Hasrat yang Hilang

1679 Words
Aku melajukan mobil dengan sangat kencang. Meliuk-liuk menghindari kendaraan lain yang menghalangi jalan. Rasa sakit di buku-buku tangan tak kupedulikan. Itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit dan kecewaku terhadap Karin. "Aarrgh!" Aku menggebrak stir mobil berkali-kali penuh emosi. Rasanya aku ingin menyiksa dan membunuh pria sialan itu andai tidak ada hukum. Wanita yang begitu kucintai ternyata diam-diam menyimpan bangkai. Pantas saja dia tidak keberatan saat kami tinggal. Ternyata Karin punya niat lain. "Aaargh! Berengsek!" umpatku sembari terus menggebrak stir. "Mati saja kalian berdua! Mati! Berani-beraninya berbuat kotor di kamarku! Kurang ajar!" Aku menambah kecepatan saat mobil mulai memasuki jalanan yang cukup lebar dan lengang. Mengabaikan klakson kendaraan lain yang kesal karena aksi ugal-ugalan ini. Ponsel berdering berkali-kali. Melihat siapa yang memanggil, aku langsung melempar ponsel ke kursi lain. Belum terbukti kecurigaanku terhadap Ayu dan Aldi, Karin malah lebih dulu ketahuan busuknya. Ternyata, keduanya sama-sama mempermainkan perasaanku. Mobil melaju cepat tak tentu arah. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Pergi ke luar rumah ini hanyalah cara agar tidak melihat kepergian Karin. Bisa saja aku goyah saat melihat air mata dan kesedihan di matanya. "Tidak! Aku tidak ingin memaafkan pengkhianat sepertinya. Aku begitu mencintai Karin. Bagaimana mungkin dia tega mengkhianatiku seperti ini?" geramku dengan hati yang panas. Seketika seperti ada yang mencubit hati. Napasku sesaat terhenti saat menyadari perkataan barusan. Bukankah aku juga melakukan hal yang sama terhadapnya? Aku ... menduakannya. "s**t!" umpatku, lalu memukul setir mobil dengan kuat. Tidak kusangka rasanya sesakit ini saat mendapati cinta kita dikhanati. Lalu, bagaimana mungkin Karin bisa bersikap setenang itu setiap kali aku menyakitinya? Ini pasti karena dia memiliki pria simpanan itu. Ya! Pasti dia bisa tenang dan berhasil mengontrol kesedihan itu karena sudah ada pria lain di hatinya. Berjam-jam lamanya aku berdiam diri di taman. Aku ingin menenangkan diri, tapi malah terganggu saat pengamen mendekat. Membuat kepala ini semakin pusing karena suara cemprengnya. Hampir saja terjadi perkelahian saat aku melampiaskan amarah pada mereka. Beruntung teman pengamen itu melerai dan mengajaknya pergi. ??? Pukul dua belas malam, taman semakin sepi. Kuputuskan untuk pulang, meskipun belum sepenuhnya pikiran ini tenang. Saat tiba di halaman rumah, aku masih ragu untuk turun dari mobil. Antara siap dan tidak siap mendapati kenyataan kalau Karin sudah tidak ada di sini lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah merasa cukup tenang, akhirnya aku turun dan berjalan cepat ke dalam rumah. Keadaan rumah sudah sepi dan gelap. Semua orang pasti sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Aku berdiri mematung di anak tangga terbawah. Menatap nanar kamar Karin dengan kedua tangan mengepal kuat. Apa dia sudah benar-benar pergi? Aku melangkah perlahan dengan perasaan tak karuan. Tangan sedikit gemetar dengan jantung berdetak cepat. Aku berdiri mematung di depan kamar yang penuh kenangan manis sekaligus kenangan pahit tadi. Aku menelan ludah, lalu memutar knop pintu dengan cepat. Gelap dan hening. Aku melangkah masuk perlahan, meraba sakelar lampu di dinding dan menyalakannya. Kamar yang sempat seperti kapal pecah tadi, kini sudah kembali rapi. Apa Karin yang membereskan semuanya sebelum dia pergi? Tidak mungkin kalau Ayu atau Mama yang melakukannya. Aku tertegun memandangi ranjang yang sudah berganti sprei dan sarung bantal. Satu tanganku bergerak meremas kaus di d**a. Ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Karin benar-benar pergi seperti keinginanku tadi. Satu sisi aku marah dan tidak ingin melihatnya. Namun di sisi lain, hatiku tidak rela kehilangan Karin dengan cara seperti ini. Aku menengadahkan wajah, mengerjapkan mata cepat saat merasakan bulir-bulir bening hampir menetes. Aku tidak boleh menangis. Tidak boleh! Untuk apa menangisi wanita pengkhianat sepertinya? Karin salah. Wajar aku marah dan membencinya, bukan? Aku melangkah mendekati lemari untuk mengambil pakaian ganti, dan tertegun sejenak saat melihat semua pakaian Karin masih tertata rapi di dalam sini. Kenapa dia tidak membawa satu pun pakaiannya? Apa dia sengaja ingin membuatku terus-terusan teringat kepadanya? Dengan tergesa-gesa aku pergi ke dapur dan kembali ke kamar dengan membawa kantong plastik sampah besar. Mengeluarkan semua pakaian Karin dan memasukkannya asal ke dalam kantong plastik tersebut. Caramu untuk menyiksaku tidak akan berhasil Karin! Akan kubakar apa pun yang bisa mengingatkanku padamu! Dengan cepat kuseret kantong plastik itu ke halaman belakang dan menyimpannya di dekat pohon mangga. Besok pagi, semua barang milik Karin ini akan hangus terbakar bersama segala kenangannya. Aku tidak boleh terus terpuruk dan mengingat dirinya. ??? Usai membersihkan diri dan membiarkan guyuran air hangat mengguyur kepala, perasaanku sedikit tenang. Aku berjalan ke luar kamar mandi sambil menggosok rambut dengan handuk kecil. Saat melewati meja rias, pandangan mataku tertuju pada secarik kertas yang diletakkan di bawah gunting. Aku mendekat dan mengambil kertas itu. Tanpa membacanya, langsung kuremas dan melemparkannya ke tong sampah di dekat pintu. Untuk apa aku membaca surat perpisahan dari Karin? Itu hanya akan semakin menyakitiku saja. Kubuka laci dan mendapati semua perhiasan yang pernah kubelikan untuknya masih utuh di dalam sana. Ternyata, dia tak membawa satu pun pemberian dariku. Kututup kembali laci dengan kasar, lalu berjalan santai menuju kamar Ayu. Saat masuk ke kamarnya, dia sudah tertidur pulas dengan masih memegangi ponsel. Mungkin dia ketiduran karena berusaha menghubungiku, tapi tak dihiraukan. Terbersit rasa bersalah kepadanya. Harusnya, aku tak melampiaskan amarahku pada Ayu juga. Aku berjalan mendekat, lalu dengan hati-hati mengambil ponsel dari tangannya. Saat akan meletakkan ponsel itu di atas nakas, tanpa sengaja tombol power on-of tertekan. Ponsel yang tidak dikunci kata sandi pun menyala. Terpampang jelas ada riwayat chat dirinya bersama kontak bernama Dila di bagian paling atas. Terdorong rasa penasaran, kubuka pesan itu dan membacanya dari awal. Sialnya, emosiku kembali terpantik saat mendapati pesan tidak wajar sesama perempuan. Tidak mungkin dengan teman wanita saling memanggil mesra. Shit! Aku mengumpat dalam hati saat baru menyadari sesuatu. Bisa saja Dila adalah nama samaran dari ... Aldi? Dengan d**a yang bergemuruh hebat, kutekan tombol panggilan. Tersambung. Cukup lama aku menunggu sampai pada akhirnya, terdengar jelas siapa suara di seberang sana. Membuat napas ini kembali memburu dengan satu tangan mengepal kuat. Kumatikan segera panggilan di ponsel Ayu dan menatap benci wajahnya yang sedang tertidur pulas. Apa dosaku sampai-sampai kedua wanita yang bertahta di hati kompak mengkhianatiku? Kali ini aku akan mencoba menahan emosi. Akan kukumpulkan bukti dan membuka kedok Ayu pada saatnya nanti di depan orangtua kami. ??? Pagi harinya, aku membatalkan niat membakar barang-barang pribadi milik Karin. Kuputuskan untuk membuangnya saja saat melihat mobil pengangkut sampah lewat. Ayu tetap bersikap manis dan menggoda, tapi aku tak lagi bernafsu. Getaran yang biasanya kurasakan, seketika hilang setelah mengetahui permainan busuknya. Dengan santainya dia mengata-ngatai Karin. Kenyataannya, dia tak jauh berbeda. Keduanya sama-sama pengkhianat ulung! Aku tengah berdiri di balkon kamar Karin sembari mencoba menghubungi seseorang. "Halo?" sapaku saat telepon sudah tersambung. "Ada apa?" "Aku butuh bantuanmu sekarang." "Boleh, boleh. Bantuan apa? Tapi jangan lupa. Kamu tahu bayarannya, 'kan?" "Tidak perlu khawatir soal itu. Kerjakan saja tugasmu dan akan kubayar saat semuanya selesai." "Ok! Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Aku menjelaskan padanya untuk mencari tahu seluk beluk kegiatan Ayu. Tak lupa juga kuberikan nomor keduanya untuk diselidiki. Teman lamaku ini cukup ahli soal lacak-melacak. Biarpun bayarannya sedikit mahal, tapi hasil kerjanya yang cepat dan akurat tak pernah mengewekan para pelanggan. Ah, kenapa aku tak melakukan hal yang sama terhadap Karin? Aku malah dengan mudahnya terpancing emosi dan mengusirnya detik itu juga. "Mas ...." Ayu datang sesaat setelah sambungan terputus. "Telepon siapa pagi-pagi, Mas?" tanyanya sembari melingkarkan tangan di pinggang, memeluk erat dari belakang. Hasrat yang biasanya begitu menggebu saat Ayu menggoda dan menyentuh, kini hilang entah ke mana. Setelah tahu dia juga mengelabuiku, perasaan cinta dan nafsu itu berubah menjadi benci. "Teman," jawabku dingin sembari melepas paksa tangan itu, lalu berjalan cepat meninggalkannya. "Mas!" Ayu mengejar. Menghalangi langkah, lalu menempelkan tubuh sintalnya untuk menggodaku. "Semalam aku tunggu Mas sampai ketiduran, lho. Apa Mas tidak rindu?" tanyanya dengan tangannya yang mulai bergerak perlahan mengusap lengan ini. Aku menggeram dalam hati. Bukan karena menahan napsu, tapi mencoba menahan amarah yang bergemuruh di d**a. Rasanya ingin kulabrak dia saat ini juga, tapi bukti chat itu belum cukup kuat. Ayu pasti punya seribu alasan untuk berkelit. "Aku sedang tidak mood. Jangan menggodaku karena itu tidak akan berhasil!" kataku dingin sembari mengenyahkan tangannya yang bermain-main nakal di d**a, kemudian berlalu pergi. "Kenapa Mas jadi bersikap dingin begini? Apa salahku? Apa ini karena w************n itu?" Pertanyaan Ayu tersebut berhasil menghentikan langkahku. "Dia yang sudah berkhianat, tapi kenapa aku yang terkena imbasnya, Mas?" Mataku terpejam, mengepalkan kedua tangan di samping badan dengan rahang yang mengatup keras. Bukan hanya Karin, tapi kamu pun sama murahannya, Ayu! Aku menyentak napas kasar, lalu kembali melangkah tanpa mempedulikan Ayu yang berteriak-teriak memanggil. "Ada apa, sih, pagi-pagi begini sudah ribut?" tanya Mama yang sedang menata sarapan dimeja. "Itu, Ma. Mas Malik malah bersikap dingin padaku gara-gara kejadian semalam tadi. Padahal, aku, 'kan, tidak salah apa-apa," adunya dengan nada manja, membuatku semakin muak. "Kamu tidak boleh begitu, Malik. Ayu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang dibuat si anak haram itu! Jangan melampiaskan amarahmu pada Ayu! Dia istrimu satu-satunya sekarang. Bahagiakan dia supaya cepat ada kabar baik. Mama tidak sabar mau menggendong cucu!" Tanpa menggubris perkataan Mama, aku berlalu pergi setelah meneguk segelas air putih. "Malik! Mama ini sedang bicara padamu! Malik!" teriaknya di belakang sana. "Sudah, Ma, sudah! Malik masih terpukul dengan kejadian semalam," ujar Papa. "Semua ini karena ulah wanita tidak tahu malu itu! Dia sudah membuat anak kita jadi tidak tahu tatakrama!" oceh Mama sesaat sebelum aku keluar dari rumah. "Mas!" Ayu yang berlari mengejar, berhasil mencekal pergelangan tanganku. "Ada apa, sih, Mas? Kenapa Mas melampiaskan emosi pada kami semua? Yang salah itu, 'kan, Karin, bukan aku atau Mama." "Kamu mau berangkat kerja atau masih mau terus mengoceh di sini?" tanyaku dengan tatapan dingin. "Tapi kita, 'kan, belum sarapan, Mas. Mama sudah membelinya untuk kita semua," rengeknya dengan wajah memelas. "Aku tidak lapar. Makan saja sendiri." Aku melepaskan cekalannya, lalu dengan cepat masuk ke dalam mobil. Pada akhirnya, Ayu tetap ikut naik meskipun dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Mencoba menulikan telinga dengan semua gerutuan Ayu yang bisa memancing emosiku kembali meledak. Tunggu saja giliranmu, Ayu! Kamu pun akan segera menyusul Karin untuk angkat kaki dari rumahku! Tidak akan kubiarkan wanita pengkhianat seperti kalian mengelabuiku seenaknya! ★★★
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD