Bab 7 Tidak Bodoh

1502 Words
Lyora menatap ayah dan kedua kakaknya bergantian. Mereka sedang berusaha melindungi dirinya dan keluarga ini. Rasa bersalah menyergapnya seperti gelombang, sepanjang tulang belakangnya seketika terasa dingin, membuatnya menggigil. Elang menatap Lyora yang mulai menggigil pelan. Ia melepas jasnya dan menyelimuti tubuh adiknya. “Kamu gadis kuat, Ly. Kamu bisa melewati ini. Kita semua bersamamu, memastikan kamu tetap aman dan sejahtera. Aku dan Hans akan pastikan nama keluarga ini tidak tercoreng. Dan kamu…” Ia menatap Lyora lembut, “Kamu akan menjadi pengantin wanita paling cantik, bersama dengan pria yang layak untukmu.” Ridwan mengangguk mantap. “Papa sudah menghubungi seseorang. Kita tidak akan mundur. Pernikahan tetap berlangsung sesuatu tanggal dan waktu yang sudah ditetapkan.” Hans menatap ayahnya. “Siapa?” “Besok kalian akan tahu,” jawab Ridwan, penuh teka-teki. “Untuk sekarang, kita fokus membereskan luka ini, menjaga Lyora, dan menjaga nama Dirgantara.” Ridwan lalu mengajak Elang dan Hans melanjutkan pembicaraan mereka di ruang kerjanya, agar tidak terlalu membebani putrinya yang walaupun berusaha tegar, namun, tetap penuh kesedihan. Ridwan tahu, putrinya butuh ketenangan, bersama ibunya dan Elenora. Hening menyelimuti ruang keluarga. Setelah Ridwan dan kedua putranya mulai membahas langkah selanjutnya di ruang kerja, hanya tersisa Lyora, ibunya, dan Elenora, yang masih duduk di sofa. Kayla sudah pamit ke kamar untuk beristirahat. Lyora memeluk lututnya, tubuhnya terlipat kecil di sudut sofa, wajahnya tenggelam dalam bayangan. Rambut panjangnya yang biasanya disisir rapi kini tampak berantakan. Di matanya ada semburat lelah, tapi lebih dari itu—ada kehancuran yang nyaris tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Elenora duduk di sisinya dalam diam. Ia tak langsung menyentuh atau berkata apa-apa. Ia hanya memandangi adik iparnya itu dengan mata yang perlahan memerah. Herawati di sisi yang lain, menatapnya dengan pandangan penuh kasih sayang seorang ibu. Lalu perlahan, Herawati mengulurkan tangan. Ia menyentuh bahu Lyora, dan ketika gadis itu mulai terisak pelan lagi, Herawati langsung menarik tubuh Lyora ke dalam pelukannya. “Sayang…,” bisiknya, begitu lembut seolah takut menyentuh luka yang masih berdarah. “Mama di sini… Mama selalu di sini…” Tangis Lyora pecah, sesak dan dalam, seperti aliran sungai yang terlepas dari bendungan. Herawati mengusap rambut Lyora, mengelus lembut punggungnya. Tubuh Lyora bergetar di dalam pelukannya. Seperti anak kecil yang tersesat dan kembali ke pelukan sang ibu, satu-satunya tempat aman yang bisa dia datangi. “Aku… aku pikir dia takdirku, Ma,” isak Lyora di antara napasnya yang berat. “Aku pikir semua ini… jawaban dari doa-doaku. Tapi ternyata dia… dan Talita… mereka...” Herawati mengecup pelipis anaknya. “Kamu tidak salah karena mencintai, Ly. Kamu tidak salah karena percaya. Salahnya ada pada mereka—yang menipu, yang mengkhianati. Itu bukan kelemahanmu… itu kekuatanmu, karena kamu mencintai dengan tulus.” Lyora mencengkeram kain daster ibunya. “Talita… dia bilang dia sayang padaku, Ma. Dia peluk aku saat acara lamaran. Dia bilang dia ikut bahagia. Dia bantu pilih gaunku. Bahkan... dia ikut menuliskan doa di kartu ucapan untuk Fabian…” Suara Lyora pecah. Tubuhnya lunglai dalam pelukan ibunya. Elenora mengepalkan tangan, menahan kemarahan yang membuncah. “Aku sudah curiga sejak pertama kali melihat mereka di supermarket waktu itu,” bisiknya pelan. “Ada sesuatu di matanya, Ly. Tatapan ke Fabian... bukan tatapan seorang sahabat. Tatapannya berbeda.” “Kenapa mbak Nora nggak bilang?” tanya Lyora lirih. “Karena aku tidak punya bukti. Dan aku tidak mau merusak kebahagiaanmu. Kamu tampak begitu yakin... begitu bahagia. Aku hanya bisa berdoa agar firasatku salah. Tapi ternyata…” Elenora menahan napas, berusaha tetap tenang, “...ternyata mereka sangat jahat.” Lyora menarik napas panjang, tapi kemudian mengangguk kecil. “Aku bodoh, Ma, mbak Nora…” Herawati langsung menangkup wajah Lyora, membuatnya menatap langsung ke matanya. “Jangan pernah bilang begitu,” ucapnya tegas. “Kamu bukan bodoh, kamu perempuan yang berani. Berani percaya. Berani mencintai. Dan lebih dari itu—kamu perempuan yang memilih berdiri, menjaga nama keluarga, walau hatimu hancur. Itu kekuatan, Lyora. Itu yang membuat kamu pantas mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik.” Mata Lyora kembali berlinang. Tubuhnya menyusut seolah ingin lenyap dari dunia. Mata bengkak, napas berat. Selimut tipis menutupi kakinya, meski ruangan cukup hangat. "Sayang..." suara Herawati nyaris berbisik. Ia menyentuhkan jemarinya yang hangat ke pipi Lyora, menyeka sisa air mata yang belum kering sempurna, namun sudah kembali dibasahi air mata yang terus mengalir tanpa henti. Lyora menoleh, perlahan. "Maaf, Ma..." katanya, suaranya nyaris tidak terdengar. "Aku mengecewakan Mama. Aku menghancurkan semuanya." Herawati menggeleng dengan cepat. "Tidak. Jangan pernah salahkan dirimu. Kamu disakiti, bukan menyakiti." Suaranya terdengar tenang, namun matanya sembab. Elenora, yang duduk di sisi kanan Lyora, menggenggam tangan adik iparnya erat. “Jangan menyalahkan diri sendiri, Ly. Mereka tidak layak membuatmu merasa seperti itu,” Lyora menggigit bibirnya, menahan isak yang hampir pecah lagi. "Dia... Dia bilang aku tak tergantikan. Dia bilang... aku takdirnya." Napasnya tersengal. "Tapi dia malah tidur dengan orang yang kupanggil sahabat." Herawati langsung menarik Lyora kembali ke dalam pelukan. "Mama ingin kamu tahu, harga dirimu tidak berkurang sedikit pun karena pengkhianatan itu. Kalau ada yang rusak, itu harga diri mereka, bukan kamu." Lyora tidak berkata-kata. Tubuhnya gemetar dalam pelukan ibunya. Elenora menyandarkan dagunya di bahu Lyora, matanya menerawang jauh. "Talita... Aku masih ingat cara dia memandangmu saat acara lamaran. Senyumnya terlalu sempurna, terlalu manis. Seolah... berusaha menutupi sesuatu. Dan sekarang semuanya masuk akal." "Aku ingin marah..." gumam Lyora. "Tapi yang lebih dominan... aku merasa kotor. Bodoh." "Kamu tidak bodoh," kata Elenora tegas, mengangkat wajah Lyora agar menatapnya. "Kamu mencintai seseorang dengan tulus. Itu bukan kebodohan. Itu kekuatan." Herawati menambahkan, "Dan percayalah, Tuhan sedang menyelamatkanmu sebelum kamu masuk ke dalam pernikahan yang akan menghancurkanmu dari dalam. Kamu berhak mendapatkan cinta yang jujur, tidak setengah hati, tidak penuh pengkhianatan." Ketiganya terdiam beberapa saat. Hanya terdengar detak jarum jam dan isak Lyora yang makin pelan. "Aku akan menikah, Ma," suara Lyora akhirnya terdengar lagi. “Dengan laki-laki yang aku yakin akan lebih segalanya dari Fabian.” Entah kenapa, Lyora merasa sangat yakin mengenai hal ini. Laki-laki itu pilihan ayahnya, sudah pasti yang terbaik. Herawati dan Elenora saling pandang. "Apa kamu yakin tidak ingin memikirkan ulang mengenai keputusanmu ini, Sayang?" tanya Herawati pelan, mencoba tidak menghakimi. "Aku harus menjaga nama baik keluarga ini. Pernikahan sudah diumumkan, keluarga besar sudah tahu. Biarkan aku yang menyelesaikannya, dengan caraku, Ma." Elenora mengangguk perlahan, memandang ibu mertuanya yang menatap putrinya dengan mata penuh kecemasan dan kebanggaan sekaligus. "Kalau itu keputusanmu, kami akan mendukungmu sepenuhnya," kata Elenora lembut. Herawati meremas tangan putrinya. "Tapi janji, Lyora. Apa pun yang terjadi nanti, jangan tanggung sendiri. Kita keluarga. Kamu tidak sendiri." Lyora menunduk. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ada kelegaan bersamanya. "Aku janji..." Dan di tengah keheningan malam itu, meski luka belum mengering, Lyora tahu: dia tidak sendiri. Tapi sebersit keraguan sempat melintas. “Lalu… bagaimana aku harus hadapi hari itu, Ma?” tanyanya, suaranya kecil. “Hari di mana seharusnya aku menjadi pengantin?” Herawati menarik napas dalam. Ia menggenggam tangan Lyora erat, lalu berkata penuh ketegasan namun hangat: “Kamu akan tetap berdiri di sana, Ly. Bukan sebagai korban. Tapi sebagai Dirgantara. Sebagai putri kami. Kamu akan berdiri dengan kepala tegak, karena kamu tak pernah salah menjadi dirimu sendiri.” “Mama benar, Ly. Setelah semua yang terjadi, kamu memilih tetap melanjutkan pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga. Itu hanya bisa dilakukan oleh seorang perempuan hebat.” Elenora menambahkan dengan nada lembut. Dia mengusap lengan Lyora, berusaha membesarkan hatinya. “Percayalah, saat akad nikah dan resepsi pernikahan nanti, kamu akan menjadi pengantin wanita yang luar biasa, hatimu kuat dan penuh ketulusan. Allah pasti akan memberimu anugerah kebahagiaan,” lanjut Elenora dengan penuh haru, membayangkan pengorbanan Lyora setelah prahara yang menghancurkannya. “Terima kasih, Ma, mbak Nora. Aku nggak tahu bagaimana jadinya aku tanpa kalian,” “Tentu saja kamu akan tetap menjadi Lyora Dirgantara yang hebat, Ly!” Kata-kata Elenora membuat senyum samar muncul di wajah Lyora, sampai di matanya. Malam itu, di tengah reruntuhan harapan dan duka, Lyora menemukan satu hal yang tak pernah goyah: pelukan sang ibu dan dukungan kakak ipar yang sangat dia kagumi. Ruang keluarga rumah keluarga Dirgantara terasa tenang, meskipun luka baru saja menyelinap begitu dalam. * Besok paginya. Saat sarapan pagi. Ridwan menyampaikan pengumuman penting. “Sebentar malam, kita semua akan makan malam bersama. Sekaligus mempertemukan Lyora dengan pria yang papa pilih. Percayalah… dia anak baik. Papa percaya padanya.” Lyora menegakkan tubuhnya. “Ayah… siapa dia?” “Kamu akan tahu sebentar malam,” jawab Ridwan pendek. “Untuk sekarang, cukup tahu bahwa aku tidak pernah asal dalam memilih.” Herawati mengangguk pelan, memberikan dukungan. “Kalau papa yang memilih, percayalah, dia pasti pria yang baik. Papa tidak pernah salah selama ini.” Hans yang duduk di sisi lain menimpali, “Mama setuju. Tapi mama minta satu hal: jangan paksa Lyora kalau ternyata—” Ridwan mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Hans. “Papa tidak pernah memaksa. Tapi Papa tahu, Lyora putri yang kuat. Dia tahu mana yang harus diperjuangkan dan mana yang harus dilepaskan.” Lyora mengecap bibirnya, menunduk sejenak. Napasnya tertahan. Semua perhatian kini tertuju padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD