering hidup dalam tekanan dan pencitraan. Ia memperbaiki dasinya, menutup dua kancing teratas jasnya juga celananya, dan menarik napas panjang seolah semua gejolak yang barusan terjadi tak pernah ada. Gerakan tangan Dante berhenti, kemudian menatap wanita itu yang masih berpakaian kacau justru memerhatikannya lekat. Satu alis Dante naik, “tunggu apa lagi? Papiku akan segera datang... Kamu akan biarkan Papi melihatmu begitu?” Reema terkesiap. Kemudian terburu-buru menuju kamar mandi dalam ruangan itu. Mengatur napasnya sambil merasakan tangan sedikit gemetar, kembali merapikan pakaiannya yang agak kusut dan terlepas, menyapu sisa-sisa keterlibatan dari kerah dan pergelangan tangannya. Matanya sempat mencari pantulan wajahnya di kaca wastafel, memastikan tidak ada yang terlalu terlihat. Kembali memoleskan lipstik walau bibirnya masih agak kebas. Seketika semuanya harus kembali seperti semula. Seolah tidak ada badai hasrat yang baru melanda bos dan sekretaris itu. Dante melirik ke arahnya setelah Reema melangkah dari kamar mandi. Dante sudah kembali duduk di kursinya tanpa minat menanyakan kondisinya. Reema berjalan keluar dengan langkah pasti. Detak jantungnya masih kacau, tapi wajahnya kembali tenang. Begitu ia memutar kunci, lalu keluar pintu ruangan, baru tiga langkah langsung mendapati Ardhani Nadav Sadajiwa, Papi Dante—pendiri sekaligus komisaris utama Sadajiwa Konstruksi berjalan ke arah ruangan putranya didampingi seorang personal asisten. Dengan aura yang tak kalah kuat dari putranya. Lebih tua, tapi tidak melemahkan kesan dominan yang terpancar dari setiap langkah dan sorot matanya. Reema langsung bersikap formal, membungkuk hormat dan memasang senyum seolah tidak ada hubungan pribadi melewati batasan yang beberapa detik lalu terjadi dengan si putra sulungnya. Dante selalu tepat perhitungan, lihatlah mereka selesai tepat beberapa detik saja sebelum Papinya tiba di sana. “Silakan masuk, Pak... Pak Dante sudah menunggu...” Ia membukakan pintu menarik atensi Dante. Suaranya tenang tanpa gemetar, sesuatu yang perlu Reema syukuri. Sebelum masuk, mata Papi dari bosnya itu sempat menoleh pada Reema, memperhatikannya sejenak dengan tatapan tajam dan penuh pengamatan. Sempat membuatnya tegang. Sekilas hanya mengangguk dan kemudian masuk. Reema menutup pintu dan menarik napas dalam saat kembali sendirian, hanya sesaat lalu menegakkan dirinya lagi, kembali pada perannya sebagai sekretaris profesional. Tidak lebih. Tidak kurang. Harusnya sebatas itu. Namun, di balik meja kerja itu, di balik ruangan mereka, di antara tumpukan berkas dan notulen yang belum sempat ia selesaikan, hatinya masih bergetar. Bukan karena takut… tapi karena ia tahu, batas antara peran dan perasaan mereka semakin kabur. Semakin rumit. Semakin menantang untuk dijaga. Dan ia juga tahu satu hal pasti bila Dante mungkin selalu bisa menyembunyikan emosi di balik wajah dinginnya, akan tetapi tidak saat tangannya menggenggam tubuhnya seakan tak ingin melepas. Reema terlanjur memilih pilihan jalan satu ini, dia tahu semakin masuk dalam dekapan sang bos, Dante... dirinya semakin menyerahkan diri pada rasa sakit yang disengaja. Tapi, berhenti pun belum waktunya. Ia masih membutuhkan Dante.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD