Tawaran Menjadi Istri Simpanan 2

867 Words
Marisa memandang kaget pada si bos yang bangkit dari duduknya dan melangkah menuju sofa. Apa dia harus menuruti ajakan Daniel? Bagaimana kalau ada staf lain yang melihat? Parahnya lagi jika istri pria itu datang dengan tiba-tiba. Terlalu lama di dalam ruangan si bos saja sudah membuatnya ketar-ketir tentang pandangan karyawan lain terhadapnya. Apalagi jika dia kepergok makan bersama. "Marisa, makan dulu!" Daniel kembali mengajaknya saat melihat Marisa terdiam. "Maaf, Pak. Saya tadi sudah makan," tolaknya kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan. Meski sebenarnya masih merasakan lapar karena hanya makan beberapa suap saja. Namun bukan Daniel kalau terima saat di bantah. Pria itu berdiri mendekati Marisa. Membuat gadis itu gemetaran. "Makan dulu. Kalau kamu pingsan di sini, orang lain akan beranggapan aku ngapa-ngapain kamu." Satu kotak nasi di letakkan di meja depan Marisa. Gadis itu berdiri. "Maaf, saya akan makan di luar saja, Pak." Tanpa menunggu jawaban Daniel, Marisa melangkah pergi sambil membawa kotak nasi. Sungguh dia tidak ingin menambah beban hidupnya dengan gunjingan rekan kerja atau bahkan berurusan dengan istri cantik bosnya. ***LS*** Tepat jam empat sore Marisa keluar kantor bersama Ari. Mereka naik angkot dan berhenti di depan sebuah mall. Namun bukannya menyeberang untuk ke pusat perbelanjaan itu, tapi mereka masuk pasar atom. Pasar legendaris di Surabaya. Tempat dengan ciri khas tawar menawarnya antara penjual dan pembeli. Penjual memberi harga setinggi-tingginya sesuai dengan jenis barang, si pembeli akan menawar serendah-rendahnya yang terkadang membuat penjual geleng-geleng kepala. Sebab ditawar jauh dari harga pokok. Namun tidak dengan Marisa, dia akan tetap sepakat jika dirasanya pantas untuk benda yang dipilih. Pedagang itu juga mencari rezeki dari keuntungan barang dagangannya. "Habis ini aku ajak kamu makan pizza di ITC," kata Ari sambil menunggu Marisa memilih buah jeruk. Mereka telah selesai belanja. Terakhir membeli buah untuk isi kulkas. "Nggak usah. Kita makan mie ayam di luar saja." "Tenang, bulan ini aku nggak banyak kebutuhan. Makanya aku bisa nraktir kamu makan pizza. Sekali-kali nggak apa-apa. Ayolah, aku juga pengen makan pizza. Kamu juga mau nyari kado, kan?" bujuk Ari. Marisa akhirnya mengangguk. Setelah membayar buah, mereka keluar pasar, menyeberang menuju mall. Biasanya mereka ke ITC hanya untuk jalan-jalan dan cuci mata. Kalau belanja mereka akan pergi ke pasar, untuk menyesuaikan isi kantong. Di pasar juga lengkap dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Mulai dari bahan makanan, makanan jadi, pakaian, emas, mainan anak-anak, aksesoris, hingga institusi perbankan. Ketika tengah asyik berjalan hendak menuju lift, Marisa dikejutkan oleh anak kecil yang menabraknya. Bocah laki-laki itu terjatuh tapi tidak menangis. Marisa meletakkan barang bawaannya ke lantai, kemudian membimbing bocah laki-laki itu berdiri. "Maaf ya, tante nggak sengaja," ucap Marisa sambil tersenyum pada bocah tampan di hadapannya. "Ubed," panggil lelaki yang menghampirinya. "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja menabrak putra bapak." Marisa merasa tak enak hati dengan laki-laki bertopi yang menghampiri. "Nggak apa-apa," jawab pria itu sambil tersenyum. Kemudian menggendong bocah yang dipanggilnya Ubed tadi. Setelah itu melangkah pergi. Ari membantu Marisa membawakan barang belanjaannya. Lantas menaiki eskalator untuk menuju ke arah foodcourt di lantai atas. Ari memesan makanan sedangkan Marisa mencari tempat duduk. "Ngapain kamu tadi lama banget di ruangan Pak Daniel?" "Ngerjain laporanku yang salah. Dia minta aku mbenahi berkas di ruangannya." "Kamu dirayu lagi?" "Hu um, dasar bos sinting. Dipikirnya aku perempuan gampangan." Marisa kesal ingat kejadian tadi siang. Bukan kali itu saja dia dirayu. Bahkan sudah beberapa kali. Lelaki yang bertampang dingin dan selalu menjaga pandangan dari perempuan di luar sana, nyatanya memberikan penawaran yang mengejutkan bagi Marisa. "Pak Daniel sepertinya emang jatuh cinta sama kamu. Lihat saja, dia nggak pernah genit dengan siapapun. Partner bisnisnya cantik-cantik lho, tapi dia cool saja. Tapi denganmu dia jatuh cinta." "Hush, jangan ngomong gitu lagi. Pak Daniel sudah beristri. Kurang apa coba istrinya. Cantik, semampai, kaya pula. Dia hanya mau cari kesenangan di luar, bukan karena jatuh cinta," bantah Marisa. "Tapi dia salah orang jika aku ingin dijadikan sasarannya." Ari tertawa melihat tampang kesal sahabatnya. Jika bukan Marisa, pasti perempuan itu sudah jatuh dalam pelukan si bos. Daniel tidak hanya kaya, tapi tampangnya luar biasa. ***LS*** Jam delapan malam seorang laki-laki turun dari mobilnya yang sudah masuk garasi. Dia masuk rumah lewat pintu samping. "Assalamu'alaikum," ucapnya. "Wa'alaikumsalam," jawab seorang wanita tua yang duduk di ruang keluarga. "Loh, mana Ubed?" Wanita bernama Bu Arum itu mencari cucunya. "Sudah ku antar pulang, Ma. Besok pagi-pagi aku harus berangkat ke Jember. Nggak sempat kalau harus nganterin dia pulang." "Ya sudah. Tapi mamanya sudah pulang dari kantor, kan?" Pria bernama Aksara itu mengangguk. Jika ada waktu luang, dia memang akan menyempatkan mengajak sang keponakan jalan-jalan. Pergi ke playground, makan, atau hanya sekedar membeli mainan. "Aksa, tadi Bu Abdul ketemu mama di pengajian. Dia bicara tentang niatnya yang hendak jodohin kamu dengan Hafsah. Kira-kira kamu gimana?" Bu Arum bicara sangat hati-hati pada putranya. Hafsah ini putri bungsu Kyai Haji Abdul Qodir. Orang yang sangat berjasa saat keluarganya mendapat musibah besar tujuh tahun yang lalu. "Jangan, Ma. Hafsah tuh sangat baik. Nggak cocok sama aku. Nanti aku nggak bisa bahagiain dia." "Tapi, Sa ...." "Jangan, Ma," tolak Aksara lantas berdiri dan masuk ke kamarnya. Bu Arum diam menatap putranya yang masuk kamar. Padahal beliau sangat berharap kalau Aksara mau menerima rencana perjodohan itu. Hafsah sendiri telah setuju karena sudah lama menyukai Aksara. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD