Suara pintu tertutup perlahan masih terngiang di telinga Bima. Nadira baru saja pergi, meninggalkannya dalam ruang kerja yang tiba-tiba terasa begitu sesak. Aroma parfum Nadira masih tertinggal samar di udara, bercampur dengan wangi kopi dingin yang belum sempat ia sentuh sejak pagi. Bima bersandar di kursinya, menatap layar komputer yang menampilkan deretan laporan, tapi pikirannya melayang jauh—ke masa yang selama ini berusaha ia kubur rapat-rapat. “Kau tahu, Bim… kadang diam itu juga menyakiti.” Suara Alya dulu, lembut tapi penuh luka. Ia masih ingat jelas malam itu. Saat Alya duduk di ruang tamu, wajahnya tampak lelah, matanya memohon sesuatu yang tidak pernah ia mengerti waktu itu perhatian, mungkin? Atau sekadar kehadiran. Namun Bima hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dengan

