Dante membuka matanya mendapati cahaya matahari menyelinap malu-malu di balik tirai tebal apartemennya yang berada di lantai tiga puluh sekian. Mengintip ke dalam kamar luas bergaya modern yang lebih sering sepi dari suara manusia, tapi tidak pernah kekurangan aroma mahal.
Anvya Dante Sadajiwa masih berbaring, tubuh atletisnya terlilit selimut linen abu gelap. Udara kamar sejuk, terlalu hening seperti rutinitas yang sudah tertanam, hal pertama yang ia lakukan bukan membuka mata lebar, melainkan memastikan terbangun hanya seorang diri. Pandangan matanya menyapu ruangan. Sepi. Tas maupun pakaian perempuan yang semalam datang sudah tak terlihat. Sepatu hak tinggi yang sempat tergeletak di dekat karpet juga sudah menghilang.
Dante tidak suka basa-basi. Terutama di pagi hari saat ia perlu suasana hati baik untuk memulai rutinitasnya.
“Hm!” Dengan kepala masih sedikit berat, ia duduk perlahan di sisi ranjang, meraih botol air dan meneguk dua butir obat pereda hangover dari laci kecil di samping tempat tidur. Tangannya terlatih, dingin, cekatan, seperti segala sesuatu dalam hidupnya yang selalu terjadwal.
Tidak ada waktu berlama-lama. Beberapa menit kemudian, Dante muncul dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, jubah mandi hitam menempel rapi di tubuhnya. Ia berjalan ke ruang wardrobe—ruangan yang lebih luas dari kamar tidur biasa pada umumnya.
Interior wardrobe-nya tertata sempurna dari rak-rak kayu dark walnut, pencahayaan LED yang hangat, dan sistem gantung yang mengorganisasi puluhan set kemeja, jas, dan dasi. Kemeja-kemeja putih dan hitam berjajar dominan, diselingi abu dan biru tua yang hampir tak tersentuh. Tidak ada motif mencolok. Tidak ada warna cerah. Dante bukan tipe pria yang kompromi dengan warna-warna demi gaya.
Ia memilih satu set kemeja putih bersih dan celana bahan hitam. Saat mengenakan jam tangan tipe Audemars piguet dengan dial tapisserie biru tua. Tepat ponselnya bergetar di atas laci.
Satu nada dering pendek. Telepon masuk dari Hans, orang kepercayaanya yang harus merangkap atur agendanya selama sekretaris baru belum ada. Ia angkat tanpa menatap layar.
“Ya,” suaranya serak, berat, dingin.
“Selamat pagi, Pak Dante. Saya ingin mengingatkan agenda hari ini untuk meeting jam sepuluh, lalu setelah makan siang, menggantikan Komisaris Utama bertemu dengan dengan Pak Harsono dari pihak Global Maxs.”
Dante memasang jam tangan, matanya kosong mengarah ke cermin. Rambutnya masi berantakan belum terkena pomade.
“Apa mereka sudah menemukan sekretaris baru?” tanyanya datar, sambil menyapukan tangan ke rambutnya yang kini mulai kering. Memakai pomade.
“Sudah mulai hari ini, Pak. Namanya Reema Kanaya.”
Hening sejenak.
Dante menghela napas pelan. Namanya asing.
“Pastikan kali ini sekretaris dengan otak, dan cekatan. Bukan seperti jalang penggoda, seperti yang terakhir! Ceroboh, bodoh!” Ia mengingatkan berulang.
Hans menarik napas dalam-dalam, “kali ini dipastikan sesuai standar yang Pak Dante inginkan. Cerdas, cekatan.”
Dante menutup panggilan. Menatap dirinya di cermin sekali lagi.
Wajah dingin, mata gelap, dan raut yang nyaris tak memberi ruang untuk kelembutan.
Pagi ini akan panjang. Dan ia tidak punya waktu untuk kesalahan pertama terutama yang dilakukan sekretaris barunya nanti.
***
Mobil hitam mengilap berhenti mulus di depan lobi gedung Sadajiwa Konstruksi. Seorang petugas keamanan langsung membukakan pintu belakang, dan dari dalam Dante turun dengan langkah pasti. Sepatu yang digunakannya begitu licin dan mengkilap. Setelan jas hitamnya jatuh sempurna di bahu tegap, dan kacamata hitam membingkai sorot matanya yang dingin, nyaris tak terbaca.
Dari luar, ia terlihat seperti pria yang punya segalanya. Dan memang begitu kenyataannya. Begitu pintu lift terbuka ke lantai dua puluh tiga, aroma khas ruangannya menyambut lebih dulu. Aroma ruangan yang khas. Namun pagi ini, ada sesuatu yang sedikit berbeda.
Seseorang asing berdiri di luar pintu ruangannya. Perempuan. Wajah baru. Dia...
Dante menghentikan langkahnya sejenak. Melepas kaca mata hitamnya untuk mengintai tubuh ramping, pakaian rapi, rambut tertata sederhana, dan sorot mata yang mencoba terlihat tenang meski ada gugup yang samar. Ia menilai dalam satu lirikan cepat—cara berdiri, cara menempatkan tangan saat membungkuk memberi salam, bahkan detak gugup di tulang rahang yang mengeras tanpa sadar.
”Hans bilang siapa tadi namanya? Yena, Lena....” batinnya coba mengingat nama yang sebenarnya sederhana tapi dasarnya Dante tidak terlalu peduli, kecuali wajahnya menarik perhatian dengan cara yang tidak seharusnya terjadi di hari pertama.
“Selamat pagi, Pak Dante. Saya Reema Kayana, sekretaris baru Anda.”
Suaranya sopan, jernih. Tidak terlalu lembut, tapi tidak juga kasar. Nada yang biasanya mudah ia abaikan. Dante menatapnya. Diam. Tidak menjawab salam. Matanya mengunci wajahnya. Begitu halus. Begitu muda.
“Kita lihat berapa lama kamu akan bertahan. Satu-dua hari atau mungkin kurang dari dua puluh empat jam seperti yang terakhir...”
Biasanya ekspresi dan kalimat yang meluncur dari bibirnya cukup mengintimidasi bagi orang baru, tapi sekretaris barunya cukup bisa mengatur ekspresi untuk tetap tenang dan mengejutkan saat mengangkat dagunya dan menautkan tatapan dengan percaya diri yang tepat saat berikutnya menjawab keraguan Dante.
Dante tidak merespons lebih, terlalu membuang waktu jadi meneruskan langkah. Sudut bibirnya berkedut ketika ia sudah duduk sambil melepaskan kancing jasnya, “kita lihat kepercayaan dirinya hanya di mulutnya itu, atau benar adanya...”
“Pak Dante bilang sesuatu?” tanya Hans, dan Lastari—asisten manajer operasional menatapnya karena merasa Dante bergumam sesuatu.
Ia menyapu mejanya, kemudian menatap “di mana kopiku?”
Tepat pintu diketuk, tidak lama sekretaris barunya masuk. Membawa langkahnya dengan pasti, ditangannya ia membawa secangkir kopi untuknya.
Dante menautkan tangan dan meletakan di bawah dagu, memerhatikan saat Reema mendekat dan meletakan secangkir kopinya. Tangannya tidak ada gemetar sama sekali.
“Silakan, Pak...”
Wanita lebih tua di sana, Ibu Lastari menambahkan, “saya pastikan kopinya sesuai untuk Pak Dante. Saya sudah beritahu Reema..."
Namun kalimat Lastari belum selesai, Dante yang baru mencicip sedikit langsung meletakan kembali cangkir dengan kasar, "terlalu asam! Apanya yang sesuai?!" katanya dan memberi tatapan meremehkan pada Reema.
***
Ruangan rapat lantai dua puluh dua sudah tertata rapi ketika Reema masuk sepuluh menit kemudian. Ia memastikan proyektor menyala, air mineral tersedia, dan notulen rapat ada di tempatnya. Seluruh tindakannya terukur, pengalaman sebelumnya di tempat kerja lama pun ia coba memaksimalkan.
Dante masuk tanpa suara. Setelan jasnya masih sempurna, rambutnya tak bergeser sedikit pun. Ia duduk di ujung meja panjang tanpa berkata sepatah kata. Reema berdiri di sisi, bersiaga dengan buku catatan di tangan. Dua kepala divisi menyusul masuk dan memulai presentasi mingguan.
Selama pertemuan, Dante tak banyak bicara. Tapi ekspresinya cukup membuat semua orang menjaga intonasi dan pilihan kata. Tatapannya bisa berubah tajam hanya karena satu grafik yang tidak akurat. Bahkan ketika seseorang lupa menyebutkan angka pertumbuhan kuartal, Dante hanya menoleh sedikit lalu pria yang ditatap tajam langsung tersendat bicara.
Reema mencatat cepat, berusaha menangkap alur pembicaraan yang berjalan cepat dan teknis. Beberapa istilah teknik konstruksi masih asing di telinganya, tapi ia tidak membiarkannya lewat begitu saja. Dalam hatinya, ia berjanji akan mencari tahu malam ini. Semua harus ia pahami.
Satu jam kemudian, rapat selesai. Dante bangkit, mengambil map di tangannya, lalu berhenti sejenak di dekat Reema.
“Office,” katanya datar, lalu berjalan lebih dulu ke ruangannya.
Reema mengikuti. Begitu masuk, Dante meletakkan map di mejanya. Ia tidak langsung duduk, melainkan berdiri menghadap jendela besar dengan pemandangan kota Jakarta yang padat.
“Kamu bisa cepat mencatat,” katanya tiba-tiba, “saya akan tahu dalam seminggu, apakah kamu hanya cepat... atau benar-benar paham.”
Reema menegakkan badan. Ia tahu, ini ujian berikutnya.
“Saya akan belajar, Pak. Beberapa istilah tadi memang masih asing ditelinga saya,” jawabnya jujur.
Dante menoleh sekilas. Tidak tersenyum. Tapi ia tak mengatakan apa-apa lagi, hanya kembali duduk di kursinya dan mulai membuka laptop.
Mendapati Reema masih berdiri di tempatnya, ia bertanya “ada lagi yang Pak Dante butuhkan?”
“Buatkan saya kopi lagi, yang tadi terlalu asam!”
"Baik, Pak..." Reema berbalik, lalu setelah berada di luar segera berlari-lari kecil ke pantry, lalu kembali kali ini Dante mendapati tangan sedikit gemetar membawa kopi dari bubuk Aceh Gayo yang sudah ia pelajari cara menyeduhnya tadi sebelum membuat ulang. Ia letakkan perlahan di meja Dante sambil merasakan jantung berdebar-debar.
Pria itu mencicipi sedikit. Lalu tanpa memandang, berkata pelan “ini hal pertama darimu untuk hari ini yang akhirnya tidak mengecewakan saya.”
Itu mungkin bukan pujian... tapi bagi Reema, itu cukup satu kemajuan setelah kesalahan tadi.
“Saya bilang begitu, bukan berarti saya langsung puas sama pekerjaanmu.” Sindirnya yang langsung membuat senyum Reema hilang.
Hari itu berjalan dengan cepat. Panggilan masuk dari klien luar negeri. Meeting tak terjadwal. Dante meminta berkas tender lima menit sebelum jam makan siang. Berlanjut bahkan sampai langit menggelap.
Pria itu keluar ruangannya dan menemukan Reema masih bertahan menunggunya, “Pak Dante sudah selesai?”
Dante hanya melirik sekilas tetap melangkahkan kaki ketika mengatakan, “terserah kalau kamu mau bermalam di sini.”
Itu artinya aku sudah boleh pulang?! Batin Reema yang tersentak dengan cara Dante menjawab.
Dia masuk lift, tidak lama Reema menyusul dengan menenteng totebag hitam miliknya. Tampilannya benar-benar sederhana, berbeda dari sekretaris sebelumnya. Reema mengambil posisi cukup berjarak darinya sambil menunduk, tepat di belakang Dante. Sementara Dante yang awalnya membawa pandangan lurus, mulai memasukkan tangan ke saku dan menatap Reema dari pantulan pintu lift.
Reema yang merasa diperhatikan mengangkat pandangan, sempat bertemu tatap beberapa detik sampai denting lift terdengar tanda mereka sudah tiba di lobi kantor dan Reema tetap mengikuti bahkan menunggui hingga Dante masuk mobil dan berlalu dari sana.
Pulang malam itu, tubuh Reema lelah luar biasa. Namun dalam hatinya, ada sesuatu yang tumbuh. Satu keyakinan kecil bahwa ia bisa bertahan. Bahwa ia bisa menjinakkan ritme gila dari seorang Dante. Mungkin bukan hanya bertahan juga menjadi satu-satunya yang bisa menyesuaikan diri di balik ketegasan dan kesempurnaan pria itu.