9 | Pria Bersinar

2235 Words
Dua tahun lamanya Nirvana memahami bisnis keluarga besarnya. Akhirnya tahun ini Nirvana resmi menjadi pemilik H-Mall Jakarta. Meneruskan jejak almarhum papanya. Ada rasa bangga di hati Nirvana atas keberhasilannya ini. Meski tak dapat dipungkiri bahwa rasa sedih turut mengiringi. Nirvana sedih karena tidak ditemani papa dan mamanya di setiap langkah perjuangan hingga titik pencapaiannya. "Andai Papa dan Mama masih ada. Pasti kebahagiaan ini terasa lengkap.." lirih Nirvana memandangi foto keluarga kecilnya. Saat ini Nirvana sedang duduk manis di kursi kebesarannya, di dalam ruang kerjanya sendiri. Rasanya sepi, tapi dengan adanya pigura kecil berisi foto keluarga ini, semangat Nirvana selalu membara. Puas memandangi foto tersebut, Nirvana kembali bekerja. Ada beberapa stand yang harus Nirvana tinjau sendiri. Maka dari itu Nirvana mengenakan blazernya kembali dan bersiap meninggalkan ruangan sepi ini. "Selamat siang, Bu Nirvana. Mari saya temani berkeliling." "Siang. Iya. Terima kasih, Devita." Ditemani salah seorang pegawai mall, Nirvana melaksanakan agenda kerjanya hari ini. Meninjau beberapa stand baru dalam H-Mall. Tidak sembarang produk bisa masuk atau diperjual belikan di H-Mall. Hanya benar-benar yang berkualitas lah yang akan diterima. Namun semenjak pusat perbelanjaan ini menjadi milik Nirvana, banyak ketentuan baru yang Nirvana buat. Salah satunya dengan mengizinkan produk lokal untuk masuk dan unjuk kualitas produknya. Toh, produk lokal sekarang ini kualitasnya bukan main. Jadi tidak ada salahnya memberi mereka kesempatan untuk masuk ke H-Mall. Saat Nirvana sedang berbincang-bincang dengan salah seorang pemilik merek baju lokal, ponsel Nirvana berbunyi, sebuah panggilan masuk dan mendesak untuk Nirvana segera menerimanya. Nirvana pun menepi. "Ya, Eyang Putri?" Ternyata eyang putrinya yang menelpon. Pantas saja Nirvana tak berpikir panjang dan segera menerima panggilan tersebut. Tidak mungkin Nirvana langsung menolaknya, kan? Bisa perang kelima sampai rumah nanti! Apalagi semakin bertambah usia, Meriana semakin cerewet. Apa saja dikomentari. Akhir-akhir ini perihal menikah dan mengharap cicit. Ya, Nirvana didesak untuk segera menikah. Pertanyaannya, Dengan siapa Nirvana menikah? Kekasih saja Nirvana tidak punya! Dua tahun ini kehidupan Nirvana hanya fokus pada belajar bisnis untuk kemudian meneruskan perjuangan almarhum papanya. "Eyang Putri di sini? Dengan siapa? Untuk apa?" Pertanyaan bertubi-tubi Nirvana itu langsung mendapat semprot dari Meriana. Hingga akhirnya Nirvana pasrah dan bersedia menuruti permintaan super mendadak sang eyang putri. "Iya-iya, Vana ke sana sekarang juga. Eyang Putri tunggu Vana, ya.. Jangan marah-marah. Vana mau kok makan siang bersama. Lagipula Vana juga belum makan siang." Panggilan pun berakhir bersama helaan napas lelah Nirvana. Perkara ajakan makan siang saja hampir terjadi perang. Jika sudah begini, maka Nirvana harus bergegas menuju lokasi yang telah eyang putrinya sebutkan. Tak lupa Nirvana berpamitan dengan orang yang sebelumnya ia ajak berbincang serta Devita. Hanya berjalan kaki, Nirvana bisa sampai di restoran fine dining yang eyang putrinya maksud. Kebetulan letaknya dekat dengan H-Mall, di samping kanan pusat perbelanjaan ini. "Tumben Eyang Putri ngajak makan siang di luar. Ada apa ini? Biasanya Eyang Putri selalu makan siang bersama Eyang Kakung di rumah." Wajar bila Nirvana merasa heran. Tidak biasanya Meriana seperti ini. Jika sudah seperti ini, pasti ada sesuatu. Tapi sesuatu itu apa, Nirvana tidak tahu, pun enggan menerka-nerka. Teriknya sinar matahari siang ini membuat kepala Nirvana mengebul, tidak bisa lagi digunakan untuk berpikir. Perutnya juga keroncongan meminta segera diisi. Begitu memasuki restoran, Nirvana langsung diarahkan oleh seorang pelayan menuju sebuah meja. Di sana, eyang putrinya sudah duduk manis. Menyapa melalui senyum. Sejauh ini belum ada yang aneh sampai pandangan Nirvana tertuju pada seorang pria. Sosok itu duduk berhadapan dengan Meriana. Namun membelakangi posisi berdiri Nirvana. Hal itu membuat Nirvana penasaran dan bertanya-tanya, Siapa pria ini? Mengapa duduk semeja dengan eyang putrinya? Dari perawakannya, jelas bukan Hamlan--Om Nirvana. "Selamat siang, Eyang Putri.." sapa Nirvana dengan sopan seperti biasanya. Meriana membalas sapaan itu dan mempersilahkan Nirvana duduk di sampingnya. "Siang, Vana. Duduk, Nak." Begitu Nirvana duduk, barulah Nirvana bisa melihat ciptaan Tuhan yang begitu bersinar. Selain karena duduk membelakangi cahaya matahari, dia juga benar-benar bersinar. Tampan rupawan dan sayang untuk diabaikan. Maka dari itu sepersekian detik Nirvana sempat hanyut mengagumi parasnya. Sampai akhirnya Nirvana tersentak oleh suara Meriana yang memulai sesi perkenalan ini. "Nah, Nak Aland.. Ini Cucu Pertama Eyang. Namanya Nirvana. Biasa dipanggil Vana. Cantik, kan?" Nirvana menunduk, seketika merasakan sesuatu yang panas menjalari kedua pipinya. Malu sekali..dipuji di depan orang yang baru seperti ini. Rasanya Nirvana mau bersembunyi di sanggul rambut eyang putrinya yang setinggi tugu selamat datang itu. "Vana, ini Nak Aland Saif. Salah seorang pengusaha yang produk baju prianya berhasil masuk di H-Mall. Kamu pasti tidak asing dengan namanya, kan?" Nirvana mendongak, mencoba mengingat bahwa nama tersebut pernah ia jumpai. Benar saja! Beberapa kali hanya asisten Aland Saif yang datang menemuinya. Baru hari ini Nirvana langsung berhadapan dengan Aland Saif. "Kalian berdua terlalu sibuk. Sehingga harus Eyanglah yang mengatur pertemuan ini," tutur Meriana penuh arti. Jadi, ini..maksudnya apa? Nirvana berpikir keras walau sebenarnya ia tidak bodóh untuk cepat mengetahui maksud eyang putrinya. Hanya saja, Nirvana tidak mempunyai persiapan apapun. Sungguh! Ini seperti kejutan di siang bolong. Disaksikan oleh terik matahari. "Vana? Jangan bengong. Jangan malu-maluin Eyang," bisik Meriana yang geram mendapati keterdiaman sang cucu. Biasanya Nirvana tidak pernah sekaku ini. Ia selalu santai, apalagi saat bersama Izhar. Mereka seperti sepasang kekasih. Tapi nyatanya bukan. Mereka sebatas sahabat yang hubungannya langgeng hingga detik ini. Meriana mengetahui semua itu dari orang suruhannya yang selama ini bertugas mengawasi Nirvana. Sebenarnya, sangat disayangkan bahwa antara Nirvana dan Izhar sebatas sahabat. Padahal, Meriana dan Hasyiem berharap Nirvana segera menikah dan memberi cicit sebelum ajal menjemput. Mengingat usia Meriana dan Hasyiem sudah tua dan senang menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah. Tidak ingin mempermalukan eyang putrinya, Nirvana membuka suara setelah mengingat siapa pria hebat di hadapannya ini. "O--ohh..Anda ini Pak Aland Saif?" Bohong bila Nirvana tidak gugup. Sejak tadi Aland terus memandangi Nirvana. Membuat Nirvana bertanya-tanya, Apa ada sesuatu yang salah di wajahnya? Misal, riasannya yang luntur karena terik matahari atau hal lain? Duh..Nirvana benar-benar tidak bisa ditatap seperti ini. Apalagi oleh pria setampan Aland. "Iya, Bu Nirvana. Saya Aland Saif. Maaf saya baru menyapa Anda secara langsung siang ini. Sebelumnya, hanya asisten saya yang datang menemui Anda. Kebetulan setiap pertemuan kita, selalu berbenturan dengan jadwal saya yang lain. Saya benar-benar menyayangkan hal tersebut. Sekali lagi, mohon maaf." Dengan sopannya, pria berjas abu-abu itu menundukkan badan, benar-benar tulus memohon maaf. Nirvana merasa tak enak hati. Meski sangat paham dengan kesibukan atau padatnya jadwal seorang Aland Saif. "Tidak masalah, Pak Aland. Yang terpenting semuanya terselesaikan dengan baik. Itu sudah cukup," ungkap Nirvana dengan tulus. Senyum manis menghiasi wajahnya, menandakan ini sungguh bukan masalah besar. Masih mendapat pemakluman. Meriana menyela, "Sudah, ya. Pembahasan pekerjaannya sampai di sini saja. Nanti malah keterusan. Ini bukan pertemuan untuk membahas bisnis, Nak Aland, Vana." Meriana tak ingin keduanya yang telah dipertemukan susah payah ini malah sibuk membahas soal pekerjaan. Karena tujuan Meriana bukan ke sana. "L--lalu? Untuk apa, Eyang?" Dengan polosnya Nirvana malah bertanya, membuat Meriana kian gemas. "Pikir saja sendiri." Ekspresi tak ramah Meriana seketika berubah saat berbicara dengan Aland. "Ayo kita nikmati hidangan siang ini terlebih dulu.." Melihat itu, Nirvana jelas merasa kesal. Tapi apa yang bisa Nirvana lakukan selain menahan rasa kesalnya? Tidak ada. Mau ngamuk di sini pun tak mungkin. Nirvana harus menjaga imagenya dan sang eyang putri di depan pengusaha tampan bernama Aland ini. Baru juga Nirvana memakan hidangan siangnya beberapa suap, Meriana tiba-tiba sudah selesai saja. "Vana? Eyang sudah selesai. Eyang harus pergi." Tapi memang benar, semangkuk kecil berisi bubur itu sudah habis tak bersisa. Tumben eyang putrinya bisa makan secepat itu. Membuat Nirvana terkagum-kagum karena biasanya beliau makan begitu santai. Terlihat sekali sangat menikmati hidangan yang disajikan untuknya. Di sini Nirvana bermaksud menyudahi makan siangnya, walau belum begitu kenyang. Tidak mungkin, kan, Nirvana tetap tinggal sementara eyang putrinya beranjak? Namun..perkataan Meriana selanjutnya sukses menghentikan pergerakan Nirvana. "Itu, sopir Eyang sudah menunggu di depan! Kamu di sini dulu, habiskan makan siangmu. Jangan terburu-buru. Santai saja, Vana." Sepasang mata tua berkacamata emas itu kemudian menoleh ke seberang sana. Sudah tahu, kan, siapa yang saat ini sedang ditatap oleh Meriana? "Nak Aland juga belum selesai, kan, makan siangnya? Nah, ya sudah. Kalian berdua bisa melanjutkan ngobrol-ngobrol santai." Jelas saja mata Nirvana membulat sempurna. I--ini apa ini!? Tidak bisakah bubar saja? Nirvana sungguh tak mempunyai bahan obrolan dan persiapan berduaan dengan pengusaha tampan ini. "Vana, Nak Alan, Eyang tinggal dulu ya.." pamit Meriana melenggang pergi dari restoran. Begitulah akhir acara makan siang dadakan ini. Meriana meninggalkan restoran dengan dalih sopirnya menunggu di depan. Sebenarnya membuat sopir menunggu tidak masalah. Toh, majikannya memang masih melangsungkan makan siang. Dasarnya Meriana sengaja mencari cara untuk kabur agar Nirvana dan Aland bisa menghabiskan waktu berdua. Meriana pergi tanpa mempedulikan Nirvana yang tengah dilanda kebingungan. 'Eyang Putri maksudnya apa, sih? Masa aku ditinggal sama orang asing begini. Ya aku sih, enggak masalah kalau dia klien aku. Masalahnya, ini di luar konteks pekerjaan! Terus? Sekarang mau bahas apa coba? Bahas kalau rumput di taman enggak boleh diinjak? Duh..pusing!' "Bu Nirvana?" Panggilan pelan itu menyentak Nirvana yang sejak tadi masih sibuk memandangi jendela besar di sampingnya. Padahal mobil Meriana sudah tak terlihat lagi. Nirvana bingung. Hendak memandangi Aland..takut terpesona. Eh. "Y--ya, Pak Aland?" jawab Nirvana gugup sekali. Bagaimana tidak gugup? Ia ditinggalkan berdua saja dengan orang asing! Ya memang, Aland sepertinya orang baik. Tapi Nirvana bingung dan takut berbuat salah. Bukankah Nirvana membawa nama baik Keluarga Hasyiem? Seharusnya ada briefing di awal. Tidak dadakan seperti makanan yang dijual keliling itu. "Apa kita bisa mengobrol santai? Kita tidak sedang rapat, kan?" Seusai menghela napas, Nirvana merasa sedikit tenang. "Bisa, Pak. Tentu saja." Kali ini kegugupannya dapat teratasi. Aland juga sepertinya berusaha mencairkan suasana. "Kita awali dengan menghilangkan panggilan 'Ibu' dan 'Bapak', bagaimana?" "B--boleh." Nirvana mengangguk kaku. Kebingungan kembali melandanya. Kali ini permasalahan terletak pada panggilan. Nirvana harus memanggil Aland apa? Mas? Kakak? Atau nama? Arrghh...pusing! Nirvana mau pulang~ "Nirvana?" "Ya, Pak--mmm..maksud saya, Aland." Nirvana tidak salah, kan, memanggil nama? Gadis berusia dua puluh lima tahun itu hanya berusaha mengimbangi lawan bicaranya yang memanggil nama. Semoga Aland berkenaan dipanggil nama. Harap-harap cemas, Nirvana menanti respon Aland selanjutnya. Ini lebih menegangkan daripada belajar bersama omnya saat si om sedang badmood. "Tidak apa-apa, santai saja. Memang baiknya begitu, cukup memanggil nama tanpa embel-embel yang menyertai. Agar lebih akrab, Nirvana." Nirvana manggut-manggut, lega rasanya. Permasalahan panggilan pun--usai di sini. Tapi, permasalahan lain muncul. Aland tiba-tiba membuka perbincangan soal 'cerita'. "Sebelumnya, saya sudah sering mendengar cerita tentang kamu melalui Eyang Meriana." Terlanjur syok, Nirvana menyentak pria di hadapannya. "Cerita?! Memangnya Eyang Putri cerita apa saja!?" Yang disentak terkejut. Sementara Nirvana baru menyadari bahwa suara cemprengnya barusan telah mengganggu ketenangan resto. "Eh. M--maaf, kelepasan.." Tahu respon Aland? Pria itu terkekeh kecil. Bisa bayangkan betapa malunya Nirvana saat ini? Astaga..siapapun yang menjemput atau membawa kabur Nirvana saat ini juga, akan Nirvana beri imbalan. Jika wanita, akan ia jadikan saudara. Jika pria, akan ia jadikan..lho kok mirip cerita legenda! Efek tidak fokus karena tiba-tiba ditinggal berduaan dengan pengusaha muda nan tampan. "Sudah saya bilang, santai saja, Nirvana. Kita, kan, sedang berdua. Jadi kamu bebas berbicara apa saja. Saya ingin mengenalmu lebih jauh." Kalimat terakhir Aland barusan mampu menggetarkan hati Nirvana yang telah lama mati. Bahkan, yang tak pernah bisa Izhar lakukan, bisa dilakukan Aland. Pertanda apa ini ya Tuhan? Sayang sekali Nirvana membalas sekenanya. "Ya, saya juga." Gadis cantik itu lebih tertarik mengorek cerita apa saja yang sudah Aland dapat dari eyang putrinya. Terutama cerita tentangnya. "Tapi cerita dulu, apa saja yang sudah Eyang Putri ceritakan tentang saya ke kamu. Saya boleh tahu, kan?" Awas saja kalau Aland pelit. Nirvana tidak akan mau bertemu dengannya lagi. Cukup kali ini, pertemuan pertama sekaligus terakhir! Untung saja Aland tidak pelit cerita. "Tentu saja. Ini, kan, bukan rahasia negara." Dia jago melawak, meski tipis-tipis. Not bad lah. "Kamu bisa saja." Aland pun bercerita semuanya. Tak ketinggalan, bercerita juga mengenai pertemuan pertamanya dengan Meriana. Itu secara tidak sengaja di sebuah rumah sakit ternama di kota ini. Saat itu, Aland sedang menjenguk omanya. Ternyata..Meriana teman baik omanya selama menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai akhirnya perbincangan berlanjut, merembet pada Nirvana, yang amat dibanggakan oleh Meriana. Selain pemegang tahta tertinggi--Cucu Pertama--Nirvana ternyata sosok yang gigih. Gadis itu mau belajar dari nol dan menerima setiap perlakuan keras--yang diartikan disiplin oleh Aland--dari omnya. Hingga usaha Nirvana membuahkan hasil di tahun ini. H-Mall Jakarta jatuh di tangannya. Karena itu juga tahun ini Aland yakin untuk memasukkan produk baju pria ternamanya di H-Mall. Nirvana sosok yang kompeten dan pastinya mampu membuat H-Mall mempertahankan kejayaannya. Perihal kaburnya bertahun-tahun, ternyata tidak diceritakan. Nirvana lega.. Meski tak berharap Aland akan tertarik padanya. Nirvana sendiri juga tak mempunyai rencana untuk tertarik pada Aland. Meski dua tahun berlalu, kenyatannya hati Nirvana masih untuk satu orang. Entah kapan orang itu akan terhapus dari hatinya? Nirvana belum mampu menghapus namanya. Sosoknya saja kerap hadir dalam mimpi-mimpi indah Nirvana. "Bagaimana? Sudah bisa tenang?" Begitu tanya Aland, mengakhiri ceritanya. Mengulas senyum geli, pria itu melanjutkan, "Tenang saja, Nirvana. Eyang Meriana tidak mungkin menceritakan hal buruk tentangmu pada saya. Beliau nenek yang amat menyayangi cucu-cucunya. Widya, adik sepupumu juga tak luput diceritakan. Sebentar lagi dia lulus kuliah, kan?" Nirvana mengangguk, membenarkan perkataan Aland. Tidak menyangka dua tahun waktu yang sebentar. Berlalu begitu cepat. "Ya begitulah Eyang Putri. Walau tiada hari tanpa mengomel di rumah, tapi saya bahagia setiap mendengar omelan beliau. Apalagi jika omelan itu ditujukan pada saya. Artinya beliau masih orang yang sama, bukan? Yang menyanyangi saya sejak dulu, detik ini, hingga nanti." "Saya boleh ikut?" "Ikut kemana?" "Tidak kemana-mana, Nirvana. Tetap di sini, ikut menyayangimu detik ini hingga nanti.." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD