"Kenapa harus tidur di sofa, Mas? Kenapa tidak di sini saja?"
Mahesa menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengabaikan pertanyaan Yasmin dan lebih memilih memejamkan mata di sana.
"Tidurlah, Yas. Aku sedang tidak ingin berdebat. Besok aku harus bangun pagi-pagi karena ada meeting penting."
Yasmin menghela napas berat. Menuruti permintaan Mahesa dengan tidak lagi bertanya dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Keduanya sama-sama masih terjaga. Sepasang suami istri itu memang berada dalam satu ruangan yang sama, tetapi sekat yang dibangun Mahesa terlalu kokoh untuk Yasmin runtuhkan.
Ah ... untuk apa tidur di kamarnya jika terpaksa? Apakah pria itu datang atas kemauannya sendiri atau justru atas permintaan Gayatri?
Yasmin tidak ingin menduga-duga. Namun yang pasti, percuma Mahesa datang ke kamarnya jika mereka saling berjauhan bak orang asing yang tidak memiliki hubungan apa pun.
Malam itu terasa panjang bagi tiga manusia yang berada dalam satu atap yang sama. Yasmin yang berharap Mahesa berubah pikiran dan memilih tidur satu ranjang dengannya, Mahesa yang mengkhawatirkan Gayatri di kamar sang istri kedua, juga Gayatri yang menangis sendirian, membayangkan suaminya sedang bermesraan dengan Yasmin.
*******
"Bagaimana kondisi Papa, Ma? Kenapa sampai masuk rumah sakit?" Yasmin bertanya seraya mengatur napas. Ia berlari di sepanjang koridor rumah sakit sebab khawatir dengan kondisi sang Ayah.
"Papa kena serangan jantung setelah mendengar kabar bahwa perusahaan kita terancam bangkrut." Utami menjawab dengan terisak. Kondisi suaminya yang terbilang kritis membuatnya cemas dan ketakutan.
"Bangkrut? Kenapa bisa sampai seperti itu?"
"Mama juga tidak tahu. Tapi beberapa bulan terakhir ini memang perusahan sedang bermasalah. Ditambah pihak Papa kamu kalah tender dan berdampak pada keuangan perusahaan," terang Utami.
Yasmin terduduk lemas di kursi tunggu. Dua kabar buruk yang ia terima sekaligus membuatnya seakan kehilangan tenaga. Yasmin menatap kosong ke arah ruang rawat sang Papa. Apakah kejahatan yang ia lakukan pada Gayatri di masa lalu kini berdampak pada keluarganya? Mengapa bukan dirinya saja yang mendapat hukuman?
"Kita berdoa semoga Papa kamu bisa melewati masa kritisnya. Mama takut, Yas. Bagaimana nasib kita kalau sampai Papa meninggalkan kita?" Utami duduk di samping sang putri. Keduanya sama-sama cemas sebab pria yang selama ini menjadi pelindung bagi mereka sedang berjuang di antara hidup dan mati di dalam sana.
"Mana Mahesa? Dia tidak ikut ke sini?" Utami baru menyadari putrinya datang sendiri. Ditatapnya Yasmin yang sedang menyeka air mata.
"Mas Hesa sedang di kantor. Aku belum sempat memberitahu dia." Yasmin memilih berbohong. Sebenarnya Mahesa bukan sedang berada di sana, melainkan mengantar Gayatri ke rumah lamanya untuk menebus kembali rumah tersebut dari tangan Galih.
Tadi pagi suaminya sempat memberitahu perihal itu sebelum mereka berangkat. Yasmin hanya mempersilakan, meski dalam hati ia tidak rela mereka bepergian berdua.
"Seharusnya kamu kabari dia. Di saat seperti ini seharusnya suamimu berada di sampingmu."
Yasmin tersenyum getir. Memang seharusnya seperti itu jika saja hubungannya dengan Mahesa selayaknya suami istri pada umumnya. Saat ini Yasmin sedang membutuhkan sandaran dan berharap Mahesa yang menyediakan bahu untuknya. Namun, harapan Yasmin terlalu berlebihan mengingat dia bukanlah prioritas pria itu.
"Atau ... kamu membohongi Mama? Pasti Mahesa sedang bersama Gayatri. Iya, kan?" cecar Utami yang mulai menyadari sesuatu. Yasmin bukan lagi satu-satunya istri Mahesa dan sudah pasti menantunya tersebut sedang menghabiskan waktu bersama istri keduanya.
"Sudah ya, Ma. Jangan bahas mereka. Kita fokus saja pada kondisi Papa." Yasmin menenangkan Utami. Tidak ingin menambah beban pikiran sang Mama dengan permasalahan rumah tangganya. "Aku baik-baik saja. Mama percaya sama aku, kan?"
Utami mengangguk lemah dengan menatap sendu sang putri. Ia yakin Yasmin hanya berpura-pura tegar agar ia tidak khawatir. Pada kenyataannya Yasmin sedang menyembunyikan rasa sakitnya dibalik kata baik-baik saja yang sering ia ucapkan.
******
Gelak tawa terdengar ketika Yasmin memasuki rumah. Siapa lagi jika bukan sepasang pengantin baru yang sedang menikmati kebersamaan hingga tidak menyadari kedatangannya. Yasmin mencoba untuk tidak peduli. Jiwa dan raganya terlalu lelah dan ia memilih bergegas menuju kamar tanpa menyapa mereka.
Baik Gayatri maupun Mahesa menoleh ke arah Yasmin yang berjalan begitu saja. Keduanya masih sempat melihat mata Yasmin yang sembab. Rasa bersalah seketika menyergap hati Gayatri. Karena terlalu menikmati kebersamaan dengan suaminya, ia sampai lupa pada Yasmin yang belum ia lihat dari tadi siang.
Gayatri ingin menyusul Yasmin dan bertanya apakah kakak madunya itu baik-baik saja. Namun, ia yakin Yasmin tidak akan suka jika ia mencampuri urusan mantan sahabatnya tersebut. Pada akhirnya Gayatri meminta Mahesa untuk menyusul Yasmin ke kamar, meski Mahesa sempat menolak.
"Aku khawatir dia sedang tidak baik-baik saja, Mas. Tadi dia habis nangis. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sedih," ujarnya dengan memelas.
Kalau Gayatri sudah seperti itu, Mahesa tidak kuasa menolak lagi. Dengan berat hati, ia menuju kamar Yasmin yang berada di lantas atas.
Mahesa menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu kamar. Tidak terdengar sahutan dari dalam, dan Mahesa kembali mengulang.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, menampakkan Yasmin yang baru saja selesai mandi. Wanita itu bergeming menatapnya tanpa mempersilakan masuk. Mahesa melihat dengan jelas mata sang istri yang sembab. Benar kata Gayatri, sepertinya Yasmin sedang tidak baik-baik saja.
Ah ... Mahesa merutuki diri yang masih saja tidak peka. Sudah pasti Yasmin tidak baik-baik saja setelah kehadiran Gayatri di antara mereka.
Akan tetapi, bukankah semua itu keinginan Yasmin sendiri? Mahesa sudah menawarkan perpisahan agar wanita itu tidak terluka lebih dalam, tetapi Yasmin bersikeras menolak dan ingin bertahan.
"Boleh aku masuk?" Mahesa bertanya setelah cukup lama mereka berdiri berhadapan. Yasmin tetap bergeming, tidak bergeser sedikit pun.
"Sebaiknya malam ini Mas Hesa tidur di kamar Gayatri. Aku sedang ingin sendiri." Yasmin menjawab dengan tatapan kosong. Percuma Mahesa tidur di kamarnya jika pada akhirnya pria itu enggan tidur satu ranjang dengannya.
"Kamu baik-baik saja, Yas?"
Pertanyaan itu lolos dari mulut Mahesa. Sebenarnya ia merasakan kekhawatiran yang sama dengan Gayatri semenjak melihat mata Yasmin yang sembab.
Yasmin mencelos. Setelah cukup lama mereka berhadapan, mengapa Mahesa baru bertanya?
"Aku baik-baik saja. Sudah, ya. Aku mau istirahat. Mas Hesa balik lagi saja ke kamar Gayatri."
Yasmin berniat menutup pintu, tetapi Mahesa menahan.
"Kamu tidak sedang berbohong? Aku tahu kamu habis nangis. Kalau kamu butuh teman cerita, aku siapa menjadi pendengar."
Tangis Yasmin kembali pecah. Perhatian seperti ini yang Yasmin harapkan dari Mahesa. Dan di saat suaminya menunjukkan kepedulian, pertahanan Yasmin yang ingin berpura-pura tegar akhirnya roboh.
"Yas ...."
"Papa masuk rumah sakit, Mas. Kena serangan jantung dan sekarang kondisinya kritis." Yasmin tergugu. Mahesa jelas terkejut mendengarnya.
"Kenapa kamu tidak mengabariku? Andai kamu memberitahu, aku pasti bergegas ke rumah sakit."
Yasmin menatap lekat suaminya. "Benarkah? Sekalipun Mas sedang bersama Gayatri?" tanyanya tak percaya.
Mahesa bungkam, tidak mampu menjawab pertanyaan istri pertamanya.
"Tidak apa, Mas. Aku sudah tahu jawabannya." Yasmin tersenyum getir. "Aku sadar diri kalau aku bukan prioritas Mas Hesa. Karena itulah, aku memilih tidak mengabari," sambungnya dengan mengusap air mata yang membanjiri pipi.
"Aku istirahat dulu, Mas. Selamat malam."
Yasmin menutup pintu sebelum Mahesa sempat menahan. Meninggalkan pria itu yang mematung, sebab merasa bersalah telah abai terhadap istri pertamanya.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁