PART. 6 SAINGAN

1027 Words
Sementara itu Fardan sudah tiba di rumahnya. "Ibu!" Fardan mendekati ibunya yang duduk di meja makan sendirian. Di atas meja tertata beberapa boks kue. "Kenapa pulang?" Bu Farah terkejut melihat Fardan datang. "Aku harus ke kantor, Bu." "Libur satu hari tidak akan membuat kamu rugi." "Aku sudah ada janji. Ada seorang teman ingin membangun rumah. Aku harus melihat lokasinya. Dalam bisnis janji harus ditepati, Bu." "Ya sudah mandi sana!" "Aku sudah mandi. Aku ganti pakaian dulu." "Iya. Kamu sarapan di rumah tidak?" "Ibu masak apa?" "Ada katupat Kandangan dari Fira. Kamu mau?" "Boleh, Bu. Aku ke kamar dulu." "Ya." Ibunya memang sudah sampai ke Taiwan. Bahkan lancar bicara bahasa Taiwan, tapi ibunya tidak bisa membuang logat Banjar. Sementara Fardan karena tinggal di kebun kelapa sawit yang pegawainya banyak dari luar Kalimantan sehingga Fardan bicara tidak memakai logat. Fardan berbahasa Indonesia dengan benar, bahkan dididik untuk pintar berbahasa Inggris. Kata Ayah angkatnya, bola mata kamu biru seperti bule, kamu harus bisa bahasa Inggris. Ayah angkatnya tidak sayang mengeluarkan uang untuk kebaikan Fardan. Karena itu Fardan merasa Pak Fahmi itu seperti ayahnya sendiri. Pak Fahmi mendidik tanpa banyak bicara, lebih banyak dengan kerja dan bukti nyata. Sampai semua pekerjaan rumah Fardan mampu melakukannya. Suara ponsel Fardan berbunyi. Fardan menatap ponselnya. Telepon dari Eva. "Selamat pagi pengantin baru." "Hhhh. Tidak usah membahas hal itu. Cuma kamu yang istimewa di dalam hatiku. Kapan kamu pulang?" "Aku baru dua hari di sini. Aku sedang mencari lokasi untuk membangun klinik. Mungkin satu Minggu lagi aku baru bisa pulang." "Jangan terlalu lama meninggalkan suami kamu." "Hey. Kenapa tidak biasanya." "Apa kamu mau aku lupa punya istri kamu?" "Hmm. Tunggu! Apa malam pertama membuat Mas jatuh cinta padanya?" "Cintaku sudah kamu ambil semuanya. Tidak ada yang bisa jatuh lagi dari hatiku." "Oh ya. Jadi aku tidak perlu cemburu kepada janda itu!" "Apa yang harus dicemburui. Kamu lebih segalanya." "Ini sungguhan atau hanya hiburan?" "Sungguhan, Sayang." "Mas kerja hari ini?" "Ini aku mau ganti pakaian. Mau berangkat ke kantor." "Kalau begitu sudah dulu ya. Bye!" "Bye!" Fardan meletakkan ponselnya seraya tersenyum. Begitulah hubungan dengan istrinya. Fardan bukan sosok yang romantis. Karena ia pria yang tegas. Ketegasan yang diajarkan oleh Pak Fahmi. Agar Fardan bisa tegar menghadapi cobaan hidup. Fardan mengambil pakaian di lemari. Selama ini tidak ada keharusan bagi istrinya menyiapkan keperluannya. Bahkan Eva tidak pernah memasak untuk dirinya. Fardan tidak pernah menganggap itu sebagai hal besar. Jaman sekarang banyak wanita seperti Eva yang tidak bisa memasak. Lagipula di rumah mereka ada empat ART perempuan. Mereka yang memasak untuk mereka. Sebenarnya empat ART perempuan itu anak buah ibunya sejak dulu. Mereka yang membantu ibunya bereksperimen dengan produksi kue baru atau kue jadul. Fardan sudah selesai bersiap. Fardan melangkah ke bawah. Diatas meja makan sudah terhidang katupat Kandangan. Salah satu menu favorit nya sejak jaman dulu. Ibu angkatnya sering membuat katupat Kandangan, karena ibu angkatnya, istri Pak Fahmi yang pertama memang orang Kandangan. "Tuan mau minum apa?" Tanya Husna pada Fardan. "Air putih hangat saja." Fardan berusaha menghindari gula. Jadi memilih minum air putih saja. "Ibu tidak sarapan?" "Ibu sudah sarapan. Bagaimana malam pertama kamu dengan Mey, apakah sukses?" "Biasa saja. Tidak ada yang istimewa." "Tapi kalian melakukannya kan?" "Iya, Bu." "Ibu sudah memesan kurma muda. Katanya bagus untuk orang yang ingin punya anak." "Apa itu perlu, Bu?" "Kita sudah tercebur, tidak bisa lagi setengah hati. Apapun akan ibu lakukan agar Mey bisa hamil. Kamu harus mendukung ini, karena ini untuk membuktikan kalau kamu tidak mandul. Kalau nanti Eva belum juga punya.anak, maka anak Mey yang akan jadi pewaris harta ibu." "Ibu sudah berpikir sejauh itu. Punya anak juga perlu proses, Bu." "Prosesnya adalah tanggung jawab kamu. Ibu sudah membukakan jalan dan mendukung dengan segala usaha." "Iya aku mengerti, Bu." "Saat bersama Mey jangan bicarakan Eva. Saat bersama Eva juga jangan membicarakan Mey. Mey memang istri kontrak. Tapi dia juga punya harga diri. Kamu tidak boleh sembarang memperlakukan dia. Ibu wanita, dia juga wanita. Dia wanita sederhana yang pikirannya juga sederhana. Karena itulah dia bersedia menjadi istri muda kamu. Artinya impiannya sederhana." "Iya, Bu." Fardan mengambil sambal katupat. Dituang ke dalam piring kecil. Lalu dimasukkan harus arau gabus asap ke dalam sambal. Kemudian di tambahkan perasan limau kuit. Makan katupat dengan cara itu sangat nikmat bagi Fardan. Fardan menikmati sarapannya dengan perlahan saja. Tidak tergesa-gesa. Fardan tidak ingin kehilangan momen nikmatnya makan katupat Kandangan. "Wajah Mey cantik tidak?" Bu Farah ternyata penasaran dengan wajah menantunya. "Biasa saja, Bu." "Hmm, begitu ya. Yang penting hatinya baik." "Semoga saja." Bu Farah menatap wajah putranya. Bu Farah tidak bisa menebak isi hati Fardan saat ini. Apakah ada perasaan tertarik pada Mey atau biasa saja. Setelah selesai sarapan, Fardan pamit pergi ke kantor. Tiba di kantor. "Ken belum datang?" Tanya Fardan kepada sekretarisnya. "Maaf, Pak. Tadi Pak Ken menelpon. Beliau membatalkan pembangunan rumahnya." "Kenapa?" "Katanya beliau bertemu teman lama yang bisa memberikan harga miring." "Hmmm. Ini sudah kesekian kalinya." "Biasanya kalau kita di PHP seperti ini, kita akan mendapatkan proyek yang lebih besar." "Aku rasa pelakunya sana. Erik Pratama." "Saya juga berpikir begitu, Pak. Apa Bapak tidak ada niat untuk menggerebek orang itu." "Selagi masih bisa dimaklumi kita maafkan saja. Yang dia ambil hanya proyek-proyek kecil. Tidak terlalu berimbas pada kita. Anggaplah berbagi rezeki." Fardan tampak santai saja, karena saat ini perusahaannya masih menangani beberapa proyek besar. Proyeknya diambil Erik itu sudah biasa bagi Fardan. Lima belas tahun bergelut di bisnis ini Erik selalu ada membayangi. Mereka seperti saingan sejak kuliah. Apapun yang Fardan punya, Erik biasanya akan membeli juga. Fardan tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Erik. Sehingga seakan begitu tidak menyukainya, padahal mereka tidak pernah bertengkar secara nyata. Fardan tidak suka banyak bicara. Apalagi sampai bertengkar. Berdebat saat membahas pekerjaan saja. Fardan tidak suka bicara yang tak berarti dan sia-sia. "Apa agendaku hari ini?" "Meninjau tiga proyek yang baru mulai dibangun bulan ini." Defri menjawab pertanyaan Fardan. "Kita pergi jam berapa?" Fardan bertanya lagi. "Jam sembilan, Pak." "Masih ada waktu sebentar. Nanti panggil aku kalau kita akan berangkat." "Baik, Pak. Saya permisi." Defri pamit. "Silakan." Defri keluar seraya menutup pintu. Fardan menyandarkan punggung di sandaran sofa. Fardan merasa lelah tubuhnya. Percintaan malam tadi lebih dari biasanya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD