3

3541 Words
Aku dan Rio berlari di koridor rumah sakit, mengabaikan peringatan dari beberapa orang yang meminta kami berjalan cepat. Namun, aku tidak bisa melakukannya. Kami diburu waktu. Adam mengirimkan alamat rumah sakit dimana Dion dirawat dan dinyatakan meninggal. Berdasarkan info dari Adam, Dion meninggal karena mengalami kecelakaan saat dia ingin pergi menemui Adam. Pertanyaannya, kenapa Adam bisa berada di rumah sakit saat ini? Aku berlari mendekati Adam yang aku lihat sedang tertunduk lemas dengan airmata yang telah membanjiri pipinya. Ini pertama kalinya setelah kematian ibunya, Adam menangis. “Adam.” panggilku. Adam menoleh dan memelukku begitu aku menghampirinya. “Tika, ini salahku.” ujarnya lirih, suaranya parau menunjukkan betapa terlukanya dia.                  Aku mengelus lembut punggung Adam. “Sabar, Adam. Ada aku disini.” Hiburku. Adam mengangguk, dia mempererat pelukannya. “Dion, Dion!” Aku dan Adam reflek melepaskan pelukan kami. Aku melihat seorang wanita paruh baya dengan wajah tegang, panik dan ketakutan datang. Wanita itu sedikit linglung. Dengan mata berkaca-kaca dia memanggil-manggil Dion. “Adam, Dion dimana?” tanyanya begitu menyadari kalau ada Adam disana. Adam tertunduk lemas. “Dion mana, Dam! Dion anakku, mana?!” teriak wanita itu. Adam hanya tertunduk lemah. “Dion di dalam, tante,” jawab Adam. “Dion sudah meninggal.” Adam melanjutkan. “Tidak! Tidak! Dion! Dion!!” Wanita itu menjadi histeris. Dia meronta dan jatuh pingsan setelah setengah menit menjerit histeris. Aku rasa wanita itu pasti shock berat mendengar kabar kematian anaknya. Ini sungguh aneh, Dion tiba-tiba meninggal dan Adam yang mendampinginya. Padahal, Adam bilang kalau dia akan bertemu Dion di rumahnya. Apa mungkin Adam berbohong padaku? “Adam,” panggilku. Adam menoleh. “Ya, Tik?” tanya Adam, masih dengan wajah murung. “Aku boleh masuk?” jawabku balik nanya. Adam mengenyitkan kening, bingung. “Boleh ya? Aku tidak menuntutmu untuk menjelaskan semuanya, kok. Aku hanya ingin melihat mayatnya.” Aku memohon. Adam mengangguk. “Baiklah.” Aku dan Adam masuk. Aku berhenti sebentar lalu menoleh ke belakang. “Rio, kamu tidak ikut?” Rio yang sedari tadi hanya diam tersentak kaget dengan pertanyaanku. “Boleh?” tanyanya ragu. Aku mengangguk mengiyakan. “Ikut?” tanyaku sekali lagi. Rio mengangguk. “Ikut, Tik.” jawabnya. Kami bertiga masuk ke dalam, melihat mayat Dion untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya akan dibawa ke rumah duka setelah nanti mamanya Dion sadar. Aku tertegun. Jantungku berdegup kencang saat melihat mayat di depanku. Aku memang banyak bertemu dengan orang yang nyaris mati, tetapi ini adalah ketiga kalinya aku melihat mayat secara langsung selain mayat ayah dan ibuku. “Tik, kamu yakin?” tanya Adam ragu karena melihat wajahku yang memucat. Aku mengangguk meyakinkan. “Iya, aku hanya ingin melihat saja.” jawabku. Aku mendekati mayat Dion dan membuka kain penutup yang menutupi tubuhnya. Aku sedikit bergidik ngeri ketika melihat tubuh Dion yang pucat, kaku dan mulai mengeras. Aku menelan ludah dan menutup kembali kain penutup itu hingga menutupi tubuh Dion kembali. “Tik, kamu tidak apa-apa?” tanya Rio. Aku mengangguk. “Rio, bisa bantu aku?” tanyaku. Rio mengangguk. “Apa?” tanyanya. “Bisa ambilkan tangan Dion, aku ingin menyentuhnya.” pintaku. Rio terdiam. Sepertinya dia bimbang dan ragu untuk memenuhi permintaanku yang ngawur. Adam mendekatiku. “Tik, aku saja jika si cupu tidak bersedia,” ujarnya. Aku menoleh ke arah Adam. “Kamu serius?” tanyaku meragukan ucapannya. Adam mengangguk pasti untuk meyakinkanku. “Aku ini bukan penakut.” Adam meyakinkanku. “Lagipula, jika boleh aku tahu untuk apa?” tanya Adam penasaran. Aku hanya tersenyum kecil. “Aku ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh tangan orang mati.” jawabku ngawur, berusaha menutupi maksudku yang sebenarnya. Adam terdiam. Wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya. “Cepatlah, Dam. Sebentar lagi mayatnya akan dipindahku.” desakku. Adam tertegun. Dia segera melakukan apa yang aku pinta. Adam mendekati mayat Dion, menyingkap sedikit kain penutup tangan Dion dan perlahan mulai memegang dan mendekatkan telapak tangan Dion padaku. “Ini.” ujarnya. Aku menerima tangan Dion dan mulai menyentuhnya. Aku terdiam sebentar, mencoba berkonsentrasi untuk bisa membaca sesuatu dari tangan Dion. Aku menghela napas dan memberikan tangan itu kembali pada Adam. Adam pun segera mengembalikan tangan Dion pada tempatnya semula. Kami bertiga pun segera keluar dari ruangan dan duduk lemas di bangku tunggu rumah sakit. Aku menghela napas panjang. Ini sungguh menyebalkan, lagi-lagi aku tidak mendapatkan petunjuk apapun. Saat aku mencoba membaca ingatan terakhir Dion, tak ada satupun ingatan yang terbaca. Bagaimana kasus ini bisa menjadi begitu rumit dan tidak menguntungkanku begini? Jika begini terus, aku dan Rio akan mati. Rio menyikut lenganku membuatku menoleh padanya. “Bagaimana?” bisiknya pelan agar Adam tidak mendengar. Aku menggelengkan kepalaku. “Nihil,” jawabku dengan suara lemah. Rio menghela napas berat, kecewa. “Jadi, kita gagal?” tanyanya, masih dengan berbisik. Aku mengangkat kedua bahuku lemah. “Entahlah,” ujarku. “Apanya?” Aku menoleh ke Adam yang sedang memasang wajah bingung. “Apanya?” tanyaku balik. Adam mengangkat sebelah alisnya, mulai curiga. “Tik, kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku ‘kan?” tanyanya penuh rasa curiga. Aku menggeleng kepalaku cepat. “Tidak.” jawabku tegas. “Lalu, kenapa kau sejak tadi bisik-bisik dengan si cupu?” tanya Adam lagi, masih curiga. “Kami hanya sedang berdebat,” jawabku sekenanya. “Berdebat tentang apa?” Adam bertanya lagi, penasaran. “Kamu yakin ingin tahu?” tanyaku. Adam mengangguk. “Kami berdebat mengenai,” aku menghentikan ucapanku sebentar. “Bagaimana bisa kamu bersama Dion sedangkan kamu bilang kalau kalian berjanji untuk bertemu di rumahmu.” Akhirnya pertanyaan itu meluncur. Adam tertunduk, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. “Tadi Dion menghubungiku, kalau dia sedang dalam bahaya.” Adam mulai menjelaskan. “Jadi aku menemuinya. Karena buru-buru, aku tidak sempat mengabarimu.” Adam melanjutkan. “Tetapi kami tidak melihatmu, Dam. Kami sudah berlumut di g**g perempatan rumahmu, Seandainya kamu lewat, aku pasti menyadarinya.” Sanggahku. Adam tersenyum kecut. “Kamu menungguku sejak pukul berapa? Aku sudah pergi dari jam tiga.” jelasnya. Aku mengangguk-ngangguk. Jika memang begitu kejadiannya, pantas saja jika kami tidak bertemu dengan Adam. “Oh iya, apa kalian akan tetap di sini?” tanya Adam tiba-tiba. “Maksudmu?” jawabku balik bertanya. “Sebentar lagi aku akan ke rumah Dion, membantu proses pemakamannya.” Adam menjelaskan. “Kamu mau ikut, Tik?” tanya Adam. Aku menoleh ke arah Rio, meminta pendapat. “Aku harus pulang. Jika kamu mau ikut dengannya, silahkan saja.” Rio memberikan jawaban tanpa harus aku tanyakan. Aku terdiam, berpikir. “Aku pulang saja, Dam. Ada sesuatu yang harus aku urus.” Adam mengangguk. “Hati-hati di jalan, kalau sampai rumah kabari aku.” Adam berpesan. Aku mengangguk. “Sip.” Aku dan Rio pun berdiri dan mulai berjalan meninggalkan Adam. “Tik, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Rio saat kami sudah lumayan jauh dari Adam. Aku menoleh ke Rio. “Tentu saja kita ke tersangka berikutnya.” jawabku mantap. “Erika?” tanya Rio. Aku mengangguk. “Sekarang?” Rio bertanya lagi, agak terkejut. Aku tersenyum. “Tentu saja. Aku belum ingin mati.” Ya, aku tidak boleh terpaku dan menghentikan langkahku hanya karena aku menemui jalan buntu. Aku harus bangkit dan mencari jalan lain. Aku pasti akan menemukan pembunuh Rio dan hidup lebih lama lagi. *** Aku dan Rio sudah berdiri di depan pintu rumah Erika, mantan kekasih Rio. Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau tidak, mengingat statusku saat ini bukan hanya sebagai helper dari seorang Rio tetapi juga sebagai kekasihnya. “Tika,” panggil Rio membuyarkan semua lamunanku. Aku menoleh padanya. “Kamu yakin untuk melakukan ini?” tanyanya. Aku mengangguk. “Jika kita menundanya sampai besok, waktu kita akan semakin menipis,” jawabku yakin. Rio menghela napas, cowok berkacamata itu memandang sedih ke tanda bintang di tangannya yang kini tinggal enam. Perlu diingat, kami hanya memiliki batas waktu 7 hari. Jika misi kami gagal, aku dan Rio akan mati. Rio mulai menekan bel rumah Erika setelah selama lima menit kami hanya diam mematung dalam keraguan dan keheningan. Pintu rumah terbuka setelah beberapa menit kami menunggu. Rumah ini besar dan tanpa perlu melakukan pengamatan, sudah bisa dipastikan pemiliknya adalah orang yang sangat kaya. “Maaf, Erikanya ada, Nek?” tanyaku begitu aku melihat seorang nenek membukakan pintu untuk kami. “Non Erika ada. Kalian ini siapa?” tanya nenek itu bingung. Karena memang ini pertama kalinya beliau melihat kami. “Kami temannya, Nek!” jawab Rio. Nenek itu mengernyitkan keningnya, beliau menatap Rio dengan seksama seolah sedang memulihkan ingatannya tentang Rio yang mungkin saja sudah pernah dilihatnya sebelumnya. “Den Rio?” tanya Nenek itu senang ketika berhasil mengingat Rio. Rio mengangguk. “Erikanya ada?” tanya Rio sekali lagi. “Non Erika ada, Den. Silahkan masuk!” nenek itu mempersilahkan kami masuk. Aku dan Rio pun masuk. Aku terpukau melihat betapa besar, luas dan megahnya ruangan yang sedang aku lihat dengan kedua mataku. Ini sungguh rumah yang menakjubkan. “Silahkan duduk!” kata nenek itu mempersilahkan kami duduk. Kami pun duduk dan ingin rasanya aku meloncat-loncat di sofa yang sedang aku duduki. Begitu lembut dan empuk. “Tika, sadarkan dirimu!” tegur Rio mengingatkanku akan tujuan utama kami. Aku berdehem sebentar lalu kembali menstabilkan emosiku. Ini sungguh memalukan aku bertingkah konyol di depan seorang Rio, klienku. “Saya panggilkan non Erika dulu, Den.” pamit nenek itu lalu pergi. Rio menoleh ke arahku, tatapan mata cowok berkacamata itu seolah menyiratkan perasaant ilfeel sehingga membuatku hanya bisa tersenyum kaku. Malu. “Tik, kamu jenis cewek yang mudah terpesona dengan kekayaan rupanya.” Ujarnya. Eh? “Tidak, bukan begitu. Hanya saja ak-” “Rio!!” teriakan itu membuatku diam. Seorang cewek terlihat. Dengan senyum yang mengembang di bibir tipisnya, cewek itu berlari dan memeluk Rio yang sedang duduk di kursi. Tubuh Rio agak terpental ke belakang, tersandar ke pojokan sofa, tidak siap menerima pelukan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu. “Rio, aku kangen.” Ucap cewek itu dengan masih memeluk Rio. Rio hanya diam, tidak menjawab ataupun membalas pelukan cewek itu. “Rio,” panggil cewek itu lirih. “Jadilah pacarku lagi.” pintanya. Aku mengangguk-nganggukkan kepalaku. Sekarang aku tahu kalau cewek ini adalah Erika. Aku tidak menyangka kalau dia secantik ini. Namun, aku tidak mengerti mengapa mereka sampai bisa berpisah. Padahal, mereka sama-sama berasal dari keluarga kaya dan aku pikir Erika sangat menyukai Rio. “Lepaskan aku, Erika. Sandiwaramu sungguh memuakkan.” Erika menyeringai mendengar pernyataan Rio. Cewek berambut pendek itu melepas pelukannya. Plak. Aku tersentak dengan apa yang aku lihat di depan mataku. Dengan satu tangan cewek bernama Erika ini menampar pipi kanan Rio. Rio memejamkan mata, menahan sakit setelah menerima tamparan Erika. Cowok berkacamata itu mendorong Erika menjauh dan berdiri dengan tatapan penuh kemarahan. “Berhentilah memperlakukanku sebagai anjingmu. Aku bukan lagi kekasihmu!” bentak Rio. Erika hanya tersenyum dan berjalan santai menuju sofanya. “Lalu untuk apa mantan anjingku kesini?” tanya Erika ketus. Rio menggigit bibir bawahnya, kesal. “Aku kesini terpaksa karena kekasihku yang memintanya.” jawab Rio dengan nada suara yang tertahan. Aku rasa dia benar-benar sangat tidak menyukai Erika atau bisa dikatakan dia membencinya. “Kekasihmu?” tanya Erika heran. Erika menoleh ke arahku lalu tertawa ketika melihatku. “Eh, cewek headphone, kamu sekarang kekasihnya?” ledeknya. Cewek Headphone? Dia mengenalku? “Aku mengenalmu.” ucap Erika meyakinkanku seolah dia bisa membaca pikiranku. “Bagaimana bisa kau mengenalku?” tanyaku penasaran. Erika terkekeh membuatnya tampak begitu menyeramkan. Kecantikannya sirna seketika. “Tentu saja aku mengenalmu, Maretha Dwi Sartika.” jawab Erika dengan nada suara yang penuh keyakinan. Aku tertegun mendengar jawabannya. Bukankah ini pertama kalinya kami bertemu? Bagaimana bisa dia mengetahu namaku dengan begitu detail? Aku bangkit dari dudukku. Berjalan menuju Erika dan mengulurkan tanganku tanpa diminta. “Boleh aku menyentuh tanganmu?” tanyaku dengan sopan. Erika lagi-lagi terkekeh. Cewek berambut pendek itu berdiri di depanku dengan wajah penuh kesombongan. Kami berdiri berhadapan. “Aku tahu apa yang akan kamu lakukan, tetapi itu percuma, Tika.” ucapnya dengan begitu yakin. “Memangnya apa yang akan aku lakukan?” tanyaku dengan perasaan kesal karena merasa dipermainkan. Erika tertawa terbahak membuat deretan giginya yang besar dan putih bersih terlihat. Sedetik kemudian cewek berambut pendek itu mengubah ekspresinya. Dia menatapku tajam bak burung Elang yang sedang mengunci sasarannya. “Akan aku perlihatkan hal yang menyenangkan.” bisiknya. Erika meletakkan tangan kanannya di wajahku dengan tiba-tiba sehingga membuat kedua mataku terpejam. Aku tertegun saat mendapati diriku dalam sebuah dimensi waktu. Aku melihat seorang cowok dan cewek sedang duduk berdua di sofa ruang tamu. Namun, cewek itu di atas sofa sedangkan cowok itu duduk dibawah dengan sebuah tali anjing terpasang di leher cowok itu. Mereka adalah orang yang aku kenal dan sofa itu adalah sofa yang baru saja aku duduki. Ya, mereka adalah Rio dan Erika yang sedang duduk berdua di rumah Erika. “Jadi, apa kamu ingin membalasnya?” Erika membuka suara. Rio yang awalnya hanya duduk dengan kepala tertunduk mulai mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. “Aku ingin membalasnya.” jawabnya dengan geram. Erika terkekeh. “Lalu, apa rencanamu?” tanya Erika lagi. “Apa kau ingin membunuhnya?” Erika menambahkan. Rio menyeringai. “Tidak, aku ingin membuatnya menderita dan menginginkan kematian dengan sendirinya.” jawab Rio dengan sangat yakin. “Caranya?” tanya Erika tidak mengerti. “Aku akan membunuh cewek yang selalu bersamanya.” jawab Rio mantap. Erika tertawa terkekeh. “Jadi, kamu ingin membunuhnya?” tanya Erika. “Siapa namanya? Ehm..” Erika sedang berusaha mengingat-ingat. “Maretha Dwi Sartika.” jawab Rio mantap. Deg! Aku tertegun. Erika telah menjauhkan tangannya dariku. “Jadi, apa kamu sudah melihat hal yang menyenangkan?” tanyanya dengan senyuman penuh arti. Aku menoleh ke arah Rio yang hanya menatapku dengan wajah polos. Entah kenapa kemarahanku mencuat. Aku segera keluar dari rumah itu membuat Rio kaget dan mengejarku yang berlari pergi secepat yang aku bisa. “Tika! Tika!” panggil Rio. Aku tetap berlari, tidak memperdulikannya. “Tik,” Rio menangkap lenganku. Aku menepis tangan Rio dengan kasar. “Jangan bicara atau datang padaku untuk sementara waktu.” “Jika tidak, aku akan menyerah dan menunggu waktu hingga kita berdua mati.” ancamku. Rio terdiam, kaget mendengar pernyataanku. Aku menghela napas lalu pergi meninggalkan Rio yang hanya bisa berdiri mematung. Dia tidak akan bisa lagi membodohiku. Aku sungguh menyesal mendatanginya saat itu. Ah, Tika oon. Apa yang kamu lakukan? Bagaimana bisa membantu orang yang berniat membunuhmu? Apakah ini sebabnya aku tidak bisa membaca ingatan apapun tentang Rio? Apakah itu terjadi karena klienku adalah seseeorang yang berniat membunuh helpernya sendiri? Ah, apa yang harus aku lakukan setelah ini? *** Ini adalah hari ketiga, itu artinya aku masih punya waktu lima hari lagi dengan hari ini sebelum akhirnya aku, Rio atau kami berdua akan mati. Kenyataan yang aku hadapi kemarin sungguh membuat shock dan tidak bisa berpikir lagi. Otakku buntu dan sekarang aku mencurigai Rio sebagai pembunuh dari dirinya sendiri. Jika ini hanya sebuah sabotase untuk membunuhku maka semua kejanggalan ini menjadi mungkin. “Tik,” Aku menoleh dan melihat Adam yang langsung menghampiriku. Sahabatku itu membuka headphone milikku dan duduk di depanku. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanyanya penasaran. Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak ada,” “Jangan bohong! Kamu memakai headphone tetapi masih bisa mendengar suaraku. Itu artinya kamu sedang tidak fokus,” sanggah Adam membuatku hanya mampu mengangkat kedua bahuku. “Bukan hal penting,” sahutku singkat. Adam mengangkat sebelah alisnya. “Apa kamu bertengkar dengan si cupu?” tanya Adam mencoba menebak. Aku hanya tersenyum kecut menanggapi tebakan Adam yang tepat sasaran. “Boleh aku menanyakan sesuatu padamu, Dam?” kataku balik nanya. Adam menganggukkan kepalanya. “Apapun, akan aku jawab.” jawab Adam dengan tersenyum manis. “Jika kamu diharuskan menolong seseorang dan ternyata orang yang kamu tolong adalah orang yang ingin membunuhmu, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku dengan memasang wajah serius. Adam terdiam, berpikir sejenak. “Jadi tidak ada pilihan? Aku harus menolongnya?” tanya Adam memastikan. Aku mengangguk. “Akan aku lanjutkan hingga akhir,” jawab Adam santai. “Eh? Meski orang itu berniat membunuhmu?” tanyaku heran. Adam mengangguk pasti. “Kenapa?” tanyaku penasaran. “Karena dia orang yang menyedihkan.” jawab Adam sembari tersenyum lebar. Aku masih terdiam, bingung dengan jawaban yang Adam berikan. “Jika aku harus ditolong oleh orang yang ingin kubunuh, itu sangat menyedihkan, Tika. Tidak ada hal yang lebih memalukan daripada itu.” Adam menjelaskan. “Jadi, apa kamu mengalami hal itu?” tanya Adam lagi. Aku menelan ludah saat Adam menatapku lekat seolah dia tahu kalau aku sedang mengalami hal seperti yang aku tanyakan. Aku menggelengkan kepalaku cepat. “Tidak,” sanggahku. “Lalu, kenapa kamu menanyakan hal itu?” tanya Adam penasaran. Aku hanya memberikan senyuman sebagai jawabanku. “Hei, Tik. Jangan sembunyikan apapun dariku. Kita ini sahabat bukan?” tanya Adam dengan nada yang masih belum puas dengan jawabanku. Lagi-lagi, aku hanya memberikan Adam senyuman. “Oh iya, tumben pagi ini kamu tidak berangkat dengan pacarmu. Apa kalian sudah putus?” tanya Adam. Aku menggeleng. “Kalian bertengkar?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Kenapa?” tanya Adam lagi. Aku hanya menghela napas panjang. “Entahlah,” jawabku sekenanya. Adam mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kamu aneh sekali, bertengkar tetapi tidak tahu kenapa,” kata Adam sembari geleng-geleng kepala. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi reaksi Adam. “Oh iya, pulang nanti kamu mau pergi denganku?” ajak Adam. “Kemana?” tanyaku penasaran. “Menemui salah satu pacarku,” jawab Adam sembari melempar senyum. “Hah? Kamu sudah gila? Bagaimana bisa kamu mengajakku untuk menemui pacarmu? Kamu ingin kami berkelahi?” tanyaku dengan kesal. Adam tertawa terbahak. “Bukan begitu maksudku, Tik. Dia sedikit berbeda.” jawab Adam membantah. “Berbeda? Maksudmu bagaimana?” tanyaku tidak mengerti. “Dia seolah bisa mengetahui apapun yang aku lakukan, bukankah itu aneh? Aku rasa dia sangat misterius, mirip denganmu.” kata Adam menjelaskan. “Jadi menurutmu aku misterius?” tanyaku. Adam mengangguk. “Jadi, siapa namanya?” tanyaku penasaran. “Erika,” Deg! Tanpa sadar aku langsung berdiri dari dudukku saat nama itu disebut! “Erika? Cewek berambut pendek yang menyebut pacarnya sebagai ‘anjing’?” tanyaku memastikan dugaanku. Adam mengangguk mengiyakan. “Kamu pacaran dengannya? Sejak kapan?” tanyaku kaget. “Sudah sebulan, Tik. Bukankah aku sudah pernah cerita?” Adam balik bertanya. Sahabatku itu memandangku dengan bingung. “Apa dia musuhmu?” tanya Adam ragu. Aku terdiam. Musuh? Ah, aku bahkan tidak tahu harus menilai Erika itu sebagai apa. Apakah dia jahat atau baik. Aku tidak tahu sama sekali. Dia adalah mantan pacar Rio dan ajaibnya, sekarang dia adalah pacar dari Adam. Ini sungguh aneh dan menyebalkan. “Oi, Tik! Tika!” panggil Adam. Aku tersentak kaget dan segera menyadarkan diriku dari pemikiranku yang rumit. “Tik,” panggil Adam lagi. Aku duduk kembali ke tempat dudukku. “Kamu dan Erika bermusuhan?” tanyanya sekali lagi. Aku menggelengkan kepalaku. “Aku baru bertemu dia kemarin,” jawabku. “Lalu kenapa kamu kaget begitu?” tanya Adam lagi. “Dia mantan kekasih Rio,” jawabku. Adam melongo, kaget dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kamu serius, Tik?” tanya Adam memastikan. Aku mengangguk pasti. Adam menepuk jidatnya lalu mulai mengacak-acak rambutnya kesal. “Bagaimana bisa aku pacaran dengan mantan si cupu? Arrghh.” Adam berteriak kesal. Aku hanya diam saja melihat kelakuan Adam yang mulai lebay dan tidak karuan itu. “Oh ya, kamu bilang dia misterius, memangnya ada kejadian apa sehingga kamu bisa menyebutnya bisa seolah tahu apa yang kau lakukan, Dam?” tanyaku mencoba menggali informasi tentang Erika melalui Adam. “Kami pernah pergi berkencan dan dia menemukan bekas darah di bajuku. Cewek normal akan bertanya, ‘itu darah apa?’, iya’kan?” Adam melihatku, seolah meminta persetujuan. Aku mengangguk. “Tetapi dia tidak bertanya, dia hanya meletakkan tangannya di mataku dan senyum-senyum. Setelah itu dia bilang kalau aku tidak boleh lagi sembarangan membantu orang yang sedang kecelakaan di jalan.” Adam melanjutkan. “Padahal aku belum cerita padanya kalau aku baru saja menolong orang yang kecelakaan. Mungkin saat itu darahnya tidak sengaja menempel di bajuku. Itu menyeramkan bukan? Dia seolah tahu apa yang aku lakukan.” Adam bergidik ngeri. Aku membisu. Jadi, Erika itu bisa membaca masa lalu seseorang tanpa harus menjadi seorang helper! sepertiku? Lalu, dia siapa? “Lalu, apa ada kejadian lain yang mirip? Mungkin tadi itu hanya kebetulan saja dia begitu.” tanyaku mencoba untuk memastikan dugaanku. “Awalnya, aku juga berpikir begitu, Tik. Tetapi dia bisa tahu masa kecilku yang bahkan tidak pernah aku ceritakan pada siapapun. Bukankah itu sangat aneh dan tidak normal?” jawab Adam dengan wajah serius. Aku menggaruk-garuk kepalaku. Ah, jadi dia itu pembaca ingatan. Pantas saja jika begitu. Mungkinkah, dia seorang helper!? Jika memang begitu, seharusnya dia hanya bisa membaca ingatan kliennya. Ah, Erika, siapa kau sebenarnya? “Tik,” panggil Adam. Aku menoleh kepadanya. “Apa?” Adam menunjuk ke pintu kelasku. Aku pun menoleh ke arah yang dia tunjuk. Seorang cowok berkacamata telah berdiri menungguku dengan wajah sedih. “Bicaralah dengannya!” bujuk Adam. Aku menarik napas panjang. “Jangan dipendam, masalah harus diselesaikan!” kata Adam menasehati. Aku memandang Rio dengan ragu. Kalaupun harus diselesaikan dan dibicarakan, aku juga tidak tahu darimana harus memulainya dan bagaimana caranya, Dam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD