Mobil berhenti di depan gang rumah Marisa. Jarak rumah mereka sebenarnya tidak jauh, hanya saja mesti jalan memutar, mengikuti rambu-rambu jalan. Ketika mobil hendak berbelok ke gang, Marisa mencegahnya. "Nggak usah masuk, Mas. Di sini aja. Nanti susah kalau mau keluar. Gangnya sempit banget."
"Kamu jalan kaki?"
"Iya, nggak apa-apa." Gadis itu segera melepaskan stiletto-nya biar gampang untuk berjalan. Sebelum membuka pintu, Marisa menoleh pada Aksara. "Makasih udah nganterin saya tadi. Makasih juga udah ditraktir. Sampaikan salam saya pada mamanya Mas ya. Tadi saya nggak sempat pamitan."
"Oke, nanti kusampaikan pada mama. Kalau ada waktu kita bisa ketemuan lagi."
Marisa tersenyum lantas membuka pintu mobil. Gadis itu melambaikan tangannya pada Aksara yang belum menutup kaca mobilnya. Kemudian melangkah pulang. Ketika hati mulai terobati, kini kembali terluka lagi. Luka pada insan yang belum menjadi apa-apa selain hanya berteman.
Beberapa tetangga yang kebetulan melihat Marisa berjalan pulang, berteriak untuk bertanya, dari mana? Itu pacar baru ya? Wah, yang baru balik kencan? Pandai kamu cari pacar, Risa. Ibu-ibu yang menjadi tetangganya itu sebenarnya sudah biasa ngobrol dan bercanda. Namun setelah putus dengan Dimas, Marisa menjadi agak sensitif. Padahal wajarlah mereka bertanya, karena telah bertetangga lama.
Setelah sampai di rumah dan menemui ibunya sebentar di dapur, Marisa memperhatikan dirinya di depan cermin. Kalau soal salehah, jelas dia kalah jauh dari Hafsah. Bukan dari segi cara berpakaian saja, mungkin ilmu agamanya juga tidak seberapa dibandingkan dengan gadis itu. Jadi salah besar kalau dia berharap lebih pada Aksara. Lagipula Marisa masih memiliki banyak tanggungan daripada Hafsa yang anak orang terpandang dan putri bungsu pula.
Marisa tersenyum untuk memberikan semangat pada dirinya sendiri. Membisiki hatinya bahwa hujan tak selamanya deras dan mentari tak selalu terik membakar bumi. Jadi tak perlu risau atau khawatir dengan perjalanan hidupnya. Ia yakin Allah pasti akan memberikan ending yang indah asalkan ia ikhlas menjalani takdirnya. Bukankah untuk naik kelas harus lulus ujian lebih dulu?
***LS***
Tiap ponselnya berpendar, Aksara langsung melihat benda pipih itu. Namun berulang kali harus kecewa karena bukan Marisa yang membalas pesannya. Bahkan ponsel gadis itu tidak aktif sejak tadi malam. Apa handphone-nya rusak? Kehabisan kuota atau terjadi sesuatu dengannya? Aksara khawatir.
Sambil bekerja, pria itu ingat percakapannya dengan sang mama tadi malam. Sewaktu duduk berdua di ruang televisi.
"Bagi mama Marisa ini gadis yang baik, sopan, dan apa adanya. Tapi kalau kamu menyukainya, apa alasan kita untuk menolak keinginan Pak Abdul yang berniat menjadikanmu suami putrinya?"
"Bukankah kita juga belum pernah bicara serius tentang perjodohan itu, Ma. Pak Abdul juga nggak pernah bicara apa-apa padaku tiap kali kami bertemu."
"Iya, karena dia bicaranya sama mama."
Hening sejenak.
"Hafsah dari keluarga berada, putri kyai, sholehah, dan berpendidikan tinggi. Dia bisa mendapatkan suami yang jauh lebih baik, Ma. Sedangkan Marisa, dia menjadi tulang punggung keluarga. Tumpuan adik-adiknya. Sampai ditinggal nikah sama kekasihnya karena beban berat yang ditanggung Marisa terhadap keluarga. Jujur aku nggak hanya menyukainya, tapi aku juga ingin meringankan bebannya. Apa Mama keberatan?"
"Kenapa mama keberatan. Bahkan berapa pun uang yang kamu gelontorkan untuk anak-anak terlantar itu mana pernah mama protes. Mama nggak pernah mempermasalahkan uang yang kamu keluarkan asalkan untuk kebaikan. Bukan untuk berjudi, mabuk, atau berfoya-foya."
"Soal Marisa tidak berhijab, tugasku untuk bisa membimbingnya. Sebab kulihat ibunya pun juga berjilbab."
Sampai Aksara pulang ke rumah. Pesannya pada Marisa belum juga dijawab, walaupun aplikasi pesannya sudah aktif lagi. Tadi mencoba menunggu di depan kantornya juga tidak bertemu.
"Mas, saya mau pulang dulu. Ini ada kiriman dari Mbak Hafsah kemarin. Saya lupa mau ngasih tahu, Mas Aksa." Mbak Siti menghampiri Aksara sambil memberikan sebuah kotak.
"Kapan ngasihnya?" tanya Aksara sambil memperhatikan isi kotak.
"Waktu temannya Mas Aksa di sini kemarin. Mbak Ima yang mengantarkan ke sini."
"Oke, makasih, Mbak."
Mbak Siti pergi, Aksara kembali sibuk dengan ponselnya. Dia tidak mengetahui kalau alasan Marisa menghindari karena ucapan Mbak Siti kemarin siang.
***LS***
Pagi sehabis salat subuh, seperti biasa Aksara joging di sekitar komplek perumahannya. Saat itu suasana masih gelap ketika seorang laki-laki menghentikannya.
"Mas Alim," sapa Aksara ramah sambil menyalami tangan laki-laki yang merupakan putra sulung kyai Abdul. Rumahnya juga berada satu komplek dengan keluarganya. Hanya beda gang saja.
Pria yang berumur hampir setengah abad itu terlihat dingin. Raut wajah itu tampak jelas dari pantulan lampu jalan. "Kapan kamu mau melamar adikku?" Pertanyaan datar yang membuat Aksara kaget.
Sebelum Aksara menjawab, laki-laki itu sudah bicara lagi. "Sebaiknya kamu urungkan niatmu. Hafsah pantas mendapatkan laki-laki yang mumpuni dalam hal agama. Yang setara dengannya. Aku sudah punya calon untuk Hafsah. Dia seorang ustadz dan putra dari pemilik pesantren. Jelas nasab keturunannya."
Tanpa terluka Aksara tersenyum melihat laki-laki yang memandangnya dengan sinis. Memang di antara ketiga putra Kyai Abdul, hanya Alim yang jelas tidak menyukai keluarganya. Terlebih setelah Johan terkena kasus besar.
"Alhamdulillah. Sebaiknya segera Mas bicarakan hal ini dengan keluarga."
"Abah nggak setuju karena Hafsah lebih memilih kamu."
"Bicarakan baik-baik. Pasti beliau akan setuju. Maaf saya permisi dulu, Mas Alim."
Aksara meninggalkan laki-laki itu dan melanjutkan jogingnya. Sedikitpun dia tidak terluka dengan ucapan Alim. Justru dia lega kalau sudah ada calon lain untuk Hafsah.
Sekarang ia malah kepikiran tentang Marisa. Gadis itu sudah membalas pesannya tadi malam, tapi tidak mau diajak ketemuan atau didatangi rumahnya. Ini yang membuat Aksara resah. Padahal hari Minggu dia tampak baik-baik saja. Kalau dia takut jadi bahan gibah tetangga, kenapa diajak bertemu di luar juga tidak mau.
Aksara kembali ke rumah. Istirahat sebentar terus mandi dan berangkat tanpa sarapan. Dia menunggu Marisa di jalan depan, tak jauh dari gang rumah Marisa.
Ketika dari spion samping terlihat seorang gadis berjalan dari arah gang, Aksara segera turun dari mobilnya.
* * *