BAB 2 Balada Baju Baru Dadakan

1894 Words
Di toko koperasi sekolah. Nara bersiap membayar ke kasir dengan menenteng sebuah kemeja putih yang sudah tidak berplastik lagi, sepertinya sebelumnya dia sempat mencoba ukurannya dahulu supaya pas di tubuhnya. Langkahnya terhenti tepat di belakang dua orang gadis seusianya yang juga tengah membayar belanjaan mereka. “Gara-gara Si Kunyil nih, aku kehilangan setengah uang jajanku jatah seminggu ini,” gerutu salah satu gadis yang berdiri di depan meja kasir. “Udah dong, Neng. Daripada kamu nggak selamat pas pelajaran PKN nanti? Pilih mana? Cepetan bayar dong, keburu bel masuk, nih. Belum lagi pasang atribut tanda lokasi kelas kita di seragam baru elo ini,” jawab satu gadis lainnya memaksa si teman supaya cepat bayar. “Nih Mbak, baju satu, lem satu, sama atribut lokasi kelas 8-C satu,” sebut gadis yang tak lain adalah Matcha, jelas terdengar nada tak relanya. “65 ribu,” sebut Si Embak penjaga kasir. “Tuh khan bener, Re. Uang jajan gue seminggu kepotong segitu banyak. Sebel deh, ini semua gara-gara Si Kunyil sialan,” kedumel Matcha sambil meletakkan selembar uang 100 ribuan di meja kasir yang segera di ambil oleh Si Embak penjaga untuk di transaksikan di mesin kasir dan di berikan uang kembalian. Selesai menerima kembalian, kedua gadis itu segera balik badan. Dan, asap amarah segera mengepul di kepala Matcha begitu melihat sosok konyol yang membuatnya harus rela kehilangan separuh uang jajannya minggu ini gara-gara membeli seragam baru dadakan. Kunyil yang di maksud Matcha tentu saja adalah “Seekor Nara”. Mohon maaf karena terpaksa meminjam istilah Matcha yang tentu saja tidak mau mengucapkan istilah sesuai ejaan EYD yang benar, yang harusnya berbunyi “Seorang Nara” pada cowok yang menurut Matcha adalah cowok paling menyebalkan sedunia. Amarah Matcha hampir meledak melihat cowok yang hanya cengar-cengir menatapnya. Namun urung ketika melihat sebuah baju putih yang juga ada di tangan cowok itu. Dia sedikit berusaha memaklumi kalau cowok itu juga bakal kehilangan sekian banyak persen jatah uang sakunya minggu ini gara-gara ulah dia yang tadi balas dendam dengan memberikan noda yang sama di bajunya. Fine, Fair, Adil. Begitulah menurut Matcha. Matcha dan Rena bermaksud melewati Nara tanpa berucap sepatah katapun. Namun sebuah tarikan kuat segera menghentikan langkah gadis yang berlalu masih dengan bibir cemberut. Si Gadis yang terganggu menoleh sadis dengan tatapan membunuhnya siap menikam wajah tampan Nara. “Apa sih, Kunyil? Masih kurang kejahatan elo yang bikin gue kehilangan banyak uang saku buat seminggu ini?” tanya Matcha dengan memendam amarah yang berkobar di dadanya. “Idih, emang elo doang yang uang sakunya berkurang? Gue juga. Nih terpaksa beli baju juga gara-gara elo,” bela Nara tak mau di salahkan sambil mengacungkan baju di tangan yang hendak dia bayar. “Trus, elo mau apa? Minta ganti rugi sama gue?” tanya Matcha dengan gaya nyolotnya. Kekesalan benar-benar sudah memenuhi jiwanya. Apalagi tangan Nara yang menarik seragamnya masih belum terlepas. “Enggak kok, Cho, gue cuma minta lem aja buat pasang atribut lokasi kelas. Sekalian tolong pasangin yang rapi, ya? Tolong ya Cho ya ... please.“ “Cih, enak bener elo ngomong, sudah bikin gue celaka, minta lem, pake suruh masangin segala. Baik amat gue sama elo, ogah gue,” Matcha berdecih dengan sebalnya. “Ah ... udah-udah ribut mulu kalian sedari tadi. Udah sini, nanti gue yang pasangin buat kalian. Keburu bel masuk, nih.” Rena yang selalu menjadi penengah setiap kali gencatan senjata dan adu mulut terjadi di antara dua kepala itu segera beraksi menjadi wasit. “Nah, gitu dong kayak Rena, selalu jadi teman yang baik,” ucap Nara yang masih sempat-sempatnya menjulurkan lidah ke arah Matcha yang manyun berat. Serta merta gadis itu melemparkan tas kresek belanjaannya ke arah Rena, yang segera di tangkap gadis itu dengan sigap. Matcha kemudian bersedekap menatap sadis ke arah Nara. Menunggu cowok itu sampai selesai bayar belanjanya. Selepas Nara membayar di kasir, bertiga mereka berjalan keluar toko koperasi di ikuti gelengan Si Embak penjaga kasir yang sejak tadi hanya senyum-senyum melihat adegan unik bocah-bocah berseragam putih biru di depannya.  *****  Bel masuk tinggal sepuluh menit lagi. Rena bersama Matcha dan Nara masih berdiri di depan toilet. Matcha sudah memakai seragam barunya, sedangkan Nara masih menunggu hasil karya Rena yang tengah serius mengelem atribut lokasi kelas di baju barunya. “Ayo dong, Re, bikin gitu doang lama banget sih, lo,” ucap Nara yang jelas keliatan tak sabar dengan nada yang bikin kuping panas. Benar-benar menyebalkan. “Sialan lo, udah dipasangin, bukannya terima kasih malah banyak ngomong. Cepet ganti baju, gih!” umpat Rena sambil melemparkan baju yang di pegangnya ke arah Nara. “Eh, ternyata udah selesai, ya? terima kasih Rena cantik, lup yu pul deh,” iseng Nara sambil melesat ke arah toilet cowok. Sedangkan dua gadis itu, Matcha dan Rena segera cepat-cepat berjalan menuju ruang kelas mereka. Nara sukses duduk di bangkunya hanya dua menit sebelum Bu Sita, guru pelajaran PKN yang mengajar di kelas mereka masuk kelas. “Selamat siang, anak-anak,” sapa Bu Sita dengan suara tegas seperti biasanya. Guru PKN yang satu ini memang sama sekali tidak pernah terlihat lemah lembut layaknya guru-guru perempuan lainnya. “Selamat siang, Bu ... “ jawab serempak seisi kelas. “Baiklah, sekarang kalian buka halaman lima belas,” instruksi Bu Sita yang segera di turuti oleh murid-muridnya. Sambil menunggu para murid menyiapkan bahan pelajaran mereka hari ini, seperti biasanya, guru yang terkenal dengan kedisiplinan dan kerapiannya itu berjalan berputar kelas. Bangku Nara sudah terlewat dari Bu Sita, sekarang giliran Bu Sita berjalan di deret blok bangku Matcha. Sejenak Bu Sita berhenti di dekat Matcha, kemudian melihat dengan seksama atribut lokasi kelas yang tertempel di lengan bagian kanan baju Matcha. Kening Bu Guru yang berusia hampir setengah abad itu sedikit berkerut. Pandangannya beralih ke arah Nara yang menunduk melihat bukunya yang sudah terbuka. Bu Sita kembali berjalan, seulas senyum tipis beliau sembunyikan dari bibirnya. “Baiklah anak-anak, sebelum ibu mulai pelajaran siang ini, apakah di antara kalian hari ini ada yang merasa tidak rapi, atau ada atribut sekolah yang tidak lengkap?” tanya Bu Sita yang sejenak berhasil membuat kelas semakin hening. Terlihat anak-anak yang rata-rata berumur sekitar 13 tahun sampai 14 tahun itu saling memandang dengan teman sebangkunya. Matcha merasa sedikit ngeri, khawatir dia bernasib tidak mujur hari ini. Apalagi tadi Bu Sita sempat berhenti di dekatnya beberapa menit, pasti ada sesuatu hal yang menarik perhatiannya. “Kalau tidak ada, ibu akan segera menobatkan raja dan ratu kerapian kelas hari ini.” Semua melongo heran. Baru sekali ini Bu Sita memiliki istilah di kelas mereka seperti itu. Biasanya beliau hanya akan menyuruh siswanya yang tidak rapi untuk segera keluar kelas, yang berarti si murid tidak di ijinkan mengikuti pelajaran beliau yang pasti berakibat fatal pada nilai kedisiplinan di raport mereka. “Nara, Matcha, kalian maju ke depan kelas sini,” perintah Bu Sita tanpa basa basi lagi. Bagai terkena sihir, dua remaja itu segera beranjak menuruti perintah guru mereka. Matcha dan Nara di minta Bu Sita berdiri tepat di depan papan tulis. “Maaf Bu, memangnya kenapa saya dan Nara harus maju ke depan sini, ya?” tanya Matcha yang tidak sabar sekaligus tidak paham dengan maksud gurunya, berusaha menghilangkan rasa penasarannya dengan mencari jawaban langsung. Bu Sita tersenyum samar sambil melihat ke arah Nara. “Nara, apakah kamu juga sama penasarannya dengan Matcha?” tanya Bu Sita. “Iya Bu, saya merasa rapi hari ini, bahkan baju saya masih baru,” jawab Nara dengan percaya diri. Bu Sita mengambil penggaris panjang yang di sandarkan berdiri tak jauh dari papan tulis. Kemudian memegang penggaris itu dan di arahkan ke pinggang Nara sambil menyibak sedikit baju cowok itu. “Perhatikan ini. Pertama, Nara tidak pakai ikat pinggang.” Nara meraba pinggangnya perlahan. Yayaya, Nara menepuk jidatnya sendiri. Tadi karena buru-buru, pada waktu di bilik toilet dia nggak sempat memasang ikat pinggangnya. Fikir Nara, dia akan memasangnya ketika sudah di dalam kelas. Eh, ternyata keburu Bu Sita datang, jadi nggak sempat, lupa dan sekarang ketahuan. “Tadi saya sakit perut, Bu. Jadi saya lepas sementara ikat pinggangnya, ada di laci meja saya, Bu.” Nara berusaha mencari pembelaan atas kesalahannya. Cowok itu kemudian menoleh ke arah Matcha yang sudah melihatnya dengan sebal. “Terus Bu, Nara yang salah kenapa saya harus pakai ikut maju kesini juga, ya?” Matcha yang tidak terima segera menginterupsi keadaan itu. Bu Sita terlihat kembali tersenyum tipis. “Kedua. Karena, seperti yang kita ketahui semua, Matcha dan Nara khan cukup akrab dan kompak. Lihat saja, hari ini kalian kompak pakai baju baru, bener-bener baru sampai tercium bau barunya. Lihat, atribut lokasi kelas kalian juga baru dan sangat istimewa, sampai-sampai bau lem-nya masih tercium juga.” Wajah Matcha dan Nara berubah masam bersamaan. Apalagi teman-teman mereka mulai terlihat menertawakan kekonyolan dua teman mereka ini. Terlihat wajah-wajah lucu mereka yang menahan tawa. Teman sekelas mereka berdua tak heran atas kelakuan dua biang di kelas itu, selalu saja ada ulah yang bikin mules pemirsa gara-gara tingkah ajaib keduanya. Nara kembali menoleh ke arah Matcha sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. “Semua gara-gara elo,” desis Matcha tanpa suara. Tiba-tiba kembali terdengar suara Ibu Sita. “Matcha, apa dasar negara kita?” tanya Bu Sita spontan. “Pancasila, Bu.” “Benar. Sekarang kamu lafalkan teks Pancasila dengan keras sekarang juga.” Demi menyelamatkan diri, bagai anak TK yang di hukum gurunya, tanpa membantah Matcha segera mengucapkan kelima butir Pancasila dengan mulus bebas hambatan. Setelahnya Bu Sita mempersilahkannya kembali duduk. Dengan sukacita dia segera kembali ke bangkunya. Meninggalkan Nara yang berdiri seorang diri. “Nara, apa lambang negara kita?” “Tetap Burung Garuda, Bu. Belum ada revisi sampai dengan sekarang.” Otak konyol Nara tak bisa di kendalikan, begitu sadar dengan ucapannya dia segera membekap mulutnya dengan kedua tangan. Sedangkan murid sekelas yang lain tak bisa lagi menahan tawa melihat tingkah nekat Nara barusan yang serasa bunuh diri di pelajaran PKN. Bu Sita sedikit melotot ke salah satu muridnya itu. Meskipun muridnya itu sangat konyol, tapi Bu Sita tetap mengakui otak brilian cowok 13 tahun itu. “Sekarang, kamu nyanyikan dengan keras lagu Garuda Pancasila. Ulang sebanyak tiga kali.” Mampus deh, Nara mendapat hukuman tak ubahnya Matcha tadi yang mirip dengan anak TK. “Bu, masa nyanyi Garuda Pancasila sih, lagu lain aja ya, biar kita semua nggak ngantuk.“ Heh, kembali Bu Sita menatap gemas ke arah Nara. “Lagu apa yang kamu mau? Dangdut, Pop, Rock ... ?” “Terserah penginnya Ibu, deh, saya menguasai semua jenis lagu kok.” “Kamu pilih menyanyi Garuda Pancasila, atau ambil tas kamu kemudian segera keluar kelas dan karaoke di luar sana?” Nara terkejut dengan perkataan Bu Sita barusan. Kalau sampai keluar kelas, sia-sia dong pengorbanan hari ini yang ambil jatah uang saku seminggu buat beli seragam baru, batin Nara. Tanpa Bu Sita mengulang permintaannya, dengan suka cita Nara bernyanyi keras lagu Garuda Pancasila sebanyak tiga kali. Dan setelahnya cowok itu pun di perbolehkan duduk. Fiuhhh ... leganya. Untung hukuman hari ini hanya sebatas itu, jadi nggak sia-sia deh pakai baju baru dadakan. Kelas kembali hening dalam pelajaran PKN hari itu. Karena seperti biasanya, kemampuan melek mata mereka di pelajaran PKN ini tak lebih dari lima watt saja. Sangat bertolak belakang ketika tadi mereka menyaksikan insiden baju baru Matcha dan Nara. Benar-benar asyik, nggak kalah dengan opera komedi di siang bolong yang bikin mata terbuka terang benderang tanpa kantuk.  *****                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD