Alya berdiri cukup lama di depan wastafel, menatap wajah pucatnya di cermin kamar mandi. Rambutnya yang basah menempel di pipi, mata sembab karena terlalu sering terjaga malam-malam belakangan ini. Bukan karena Bima mendengkur atau cuaca yang terlalu panas, tapi karena bayangan satu malam itu masih menghantui, tak mau hilang walau sudah ia usir dengan doa dan tangis.
Tangan Alya gemetar saat memegang perutnya yang makin sering terasa mual. Sudah beberapa hari ini ia sulit menelan makanan, bau apa pun bisa membuat perutnya bergolak. Hatinya menolak berpikir lebih jauh, tapi nalarnya terus menggedor, memaksanya untuk mengakui sesuatu yang tak mau ia ucapkan.
“Jangan… jangan sampai benar,” bisiknya lirih. Air mata menggenang lagi, jatuh bercampur dengan air keran.
Ketukan di pintu membuat Alya terlonjak. “Ya?” suaranya bergetar.
“Yayang, kamu nggak apa-apa? Dari tadi di dalam terus,” suara Bima terdengar, datar seperti biasa. Tidak ada nada khawatir, hanya sekadar formalitas menanyakan keadaan istrinya. Itu saja sudah cukup untuk menambah luka di hati Alya.
“Iya, bentar lagi,” jawabnya cepat, berusaha menormalkan suara.
Begitu langkah Bima menjauh, Alya terisak pelan. Ia ingin berlari, pergi jauh, tapi rumah ini adalah penjaranya. Ia memilih menyeka air mata, menarik napas panjang, lalu keluar dengan senyum paksa.
Di ruang tamu, Arga sedang duduk di sofa sambil memangku putrinya yang masih kecil, Raina. Senyum hangat menghiasi wajahnya, dan itu menohok hati Alya lebih dalam. Bukankah pria sebaik ini seharusnya tidak menjadi bagian dari rahasia dosanya? Bukankah ia seharusnya bahagia dengan Nadira, istrinya sendiri?
Tatapan Alya dan Arga sempat bertemu. Hanya sekejap, tapi cukup membuat perasaan berserakan. Arga buru-buru menoleh ke arah lain, mengusap kepala Raina sambil tersenyum hambar. Nadira yang duduk di sampingnya tidak melewatkan detail itu. Ia melirik Alya singkat, sebelum kemudian sibuk dengan ponselnya.
Alya menelan ludah. Nadira memang wanita yang peka. Ia bisa merasakan sesuatu hanya dari hal kecil. Dan itu membuat Alya makin ketakutan.
Malam itu, ketika semua orang sudah tidur, Alya kembali terjaga. Tubuhnya panas dingin, pikiran penuh sesak. Ia bangkit perlahan, menuju dapur, berharap segelas air bisa menenangkan. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Arga berdiri di sana, membelakangi, sedang menuang air ke gelas.
Suara hati Alya langsung ribut. Ia ingin kembali ke kamar, tapi kakinya terpaku. Arga menoleh, kaget melihatnya. “Alya?” suaranya rendah, agak serak.
“Maaf… aku cuma mau minum.” Alya berusaha tenang, tapi suara bergetar.
Arga menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Ia mendorong gelas berisi air ke arah Alya. “Pakai aja, biar nggak bolak-balik.”
Alya ragu, tapi tetap mengambilnya. Jari mereka bersentuhan, membuat tubuh Alya tersentak. Ia buru-buru menarik tangannya, meneguk air itu dalam sekali tegukan. Tapi bukannya tenang, dadanya malah makin berdebar.
“Alya…” Arga akhirnya bersuara. “Kamu kelihatan makin pucat. Sakit, ya?”
“Enggak. Cuma… capek.” Jawaban itu terdengar lemah. Alya menunduk, menghindari tatapan Arga. Tapi seberapa pun ia berusaha, suaranya pecah di akhir kata.
Arga mendesah. “Aku tahu kamu bohong. Kamu nggak baik-baik aja.”
Air mata Alya jatuh begitu saja. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku nggak bisa… Arga. Aku takut.”
Arga refleks melangkah mendekat, tapi berhenti. Jarak setengah meter terasa seperti jurang dalam yang tidak boleh mereka seberangi. “Takut apa?” tanyanya pelan.
Alya hanya menangis, tanpa jawaban. Dan dalam hening itu, Arga tahu persis apa yang Alya takutkan—karena ia pun merasa sama.
Pagi harinya, Alya duduk di teras, memeluk lutut, menatap kosong ke halaman. Bima sudah berangkat kerja, sementara Nadira sedang sibuk menyiapkan sarapan. Arga muncul, membawa secangkir teh hangat, lalu meletakkannya di meja tanpa bicara.
Alya melirik singkat, lalu menatap ke depan lagi. “Kenapa kamu baik banget, Ga? Kamu bikin semuanya makin susah.”
Arga terdiam. Angin pagi meniup pelan rambut Alya, membuatnya tampak rapuh. “Aku nggak tahu harus gimana. Aku juga nggak mau ini terjadi. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli.”
Alya menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kalau semua orang tahu… kita hancur, Ga. Aku, kamu, Bima, Nadira, semua orang.”
Arga mengepalkan tangan. “Aku tahu. Makanya kita harus hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu.”
“Tapi aku hamil,” suara Alya hampir tak terdengar, tapi cukup jelas menusuk jantung Arga.
Arga menatapnya dengan mata melebar, darahnya seakan berhenti mengalir. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. Dunia seakan berhenti sejenak. Arga ingin menyangkal, ingin berkata Alya salah dengar, tapi tatapan penuh ketakutan di wajah perempuan itu membuatnya sadar—malam yang seharusnya dilupakan kini benar-benar mulai menuntut balasan.
Arga menjauhkan pandangan, mencoba menata napasnya. “Kamu… yakin, Ly?” suaranya parau, seperti keluar dari tenggorokan yang tercekat.
Alya hanya mengangguk, pelan tapi pasti. Tangannya refleks menyentuh perut yang masih datar. “Aku udah telat, Arga. Dan semua tanda itu nyata. Aku nggak bisa bohong sama diriku sendiri.”
Arga mengusap wajahnya kasar, kepalanya terasa berat. “Ya Tuhan…” gumamnya lirih. Ia menatap Alya lagi, kali ini penuh panik. “Kalau Bima tahu, kalau Nadira tahu—kita mati, Ly. Semua selesai!”
Alya menunduk, bahunya bergetar. “Aku tahu! Kamu pikir aku nggak mikir? Aku nggak tidur tiap malam gara-gara ini. Aku takut, Arga. Aku takut banget.”
Keheningan membentang, hanya terdengar suara burung pagi di kejauhan. Arga ingin meraih Alya, memeluknya agar berhenti gemetar, tapi ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan.
“Alya…” suaranya pelan, hampir berbisik. “Apa pun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Aku yang salah, aku yang harus tanggung jawab.”
Air mata Alya semakin deras. Kata-kata itu menenangkan sekaligus menakutkan. Karena jika Arga benar-benar menepatinya, berarti mereka berdua akan melawan badai yang jauh lebih besar daripada sekadar rasa bersalah.
Langkah kaki terdengar dari dalam rumah, membuat Alya dan Arga refleks terlonjak. Nadira muncul di pintu, memandang mereka dengan alis terangkat.
“Kalian ngapain di sini pagi-pagi?” tanyanya curiga.
Alya buru-buru menyeka pipi, pura-pura menunduk menyesap teh. Arga tersenyum kaku, menutupi gejolak di dadanya. “Cuma ngobrol sebentar.”
Tapi tatapan Nadira tak lepas dari mereka, seolah sedang mencoba membaca sesuatu yang lebih dalam.
Dan di saat itu, Alya sadar—waktu mereka untuk menyembunyikan rahasia mungkin tidak akan lama lagi.