9

3194 Words
Aku menghela napas beberapa kali dan memandang malas pada cowok di depanku yang hanya asyik membaca buku. Cowok berkacamata yang merupakan pelayan ini, sekarang sudah tidak berguna lagi. Pasalnya, dia pass di klienku berikutnya dan itu menyebalkan. Ditambah dia mengatakan padaku bahwa klienku berikutnya akan sangat merepotkan. "Tik," Aku menoleh pada cowok bernama Rio itu. "Apa?" tanyaku sambil manyun. "Dengarkan baik-baik! Cari klien yang mudah!" kata Rio mengingatkan. Aku mengerucutkan bibirku, kesal. "Iya, iya," sahutku malas. "Jangan malas! Ini menyangkut hidup kita berdua!" Rio mengingatkan lagi. "Iya, iya, aku tahu bawel!" Rio menyipitkan matanya. "Awas kalau kamu ceroboh! Aku tidak mau mati konyol hanya karena kamu mati!" imbuhnya lagi. "Tidak bisakah kamu diam? Aku sedang konsentrasi mendengar suara kematian calon klienku!" dengusku kesal. Rio membuang muka. "Tuan tidak kompeten!" ejeknya. "Apa sih, dasar pelayan tidak tahu diri!" balasku. Rio menghela napas ringan lalu melanjutkan kegiatannya. "Kamu sedang apa?" tanyaku penasaran. "Membaca buku," jawab Rio singkat. "Aku tahu, maksudku buku apa yang sedang kamu baca?" tanyaku lagi. "Hm," Rio tampak berpikir. Cowok berkacamata itu melihatku lalu tersenyum. "Rahasia," pungkasnya membuatku langsung manyun. "Nyebelin!" Rio tertawa. "Kepo," cibirnya. "Biarin," "Konsentrasi! Jika sampai dua hari kamu tidak menemukan klien, kamu akan mati. Jika kamu mati, aku juga akan mati!" Rio lagi mengingatkanku pada kenyataan yang menyebalkan. Aku menghela napas panjang sekali lagi. Namaku Maretha Dwi Sartika, 16 tahun. Aku seorang helper! dimana aku berkewajiban untuk membantu mengabulkan permintaan terakhir orang yang akan mati. Dalam menjalankan tugasku, aku punya 3 kekuatan penolong dan 1 kekuatan terlarang. Singkatnya, aku akan mati jika tidak menjalankan tugasku. Jadi bayaran untuk tugasku bukanlah uang tetapi nyawaku. Ada banyak hal yang terjadi sehingga kini harga untuk tugasku tidak hanya untuk nyawaku saja. Akan tetapi untuk Rio juga, kaum lucifer yang kini turun tahta menjadi salver. "Bagaimana? Kamu mendapatkannya?" tanya Rio. Aku menggeleng. "Kamu bercanda Tika? Ada banyak orang yang mati tiap hari, bagaimana bisa kamu tidak menemukan klien?" tanya Rio marah. Aku menggaruk-garuk kepalaku. "Memang ada banyak orang yang mati tetapi tidak semua dari mereka yang meminta pertolonganku. Lagipula, aku juga harus memilih apakah dia layak dibantu atau tidak," ujarku menjelaskan. "Apa kamu akan mati jika membantu penjahat?" tanya Rio. Aku menggeleng. "Lalu kenapa harus kamu pastikan dulu dia orang baik? Bukankah yang paling penting itu orang yang kamu tolong itu selamat?" tanya Rio lagi. Aku hanya tersenyum menanggapi omelannya. "Kalau dia memintaku untuk menjadikannya presiden sebelum mati, matilah kita!" ucapku. Rio terdiam. "Benar juga sih," "Lagipula klien yang baik itu bernilai lebih untukku," kataku menimpali. "Apa lebihnya?" tanya Rio penasaran. "Itu akan menjadi catatan yang bagus yang bisa kuteruskan ke generasi helper! selanjutnya!" jawabku. Rio terkekeh. "Kamu bercanda, Tik?" "Kenapa?" tanyaku BT. "Kamu adalah generasi helper! terakhir, Tik! Kita harus menghadapi Queen," kata Rio dengan wajah serius. Aku menghela napas kesal. "Menyebalkan," dengusku kesal. Aku benar-benar lupa mengenai itu. Queen, apakah kamu menyerah? Tidak ada tanda-tanda pergerakannya. Ini sungguh aneh. "Oi, Tik!" Aku tersentak kaget dan kulihat Adam sedang berdiri di belakang Rio. "Lho?" Adam tersenyum. Rio bangkit dari duduknya dan memandangku. "Aku ada urusan, jika kamu butuh bantuan, minta saja bantuanya!" ujar Rio lalu mulai berjalan pergi. "Kamu datang karena dipanggil Rio?" tanyaku memastikan pertanyaan yang menggantung di otakku langsung. Adam tidak menjawab, hanya duduk di kursi yang tadi di tempati Rio. "Tidak, aku datang karena aku ingin datang!" bantah Adam. "Benarkah?" tanyaku tidak percaya. Adam mengangguk. "Lagipula Tika, ada yang ingin kuberitahukan," ujar Adam dengan wajah serius. "Apa?" tanyaku mulai serius. "Erika pindah sekolah," Aku tertegun. "Hah?" Adam tersenyum. "Rambutnya hijau panjang, bukankah itu aneh?" tanya Adam lagi. Aku terdiam. "Rambut pendek manusia tidak akan tumbuh secepat itu bukan?" tanya Adam tidak percaya. Aku mengangguk. "Bukankah dia mantan pacarmu? Apa tidak ada yang aneh padanya saat kalian pacaran?" tanyaku. Ada menggeleng. "Dia itu terlalu menurut dan lemah," jawab Adam. "Dia hanya seperti wadah kosong yang siap menampung apapun yang diberikan padanya," imbuh Adam. "Apa menurutmu dia itu berbahaya?" tanya Adam mulai bimbang. Aku mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, berbahaya atau tidak, jika dia berniat membunuh kita, kita harus melenyapkannya!" jawabku tegas. Adam berdecak kesal. "Sungguh sadisnya kamu, Tika!" ucapnya. Aku tertawa mendengar ocehan Adam. "Kamu lebih s***s, bukankah kamu juga berniat membunuhku?" Adam mengerucutkan bibirnya. "Tapi, pada akhirnya kita malah bekerjasama bukan?" Aku tersenyum geli. "Iya, itu karena jika aku mati, kamu juga akan mati bukan? Sebuah kerjasama yang saling menguntungkan," sindirku. Adam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Sudahlah, jangan ungkit masa lalu," ujar Adam malu-malu. Tolong. Tolong aku. "Oi, Tik!" Aku tertegun. "Dam, diamlah!" ucapku. "Klien?" tebak Adam. Aku mengangguk. Adam terdiam dan aku mulai berkonsentrasi pada suara pertolongan yang kudengar. Aku pejamkan mataku dan mulai mengaktifkan kemampuan reader-ku. "Aneh," "Apanya?" tanya Adam. "Dia tidak terbaca," jawabku. "Heh? Kalau begitu, jangan datang!" cegah Adam. Aku terpaku diam, bimbang. "Tapi, ini akan sangat menarik!" ungkapku. "Kenapa?" tanya Adam. Aku hanya tersenyum. "Ikutlah!" ajakku lalu mulai berjalan pergi. Adam mengikutiku. Aku dan Adam berjalan menuju sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari tempat kami duduk tadi. Kami menaiki lift untuk ke lantai enam. Lift terbuka dan kami mulai berjalan menuju sebuah ruangan. "Oi, Tik! Pilih klien yang mudah," kata Adam mengingatkan. "Iya, diamlah bodoh!" ucapku kesal. Adam mendecih. "Aku hanya tidak ingin direpotkan olehmu," Aku mengangguk. Aku hentikan langkahku di depan sebuah ruangan dimana seorang lelaki tengah tertunduk lemas di depannya. "Tik, dia klienmu?" tanya Adam. "Bukan," "Lalu kenapa kamu berhenti?" tanya Adam. "Klienku yang ada di dalam kamar itu!" tunjukku pada ruangan yang terletak tepat dimana lelaki itu sedang tertunduk lesu. "Haruskah aku mengalihkan perhatiannya agar kamu bisa masuk?" tanya Adam. "Tidak usah," "Kenapa?" "Karena klienku, sudah berada di depanku!" Adam mengenyitkan keningnya. "Mana? Tidak ada orang lain selain lelaki itu!" Aku menelan ludahku. "Dia setengah manusia," Adam bergidik ngeri. "Ma-maksudmu?" "Dia sudah keluar dari tubuhnya," Aku tatap sosok samar di depanku. Dia tersenyum ramah. Kuulurkan tanganku padanya. "Hei, siapa namamu?" tanyaku. Dia menerima uluran tanganku. Dingin. "Aku Ve," jawabnya. "Jadi, apa permintaan terakhirmu?" Ve tersenyum. "Tolonglah carikan seseorang untukku!” Aku tersenyum penuh arti. "Baiklah," Ve membalas senyumanku lalu menghilang sejenak setelah menjelaskan sedikit tentang siapa yang dia cari. "Tik, Oi, Tika!" Aku menoleh pada Adam yang sudah bawel sejak tadi. "Kamu bicara dengan siapa?" tanya Adam penasaran. "Klienku," jawabku. "Tapi, tidak ada siapa-siapa di sini," kata Adam sedikit gugup. Sepertinya dia cukup ketakutan. "Tenang saja, klienku bukan seperti apa yang kamu duga, Dam!" kataku mencoba menenangkan Adam. "Kamu menolong manusia yang mau mati bukan? Kamu bukan penolong kaum hantu bukan?" tanya Adam mulai panik. Aku mendecak kesal. "Dam, aku ini helper bukan cenayang," sanggahku tegas. Adam menarik napas lega. "Lagipula kamu itu selalu mengatakan kalau kaum watcher itu lebih tinggi derajatnya dari kaumku bukan? Lalu kenapa kamu ketakutan begitu?" sindirku. Adam mendehem lalu memalingkan wajahnya. "Aku tidak takut, siapa yang takut?" elak Adam. "Ckckckck, sudahlah jangan mengelak! Bantulah aku sekarang!" ujarku menyudahi perdebatan tidak bergunaku dengan Adam. "Tidak mau!" ucap Adam menolak. "Kenapa?" tanyaku. "Klienmu tidak jelas," jawab Adam kesal. Aku menghembuskan napas kasar. "Tubuhnya masih hidup, tapi ruhnya sudah mati!" jelasku. "Maksudmu dia tengah berada di antara garis hidup dan mati?" tanya Adam. Aku mengangguk mengiyakan. "Dia seharusnya sudah mati sejak setahun yang lalu," kataku menjelaskan. "Heh? Lalu kenapa dia masih hidup?" tanya Adam heran, sepertinya dia mulai tertarik. "Untuk tahu mengenai itu, kita harus mencarikan seseorang untuknya," jawabku. "Siapa?" tanya Adam lagi. Aku mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, tetapi orang itu satu-satunya yang dapat memutus ikatan klienku dengan dunia ini," Adam menautkan alisnya. "Kamu tidak bertanya siapa nama orang yang harus kamu cari?" tanya Adam. Aku menggeleng. "Ckck, Rio sudah mengingatkanmu agar tidak mencari klien yang ribet, kamu malah mencari klien yang abstrak!" dengus Adam kesal. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Adam. Karena aku tahu, meski kesal dia akan tetap membantuku. "Lalu, kita memulai pencarian kita darimana?" tanya Adam. Aku menunjuk lelaki yang sedang menangis di depan pintu kamar klienku. "Dia?" tanya Adam. Aku mengangguk. "Haruskah kugunakan kekuatanku?" tanya Adam. Aku menggeleng. "Tidak usah, aku bisa mengurusnya sendiri!" tolakku. Adam mendecih. "Aku bisa mengurusnya sendiri, giliran bagian yang susah dan merepotkan pasti kamu serahkan padaku, menyebalkan!" gerutu Adam. "Diamlah! Kita harus berakting!" tegurku. Adam diam dan mulai bersiap. "Anu," aku mulai mencoba membuka pembicaraan dengan lelaki yang tengah tertunduk lemas itu. Lelaki itu agak kaget tetapi seketika mendongakkan kepalanya. Dia segera menyeka airmatanya saat melihatku dan Adam yang sedang berdiri di depannya. "A-ada apa?" tanyanya terbata. "Apakah ini ruangan kak Ve," jawabku. Lelaki itu mengangguk mengiyakan. "Ah, iya. Kalian siapa?" tanyanya bingung. "Ah, saya Tika. Ini teman saya, Adam!" kataku memperkenalkan diriku dan Adam. "Ah, Saya Fariz," kata lelaki itu juga memperkenalkan diri. "Kak Fariz, salam kenal ya!" aku mengulurkan tanganku. "Ah, iya! Salam kenal juga, Tika!" sahut kak Fariz sembari menerima uluran tanganku. Reader. Aku mulai mengaktifkan kemampuan readerku. Setelah aku mendapatkan informasi yang kumau, aku lepaskan tangannya. "Kalian mau menjenguk Ve?" tanyanya. Aku mengangguk. "Boleh kami masuk?" tanyaku memohon ijin. Kak Fariz mengangguk. "Masuklah!" Aku, Adam dan kak Fariz pun masuk ke sebuah ruangan. Disana, di ranjang putih itu, terbaring sesosok tubuh dengan banyak selang kehidupan melekat ditubuhnya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya kurus kering dan matanya terpejam. Dia bagaikan mayat yang dipaksa hidup. "Sudah berapa lama kak Ve begini?" tanyaku memulai percakapan. "Sudah setahun terakhir," jawab kak Fariz. "Kalian bertunangan sudah berapa lama?" Kak Fariz mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat. "Dua tahun," jawabnya sesaat setelah berpikir. "Kakak mencintainya?" tanyaku lagi. Kak Fariz mengangguk. "Tentu saja," jawabnya tegas. "Ngomong-ngomong, aku belum pernah mengenalmu. Kamu siapanya Ve?" tanya kak Fariz. "Ah, saya saudara jauhnya!" "Saudara? Jangan bercanda, Ve anak yatim yang besar di panti-," "Panti Asuhan Matahari. Sejak kecil tidak suka brokoli, penyendiri dan lemah!" potongku. Kak Fariz tertegun. "Saya memang bukan saudara kandungnya, tetapi dia sudah saya anggap saudara," jelasku. "Sejak dia datang meminta bantuan saya, dia adalah saudara yang harus saya utamakan!" Kak Fariz terdiam. "Jadi apa kamu bersedia untuk mendonorkan jantungmu untuknya agar dia bisa hidup lagi?" tanya kak Fariz. Aku tersenyum. "Dia tetap akan mati meski saya donorkan jantung saya, kak!" "Hah?" Aku tersenyum. "Lagipula, jika kakak memang benar mencintainya. Kenapa tidak kakak saja yang mendonorkan jantung kakak?" tanyaku setengah menyindir. "Jantungku tidak cocok untuknya!" Aku tertawa mendengar jawaban kak Fariz. "Jantung kakak memiliki kemungkinan 50:50!" Kak Fariz menganga, terkejut bukan main. "Ka-kamu darimana kamu tahu?" tanya kak Fariz bingung. "Kak, kak Ve tidak mencintai kakak. kakak tahu itu makanya tidak mau mendonorkan jantung kakak, benar bukan? Karena kakak tidak mau kalau kak Ve hidup dengan orang lain yang dicintainya. Kakak lebih memilih memiliki raganya karena tahu hatinya bukan untuk kakak lagi!" jelasku panjang lebar. "Dasar anak kecil tidak tahu diri! Pergi kalian darisini!" usir kak Fariz. Aku menoleh pada Adam. "Giliranmu!" suruhku. Adam mengangguk mengerti. "Kamu mengacau dan aku yang menyelesaikan! Menyebalkan!" gerutu Adam. "Cepatlah! Sebelum dia kumat!" "Iya, iya!" Adam berjalan mendekati kak Fariz. Meski sedikit terjadi adu fisik, Adam berhasil menaklukan kak Fariz dan menggunakan kemampuan watcher!nya. Kak Fariz pun jatuh pingsan. "Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Adam. "Kita harus ke rumah kak Fariz," jawabku. "Kenapa?" tanya Adam lagi. "Karena benda yang mengarahkan kita pada seseorang yang kak Ve cari ada disana!" "Bagaimana kita ke rumahnya?" tanya Adam lagi. "Aku sudah membaca pikirannya, aku tahu alamat rumahnya!" jawabku. "Tapi," aku terdiam. "Ada apa?" tanya Adam. "Orang ini," aku menghela napas. "Kenapa?" tanya Adam mulai cemas. "Sakit," jawabku. "Hah?" "Apa kamu tidak menyadarinya, Dam?" jawabku balik tanya. "Soal apa?" Adam makin bingung. "Kak Fariz ini sakit," "Iya, sakit apa? Aku tidak menangkap apapun. Aku hanya menghapus ingatannya soal kita barusan!" ucap Adam. Aku mendecak kesal. "Kamu beneran oon," ejekku. "Hah? Katakan saja jangan berteka-teki, kamu pikir kita sedang dalam situasi untuk bermain teka-teki huh?" Adam mengomel. "Iya, iya, bawel!" "Jadi dia kenapa?" tanya Adam lagi. "Dia menderita DID!" Adam menganga. "Dengan 5 kepribadian,” Adam terbatuk. "Sumpah, Tik?" Aku mengangguk. "Iya, dan orang yang membuat orang yang paling dia cintai begini adalah dirinya sendiri!" Aku dan Adam terpaku sambil menatap tubuh tanpa ruh yang terbujur kaku di depan kami. Tubuh kosong itu dipaksa hidup dan tidak ada yang lebih menyedihkan daripada itu. Rio, ramalanmu benar. Klienku kali ini sungguh akan sangat merepotkan. Karena dia sungguh menyedihkan.   *** Aku dan Adam sudah tiba di kediaman kak Fariz. Namun, kami hanya mampu menatap lekat pada pintu gerbang rumahnya yang besar bak istana. Aku dan Adam hanya berdiri bingung macam itik yang kehilangan arah dan tujuan karena induknya ngumpet. Seorang satpam keluar dan menemui kami. "Cari siapa, Dek?" tanya satpam itu ramah. Aku dan Adam terdiam. Aku melirik Adam dan mengangguk. Adam hanya menghela napas seolah telah paham dengan apa yang harus dilakukan tanpa perlu aku katakan. "Pak," panggil Adam. Satpam itu hanya melongo sebentar lalu menundukkan pandangannya setelah Adam kembali menggunakan kekuatannya pada satpam itu. "Silahkan masuk, Den Adam!" kata satpam itu ramah. Adam hanya mengangguk. "Buka pintunya dan antar saya ke kamar saya!" perintah Adam. Satpam itu mengangguk. Dia membuka pintu gerbang lalu mengantar kami ke dalam rumah yang bak istana itu. Saat di dalam, aku dan Adam tanpa sadar ternganga. Rumahnya benar-benar mengagumkan. Kak Fariz ternyata beneran anak orang kaya. Mungkin aku harus menjual rumah, sawah dan semua harta benda peninggalan ayah untuk bisa memiliki rumah seperti ini. "Tik!" panggil Adam. "Ya?" sahutku. "Lihat!" kata Adam sambil menunjuk ke sebuah rumah. Aku pun menoleh pada apa yang Adam tunjuk dan melihat seorang pelayan yang keluar dari dalam rumah. "Tunggu di sini!" perintah Adam. "Oke, dicopy!" jawabku. "Giliran yang ribet pasti aku, kalau kamu bukan kaum helper! pasti tidak akan kubantu!" gerutu Adam sambil mulai berjalan pergi.   Aku hanya tertawa geli mendengar gerutuan Adam. Terkadang kaum watcher! sepertinya bisa menjadi hiburan gratis di hidupku yang gersang dan penuh dengan tantangan nyawa yang menyebalkan. Entah apa yang Adam lakukan, sedetik kemudian Adam keluar dan mengajakku masuk ke sebuah kamar. "Tik!" kata Adam sambil menunjuk jejeran foto yang begitu mencengangkan. "Huwa," ujarku kagum tanpa sadar. "Apanya yang huwa hah? Kita repot jadinya!" dengus Adam kesal. Aku hanya tertawa geli melihat Adam manyun. "Mereka semua kak Fariz," jelasku. Adam tambah manyun. "Ya, aku sudah tahu itu tanpa kamu jelaskan. Masalahnya, bagaimana ini jadi petunjuk?" tanya Adam. Aku terkekeh mendengar pernyataan Adam. "Kita tidak harus melawan kak Fariz, Adam!" tegasku. Adam menautkan alisnya. "Maksudmu?" tanya Adam tidak mengerti. "Sudah kubilang bukan kalau kasus ini merepotkan? Tapi bukan karena kak Fariz yang memiliki lima kepribadian," sanggahku. "Lalu apa yang membuat kasus ini merepotkan?" tanya Adam semakin bingung. "Orang yang kita cari," jawabku. "Siapa?" tanya Adam lagi, penasaran. "Cinta pertama kak Ve saat kecil," jawabku. Adam menepuk jidatnya. "Jangan bilang kalau cinta pertamanya itu sudah mati?" tebak Adam menduga-duga. Aku menggeleng. "Bukan!" bantahku. "Jadi cinta pertamanya masih hidup?" tanya Adam memastikan. Aku mengangguk mengiyakan. "Lalu, masalahnya apa?" tanya Adam. Aku nyengir kaku. "Ada dua yang merepotkan!" jawabku. Adam mengernyitkan alisnya lagi. "Apa? Cepat katakan! Aku sudah penasaran!" desak Adam tidak sabaran. Aku senyum kecil. "Pertama, aku tidak tahu wajah cinta pertama kak Ve yang sekarang. Karena yang dia tunjukkan adalah kenangan mereka saat kecil saja!" Adam mendecih kesal. "Terus yang kedua apa?" tanya Adam. "Kenangan terakhirnya, lokasinya di luar kota!" Adam ngeflat. "Luar kota? Dimana?" tanya Adam. Aku senyum kaku. "Surabaya!" jawabku. Adam langsung stroke. "Surabaya? Kita harus naik apa, Tik? Batas waktumu itu dua hari kan?" tanya Adam memastikan. Aku mengangguk. "Batas limitnya 2 hari, tetapi di beberapa kasus tertentu, aku bisa memiliki batas waktu sampai 7 hari," jelasku. "Kasus tertentu?" tanya Adam bingung. "Yang berhubungan dengan alasan kematian atau balas dendam," jawabku menjelaskan. Adam mengangguk-nganggukkan kepalanya seolah dia mengerti. "Kamu mengerti, Dam?" tanyaku ragu. Adam senyum. "Tidak," Aku manyun. "Bodo amatlah! Susah dijelaskan!" pungkasku. "Iya, iya, aku juga tidak memintamu menjelaskannya padaku!" elak Adam. "Baguslah," sahutku. "Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Adam. Aku berpikir sejenak. "Aku rasa, kita harus meminta bantuannya!" jawabku. "Siapa?" tanya Adam. Aku tersenyum licik. "Ah! Si cupu?" tebak Adam. Aku mengangguk. "Untuk apa kita padanya? Bukannya si cupu sudah bilang dia pass di kasusmu kali ini?" tanya Adam heran. Aku menghela napas ringan. "Ya, dia pass karena kekuatannya tidak bisa digunakan sementara. Tapi, ada hal yang bisa dia lakukan tanpa kekuatan," jawabku. "Apa?" tanya Adam tambah penasaran. "Uang," jawabku. Adam terkejut sebentar lalu tertawa keras. "Maksudmu kamu mau dia membelikan kita tiket pesawat?" tebak Adam. Aku mengangguk. "Iya, aku ini kere. Atau kamu bersedia menyumbangkan sebagian uangmu untukku, Dam?" tanyaku. Adam terkekeh. "Tidak usah berharap, lebih baik mati daripada membelikanmu tiket!" bantah Adam tegas. Aku mengerucutkan bibirku, kesal. "Yasudah, mati saja kamu!" umpatku. "Kalau aku mati, kamu mati lebih dulu Tik!" sahut Adam. "Oh iya," "Dasar! Cepatlah kamu telpon si cupu. Kita tidak punya banyak waktu!" pinta Adam. "Iya, iya," "Tapi Tik, ada satu masalah lagi selain tiket!" ujar Adam serius. "Apa?" tanyaku penasaran. "Kita hanya siswa SMA," jawab Adam. "Heh? Lalu kenapa? Anak kecil saja boleh naik pesawat!" tanyaku heran. Adam menghela napas panjang. "Iya, boleh! Tapi kita tetap saja harus diawasi oleh orang dewasa bukan?" tanya Adam balik. Aku terdiam sebentar, berpikir cepat agar kami bisa keluar dari krisis ini. "Ah!" pekikku saat lampu ideku menyala. "Kamu mendapatkan ide, Tik?" tanya Adam. Aku mengangguk.   "Iya, ayo kita ke Surabaya!" ajakku dengan yakin. Adam tersenyum senang. "Oke, ayo!!" katanya antusias. Kami pun tersenyum senang karena berhasil lolos dari kegentingan yang mengancam nyawa kami bertiga : Aku, Rio dan Adam. Kak Ve tunggulah sebentar lagi. Kami pasti berhasil menemukannya. *** Adam yang duduk di sebelah kananku menatapku dengan wajah BT, demikian pula lelaki yang duduk di sebelah kiriku. Mereka berdua saling menatap penuh kebencian. Kami sudah di dalam pesawat, sebentar lagi pesawat akan lepas landas tetapi sejak bertemu dua lelaki di sampingku itu selalu memasang wajah yang cemberut parah. "Dam," panggilku. Adam melirikku. "Apa?" sahutnya. "Kok cemberut sih?" tanyaku. Adam manyun. "Udah tahu masih nanya, tidak peka!" dengusnya kesal. "Tapi hanya dia satu-satunya yang bisa kuajak, Dam!" kataku beralasan. Adam mendecih kesal. "Najis amat satu pesawat sama dia," umpat Adam. "Kamu pikir aku senang satu pesawat denganmu huh? Bukan cuma najis, haram jadah!" umpat kak Deden tidak mau kalah. "Bodo!" sahut Adam. "Bodo amat juga!" balas kak Deden. "Udah, udah! Kalian berdua harus bekerja sama! Jika aku mati, kalian juga akan mati!" Kak Deden mendecih tidak ikhlas. "Kenapa aku harus ikut mati setelah sebulan kamu mati, Tik? Aku bahkan bukan generasi helper tetapi malah kena kesialan helper-mu! Menyebalkan!" gerutu kak Deden. "Betul, aku juga bukan kaum helper tapi malah harus menanggung kenyataan bahwa aku akan mati saat generasi helper terakhir mati. Sungguh tidak adil!" Adam setuju dengan pernyataan kak Deden. "Sudahlah! Kalian ini membuatku pusing!" Kak Deden dan Adam cemberut. "Tugasmu kali ini apa, Tik?" tanya kak Deden. "Iya, tugasmu apa?" tanya Adam ikutan nanya. "Tugasku adalah membawa cinta pertama kak Ve padanya," jawabku. Kak Deden dan Adam terdiam, berpikir sejenak. "Lalu apa kamu sudah tahu darimana kita akan mulai mencari?" tanya kak Deden. "Jangan bilang kamu tidak tahu? Awas kamu!" ancam Adam. Aku tersenyum. "Tenang saja, aku tahu darimana harus mencari!" "Darimana?" "Panti Asuhan Bunda!" "Itu dimana?" Aku senyum kaku. "Tidak tahu," Adam dan kak Deden menghela napas panjang bersamaan lalu menyandarkan diri mereka di sandaran kursi. "Matilah kita!" bisik mereka berdua bersamaan. Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Ada yang salah dengan omonganku kenapa mereka bereaksi begitu? Ah, ini sungguh menyebalkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD