Sembilan

1004 Words
Menikahi Keke? Bujang tersenyum hambar, terlalu mustahil, terlalu tak masuk akal, dan terkesan lucu bagi Bujang. Rasanya ia tak perlu menanggapi gadis itu, gadis kecil yang masih labil, gadis kecil yang bahkan Bujang masih ingat, beberapa waktu yang lalu, belum begitu lama, masih suka main air hujan di lapangan bola takraw desa. Namun, apa yang disampaikan Keke begitu mengganggunya, seharusnya dia tak peduli, seharusnya anggap saja sebagai lelucon, tapi ini sangat menganggu. Entah kenapa dia memikirkan ide gila Keke itu sampai saat ini, ide yang baginya sangat tak masuk akal dan mustahil. Sudah seminggu berlalu, Bujang menganggap ucapan Keke hanya lelucon yang tak serius, tapi tetap saja mengganggunya. Biasanya dia tak ambil pusing. "Hey, bermenung lagi, kau sedang jatuh cinta?" Luqman tiba-tiba sudah berada di depannya sambil merebut rokok yang hendak dibakar. Luqman memang memiliki kebiasaan seperti itu, mungkin karena dia merasa Bujang sudah seperti keluarganya sendiri. "Jatuh cinta? Bang Luqman ngawur." Bujang membantah, mana ada dia jatuh cinta. Apa itu cinta, Bujang bahkan lupa bagaimana rasanya. "Kalau beneran jatuh cinta baru tau rasa kamu, Jang." Luqman semakin menggoda Bujang, yang digoda terlihat tak peduli. Bujang mengabaikan ucapan Luqman. Dia mengeluarkan satu batang rokok lagi dan membakarnya, mereka tengah beristirahat untuk makan siang. "Bang, aku boleh nanya?" Bujang memulai pembicaraan lagi, setelah beberapa saat mereka sibuk dengan hisapan rokok masing-masing. "Wah, sepertinya akan ada hal serius ini." Luqman memperbaiki posisi duduk bersilanya, jarang-jarang Bujang mau bercerita. Jika Bujang mau menceritakan sesuatu padanya, dia amat tersanjung. "Menurut Abang, Keke gimana?" Bujang menoleh ke samping, menatap Luqman dengan pandangan datar. Luqman tersenyum lebar, senyum khas menggoda. "Jadi dia yang membuatmu jatuh cinta?" Luqman menebak. "Memangnya kalau nanya pendapat, sudah termasuk jatuh cinta ya, Bang?" Bujang tampak tak terima dengan tuduhan itu. "Tidak juga. Tapi aku harus tau, kenapa tiba-tiba kau menanyakan tentang perempuan padaku." "Ya sudahlah, Bang. Nggak jadi." Bujang mematikan rokoknya, dengan menumpukan benda itu ke dalam asbak. "Baiklah, kau cepat sekali berubah pikiran. Oke, akan aku jawab. Tapi sebelum itu aku mau tanya dulu, kau meminta pendapatku tentang Keke dari sudut pandang mana?" "Memangnya ada berapa sudut pandang?" "Dari sisi orang tua, atau sisi sesama laki-laki?" "Terserah saja." "Keke itu cantik, sangat cantik." "Itu aku sudah tau, Bang." Bujang merasa informasi itu sangat tak penting baginya. Bukan itu yang dia ingin dengar. "Dia enak dipandang, ibaratnya seperti permata yang berharga." "Abang terlalu bertele-tele. Ayo kerja!" Bujang tidak puas dengan jawaban Luqman. Dia mengambil paku yang digantung di tiang kayu. "Jika kau menikah dengannya, kau akan menjadi laki-laki yang beruntung punya istri secantik itu. Aku dengar ayahnya begitu gigih menjodohkan kalian, sampai-sampai semua lamaran pemuda kampung ditolak oleh dia." "Abang terlalu berlebihan." "Ya sudah, kalau tak percaya. Oh ya, nanti malam ada pertemuan di balai desa. Sehabis isya, kau ikut ya. Ini berkaitan dengan kemajuan kampung kita, kita dapat bantuan dari pemerintah, jadi dirapatkan dulu, mau digunakan untuk apa saja." "Aku rasa memperbaiki jalan lebih bermanfaat, seringkali mobil pengangkut kelapa sawit terguling karena jalan yang licin." "Nah, itu makanya kau perlu datang, pendapatmu itu tak ada gunanya disampaikan di sini, akan sangat bermanfaat kalau kau sampaikan di rapat nanti." "Nanti juga ada Keke, dia kan bendahara." Bujang hanya mendengus menanggapi godaan Luqman. *** Bujang datang agak terlambat ke balai desa, dia yakin malam ini akan pulang terlambat, jadi dia menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Besok, beberapa meja untuk Madrasah harus diantar. Kondisi tempat pertemuan yang berupa bangunan terbuka tanpa dinding dan memiliki atap model rumah adat khas melayu itu telah ramai. Beberapa orang pejabat desa sudah duduk berjejer di depan. Suara Pak Lurah terdengar lantang sehingga para hadirin yang duduk melingkar bisa mendengar dengan jelas. Bujang mengambil tempat di sebelah Luqman, tak jauh dari pak lurah berdiri, hanya berjarak dua meter. "Terlambat, Jang?" bisik Luqman. "Iya, aku menyelesaikan pekerjaan dulu." "Oh, eh, lihat, itu Keke." Luqman menunjuk ke arah kanan, Mata Bujang mengikutinya. Keke malam ini memakai jilbab instan bewarna hitam, dia tengah sibuk menulis sesuatu sambil sesekali melihat ke arah hadirin. "Jadi, bapak-bapak dan ibu-ibu, kita dapat bantuan dana hibah sebesar tiga ratus juta, dari pemerintah daerah. Sudah ada beberapa usulan pada saya, namun usulan itu masih kami tampung untuk kita rembukkan bersama. Sebelum saya kemukakan apa saja yang telah menjadi catatan kami, apa ada usulan lagi?" kata Pak lurah tegas. "Jang, kau mau usul tidak?" "Tidak, Bang." "Katanya kau mau dana itu untuk membangun jalan desa." "Abang saja yang sampaikan." Bujang menyahut, beberapa orang telah tunjuk tangan dan namanya dicatat oleh moderator rapat. "Kau malu karena ada Keke di sini?" Bujang kembali mendengus dengan godaan Luqman. *** Acara rapat berakhir jam sepuluh malam. Para hadirin kebanyakan adalah tokoh masyarakat, pemuda pemudi dan anggota organisasi sosial desa. Luqman pulang lebih dulu dengan alasan bosan melihat beberapa orang yang tak terima dengan hasil rapat. Bujang mengeluarkan motornya dari tempat parkir. Agak kesulitan memang, karena dia harus menggeser beberapa motor yang menghalangi. "Bang Bujang," seru seseorang dari belakang. Keke. "Eh, kamu, Ke. Mana Pak Iwan?" "Sudah duluan." "Kamu sama siapa?" "Tadi sama ayah, tapi motornya sudah dibawa pulang. Rencana numpang sama Asih, tapi dia sudah duluan karena tak tahan kantuk. Jadi, mau jalan kaki sendiri saja." Bujang menimbang sesaat. "Naik, Ke. Biar aku antar." Keke berpikir sejenak, setelah itu tanpa pikir panjang duduk di belakang Bujang. Beberapa orang yang ada di sana sempat berbisik dan beberapa lagi berdehem menggoda. "Tumben Jang, mau menumpangkan anak gadis," kata seorang laki-laki yang seumuran Bujang. "Dari ada menumpangkan istri orang." "Wah, aku harap setelah ini status bujang lapukmu hilang." "Amin," sahut Bujang tak peduli. Motor mulai melaju pelan. "Siapa yang tadi, Bang?" "Mahdi, musuhku waktu sekolah." "Nggak ada akhlak, masa menghina terang-terangan." Keke merapatkan jaketnya, udara malam terasa dingin setelah seharian diguyur hujan. "Menghina apa?" "Dia kan ngatain Bang Bujang dengan sebutan bujang lapuk." "Itu bukan menghina, tapi kenyataan." "Kalau saya dikatain gitu, pasti saya balas. Muka jelek banyak jerawat tapi sok gayanya." "Syukurnya, bukan kamu yang digitukan." Keke kehabisan topik. Bergosip dengan Bujang tidak asik. "Kenapa menepi, Bang?" "Turun dulu, Ke. Sepertinya mogok lagi." Keke hanya bisa menghela nafas lelah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD