12

2644 Words
"Oi, Tik!" Aku hanya diam, menatap seorang cowok yang sudah mengganggu istirahat malamku. "Ngapain kesini malam-malam huh?" tanyaku dengan kesal. Cowok berkacamata dan tinggi mirip tiang listrik itu hanya tersenyum sinis. Dia melayangkan sedikit pukulan ringan di lengan kiriku lalu mengeluarkan setumpuk buku dari tas ranselnya. "Nih, catatan dan tugas yang harus kamu kerjakan selama kamu tidak masuk sekolah. Aku sudah berbaik hati melakukan ini dan kamu bahkan tidak berterimakasih?" omel Rio. Aku hanya menghela napas panjang. "Aku bukannya tidak mau berterima kasih, tetapi kamu tahu ini jam berapa huh?" tanyaku masih tidak ingin mengalah darinya. Rio terdiam sebentar lalu melirik jam tangannya. "Jam satu pagi, lalu kenapa?" tanya Rio dengan ekspresi bodoh yang menyebalkan. "Tidak bisakah kamu menunggu sampai matahari terbit? Aku baru tertidur beberapa jam dan masih mengantuk," omelku. Rio menggeleng cepat dengan senyuman yang menyebalkan. "Aku kangen padamu, Tika!" ujarnya lalu menarik tubuhku mendekat. Cowok berkacamata itu pun memelukku. Awalnya aku ingin mematahkan lengannya atau setidaknya menendangnya tetapi kuurungkan. Entah mengapa aku malah membalas pelukannya. "Tik," "Ya?" "Kekuatanku sudah pulih," ucapnya. "Hm, baguslah!" sahutku merasa bersyukur. "Jadi klienmu berikutnya," "Hentikan! Jangan mengatakan apapun soal klienku selanjutnya. Aku sudah cukup kerepotan dengan klienku sebelumnya," kataku memotong ucapan Rio. "Baiklah," sahut Rio sembari mempererat pelukannya. "Tik," "Ya?" "Jika kamu menikahiku, apa anak kita akan mewarisi nasib s**l kita sebagai kaum helper atau Lucifer?" Deg! Aku terpaku. "Maksudmu?" tanyaku berpura-pura tidak mengerti. Rio menghela napas panjang lalu melepas pelukannya. "Kamu mau jadi pacarku?" tanyanya. "Hah?" "Bukan sebagai status pura-pura, tetapi benar-benar pacaran!" kata Rio dengan wajah serius. Kami saling tatap dengan mulut saling terkunci dalam diam. "Rio, aku.." Rio tergelak membuatku menautkan alisku, bingung. "Mengapa kamu tertawa?" tanyaku. "Aku bercanda, Tik! Jangan masukkan dalam hati. Lagipula aku ini pelayanmu, aku tidak berhak menikahimu. Karena jika itu terjadi," Rio terdiam. "Salah satu di antara kita harus mati," kataku melanjutkan ucapan Rio. Rio tersenyum tipis. "Jadi kamu tahu soal peraturan itu?" tanya Rio sedikit merasa terkejut. Aku mengangguk. "Tentu saja, sebagai kaum yang membantu orang mati, aku juga harus tahu peraturan antara orang hidup dan mati, orang normal dan abnormal dan juga antara orang biasa dan tidak biasa bukan?" Rio mengangguk. "Baiklah, karena sudah dini hari. Sebaiknya aku pergi." kata Rio berpamitan. Aku mengangguk. "Hati-hati!" Rio tersenyum lalu mengacak-acak rambutku membuatku merasa sedikit kesal padanya. "Jangan, Rio! Rambutku jadi berantakan nih!" keluhku. Rio menghentikan gerakan tangannya dan sebagai gantinya mencubit ringan pipi kiriku. "Aku pergi, Tuan!" katanya lalu menghilang dalam sekejap. "Dasar tukang pamer!" dengusku kesal. Aku kunci pintu rumah lalu berbalik badan hendak kembali ke kamarku. Namun aku bertemu kak Deden di tangga yang menuju kamar dua. "Si Cupu?" tanya kak Deden. Aku mengangguk. "Ada apa kesini malam-malam?" tanya kak Deden penasaran. "Meminjamkan aku buku catatan," jawabku sekenanya. "Hei, Tik!" Aku menoleh pada kak Deden yang berjalan mendekatiku. "Ya?" "Jangan jatuh cinta padanya," kata kak Deden mengingatkan. "Hah?! Kakak ini ngawur! Aku tidak mungkin men," "Aku hanya mengingatkan." potong kak Deden cepat. "Aku pasti akan membunuhnya jika kamu benar-benar mencintainya," kata kak Deden menimpali. Aku terdiam, memandang kakakku yang terus berjalan mantap menuruni anak tangga dan menghilang setelah berbelok arah. Aku menghela napas panjang. Mengapa hidup serumit ini? Tidak bisakah aku hidup tanpa semua peraturan hidup dan mati begini? Atau adakah cara bagiku untuk menjadi manusia biasa bukan kaum helper lagi? *** Aku dan Rio berjalan berdampingan tanpa suara. Hari ini kami pulang berdua, si boncel mendadak pulang duluan. Dia bilang ada urusan mendadak. Aku penasaran urusan apa tetapi si boncel Adam tidak menjelaskan apapun meski kutanya. Rio pun sepertinya enggan memberitahuku walau kuperkirakan dia tahu jawabannya. "Tik," kata Rio memulai percakapan. "Ya?" sahutku. "Apa kamu tidak ingin mencari klien?" tanya Rio mengingatkan. "Aku belum mendengar apapun sejak tadi," jawabku. "Apa kekuatanmu menghilang?" tanya Rio. Aku menggeleng. "Tidak," bantahku. "Darimana kamu tahu?" tanya Rio heran. Aku menunjuk simbol di leher Rio. "Simbolmu," jawabku. "Kenapa dengan ini?" tanya Rio sembari menyentuh simbol di lehernya. "Jika kekuatanku hilang, simbol itu juga akan menghilang. Statusmu sebagai pelayanku akan menghilang karena dua hal," ucapku. "Apa saja?" tanya Rio penasaran. "Jika kekuatanku menghilang atau," aku terdiam, menghela napas sejenak. "Aku mati," kataku melanjutkan. "Jika kamu mati, bukan hanya simbol ini, aku pun akan mati," ucap Rio tegas. "Tidak," sanggahku. Rio menautkan alisnya. "Huh? Apa maksudmu?" tanya Rio heran. "Aku sudah mencari tahu dan ada pengecualian tentang peraturan itu," jawabku. "Peraturan?" tanya Rio heran. Aku mengangguk. "Iya, sebagai kaum lucifer yang kupaksa menjadi salver, maka ada pengecualian. Jika aku mati dan statusmu sebagai salver, maka kamu akan hidup tetapi sebagai manusia setelah kematianku," jawabku menjelaskan. "Untuk kaum watcher dan pembaca pikiran seperti kakakku, ada dua cara agar mereka tetap bisa hidup meskipun aku mati," kataku menambahkan. "Apa itu?" tanya Rio. "Mereka harus menjadi pelayan Queen atau menjadi orang yang membunuhku," jawabku. "Huh? Kamu bercanda Tika? Hanya orang bodoh yang memilih jalan seperti itu. Kalaupun mereka hidup, mereka tidak akan sanggup menanggung dosa karena membiarkanmu mati," sanggah Rio. "Jadi apa selamanya kamu hanya ingin jadi budakku?" tanyaku. Rio menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. "Dibandingkan kamu menggunakan kata 'b***k', aku lebih suka dianggap sebagai temanmu," jawab Rio sembari tersenyum. Kami saling memandang dan tanpa kusadari, kubalas senyuman Rio. Entah kenapa si cupu hari ini terlihat begitu tampan. Apa otakku sudah mulai kehilangan akal sehatnya? Ah, entahlah. "Teman?" tanya Rio sembari mengulurkan tangannya. "Baiklah, teman," jawabku sembari menerima uluran tangan Rio. Kami pun berjabat tangan dengan sebuah senyuman kebahagian tersungging di bibir masing-masing. Braaakakkkkkk.. Aku dan Rio terperanjat kaget. Tolong aku.. To..long.. a..ku.. "Tik," Aku mengangguk. "Klien," kataku. Kami berdua pun segera menghampiri sumber suara. Bisa kurasakan detak jantung yang perlahan melemah. Berdasarkan pengamatanku, beberapa sendi geraknya terputus, tulang rusuknya patah di beberapa bagian dan waktunya sudah tidak lama lagi. Aku dan Rio sudah tiba. Seorang gadis berusia kira-kira seumuran kami sudah tergeletak dengan bersimbah darah. Kedipan matanya lemah, gerakan tangan dan kakinya nyaris tidak ada, hanya tulang rusuk yang masih naik-turun dengan perlahan. Aku raih tangannya dan memeriksa denyut nadinya. "Bagaimana?" tanya Rio. Aku hanya menggeleng pelan. Rio mendongakkan kepalanya ke atas. Sebuah jembatan menunggu. "Tik," kata Rio sembari mencolek lenganku. "Apa?" sahutku. "Dia tidak terjatuh dari sana kan?" tanya Rio ragu sembari menunjuk jembatan yang dia lihat barusan. Aku menoleh pada apa yang dia tunjuk. "Woa," ucapku kagum. "Ini bukan waktunya untuk woa tauk!" tegur Rio. "Ah, iya," kataku merasa tidak enak. "Jadi, apa dia akan kamu jadikan klienmu?" tanya Rio. Aku terdiam beberapa saat, kuraih lengannya dan mencoba mengaktifkan kekuatan readerku. "Kosong," gumamku lirih. "Heh?" seru Rio heran. Lalu kulihat lagi dia dan sudah terdapat simbol Helper di keningnya. "Dia klienku," ucapku pelan. "Ah, baguslah. Sekarang tanyakan apa permintaannya," ungkap Rio. Aku hanya mengangguk pelan. Kenapa aku bisa menjadikannya klienku tanpa kusadari? Dan.. Mengapa aku tidak bisa mendengar permintaan terakhirnya. "Oi, Tik!" kata Rio menyadarkan aku. "Ah, iya," sahutku. "Jadi, apa permintaan terakhirmu?" tanyaku pada cewek itu. "Aku ingin minta maaf padanya," jawabnya dengan terbata. "Pada siapa?" tanyaku. "Niken," jawabnya lemah. "Siapamu?" tanyaku lagi. "Mantan sahabatku," jawabnya. "Baiklah," jawabku. Dia tersenyum getir. Dengan pandangan mata nanar dia mengeluarkan selembar foto dari saku bajunya. "Ini," katanya. Aku ambil selembar foto itu darinya. "Terimakasih," katanya lalu tangan itu terjatuh. "Heh!??" pekikku terkejut. "Oi, Tik! Dia mati kah?" kata Rio panik. "Entah, bagaimana ini?" tanyaku juga panik. Rio mengambil alih tubuh itu, memeriksa detak jantung dan napasnya. "Dia masih bernapas, Tik!" ucap Rio. "Segera sembuhkan dia, buat dia bertahan sedikit lebih lama," suruh Rio. Aku mengangguk lalu memegang kening cewek itu, mencoba sedikit menahan ruhnya agar tidak pergi meninggalkan dunia ini sebelum aku melaksanakan tugasku. Splash. Splash. Gagal. Aku coba lagi. Splash. Splash. Gagal lagi. "Oi, Tik!" pekik Rio. Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Maaf, aku tidak bisa melakukannya," kataku. "Huh?" seru Rio kaget. "Jangan bercanda, Tika! Ini darurat!" desak Rio. "Aku tidak bisa! Aku juga tidak tahu, kekuatanku tidak bisa diaktifkan!" keluhku. "Ah, s**l!" umpat Rio kesal. "Pegang dia!" kata Rio sembari memberikan tubuh lemas itu padaku. Rio bangkit, mengambil handphonenya dan menelpon ambulans. "Aku sudah menelpon ambulans dan mereka akan tiba dalam 15-20 menit. Apa itu cukup?" tanya Rio. Aku menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, aku tidak bisa mengaktifkan dua kekuatanku, Rio!" "Apa saja?" tanya Rio. "Reader dan healer," jawabku. "Baiklah, kalau begitu!" kata Rio. Cowok cupu itu menggigit ujung jarinya hingga berdarah lalu menempelkan jari yang berdarah itu ke kening cewek itu. Kening cewek itu bercahaya sebentar lalu dia mulai bernapas normal. "Ini akan membuatnya bertahan sampai dua hari, tetapi kondisinya akan kembali pada titik semula setelah itu," kata Rio. "Terimakasih," kataku tulus. Rio hanya mengangguk kecil. "Sama-sama," sahut Rio. Tak lama kemudian ambulans datang.  Aku pun menemani cewek itu ke rumah sakit. Sementara Rio bilang dia akan menyusul. *** Author's Pov Rio meraih handphonenya setelah Tika pergi. Dia menelpon seseorang "Halo, Dam," "Ya, halo cupu. Bagaimana?" tanya Adam dari seberang sana. "Keadaan Tika semakin memburuk," jawab Rio. "Seburuk apa?" tanya Adam penasaran. "Dia tidak bisa menggunakan dua kekuatannya," jawab Rio memberikan info. "Itu parah, sepertinya kita harus menjalankan rencana itu segera," kata Adam memberikan saran. "Kamu yakin?" tanya Rio ragu. "Iya, bagaimanapun kita harus melindunginya," jawab Adam meyakinan. "Baiklah, kita harus segera melaksanakannya," kata Rio setuju. "Jadi bagaimana penyelidikanmu?" tanya Rio. "Lancar, walau aku juga penasaran apakah aku ketahuan atau tidak," ungkap Adam dengan setengah berbisik. "Berhati-hatilah!" pesan Rio. "Ih, jangan begitu. Mendengar kata itu darimu membuatku merinding," kata Adam bergidik ngeri. "Haha, jangan lebay begitu," sergah Rio. "Bagaimanpun, kita harus berhasil." ucap Rio tegas. "Iya, kita harus berhasil membunuh Queen sebelum Tika meninggal," ***   Author's POV Rio dan Adam sudah duduk berdua di sebuah kafe, mereka sudah berjanji untuk ketemu. Ada hal penting yang harus dibicarakan, hal itu terlihat dari wajah keduanya yang sudah terlihat masam bahkan sebelum mereka mengungkapkan apa yang ada di benak mereka masing-masing. "Bagaimana penyelidikanmu?" tanya Rio pada Adam. Adam-si cowok boncel itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Rio. "Seperti yang kamu katakan, Queen sudah mulai bergerak!" jawab Adam dengan wajah cemas. "Lalu bagaimana selanjutnya? Haruskah kita memberitahu Tika kalau nyawanya terancam?" tanya Rio meminta pendapat Adam. Adam mengangkat kedua bahunya. "Aku juga tidak tahu. Harusnya aku menyadarinya sejak awal tetapi aku malah tidak menyadarinya," keluh Adam, kecewa pada dirinya sendiri. "Jangan berkata begitu, aku pun juga tidak menyadarinya. Ini bukan salah siapa-siapa. Bahkan Tika pun tidak menyadarinya sama sekali bahwa kekuatannya perlahan-lahan memudar," sergah Rio mencoba menenangkan Adam.   "Semua dimulai sejak kasus Sonia bukan?" tebak Adam. Rio mengangguk. "Ya, aku merasa aneh saat dia menerima klien dari seorang janin yang bahkan baru mempunyai nyawa dengan raga yang belum sempurna," kata Rio membenarkan ucapan Adam. "Ya, selain itu aku juga tidak menyangka kalau dia sudah dua kali menggunakan kekuatan reset," Adam memberikan informasi lagi. "Heh?" Rio mengerutkan keningnya. "Kamu tahukan? Bagi kaum Helper kekuatan semacam itu akan menguras semua kekuatannya dan tentu saja taruhan untuk membayar pengulangan waktu adalah setengah dari umurnya," Adam mulai menjelaskan. "Jadi itu artinya," Rio mulai berpraduga. "Yups, kamu benar! Tika akan benar-benar meninggal saat dia mengaktifkan kemampuan resetnya untuk yang ketiga kalinya. Jika itu terjadi, kita semua akan mati!" ucap Adam menegaskan. Rio menelan ludah, jantungnya mendadak berdebar kencang. Dia mulai mengkhawatirkan hidupnya. "Tapi bukankah aku ini sudah menjadi kaum salver, apa iya aku tetap akan mati jika Tika mati? Bukankah seharusnya jika Tika mati aku akan tetap hidup walau sebagai manusia biasa?" tanya Rio. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak! Kamu tahu Tika itu adalah kaum helper terakhir, jadi segala peraturan pengecualian untuk itu tidak berlaku. Sekali Tika mati, kita semua akan mati!" sanggah Adam tegas. Rio bergidik ngeri. "Haruskah kunikahi saja dia sebelum mati, aku masih ingin tahu rasanya menikah," celetuk Rio yang membuat Adam seketika melayangkan jitakan ringan pada cowok berkacamata di depannya. "Tika itu milikku!" kata Adam protes. Rio menyipitkan matanya. "Kamu naksir dia juga?" tanya Rio. Adam menautkan alisnya. "Juga? Kamu juga naksir Tika huh? k*****t, sadar diri woy. Dia mencintaimu matilah kita!" omel Adam. Rio memanyunkan bibirnya. "Bukankah sama aja? Ujung-ujungnya kita akan mati juga," cibir Rio. "Hei, kita disini bukan membahas kematian. Kita di sini untuk mendiskusikan cara agar kita bisa bertahan hidup, Cupu!" keluh Adam. "Iya, iya," sahut Rio malas. "Jadi, bagaimana sekarang? Apa Tika sedang menangani klien baru?" tanya Adam mengalihkan topik. Rio mengangguk. "Iya, kliennya kali ini juga cukup merepotkan!" jawab Rio. Adam menghela napas panjang. "Kenapa dia selalu saja oon, bukankah kamu harus mencegahnya?  Arahkan dia pada klien yang gampang dong!" protes Adam. Rio memanyunkan bibirnya, kesal. "Daripada kamu menyuruhku, kenapa tidak kamu saja yang melakukan itu boncel?" balas Rio. "Heh Cupu kalau aku bisa, sudah kulakukan sejak dulu. Tapi kamu tahukan Tika itu susah diatur," sahut Adam memberikan pembelakaan. Rio mengangguk setuju. "Nah itu kamu tahu, makanya tidak ada yang bisa kita lakukan lagi. Tika memang sangat luar biasa merepotkan!" imbuh Rio. "Heem dan sifatnya yang begitulah yang membuat kita ingin melindunginya bukan?" kilah Adam. Rio tersenyum tipis. "Yups, sebagai cowok sejati sudah sewajarnya jika kita ingin melindungi cewek sok kuat sepertinya," kata Rio setuju. Adam terkekeh mendengar pernyataan Rio membuat cowok jangkung itu mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu tertawa boncel?" tanya Rio heran. "Bicaramu seperti kamu sudah benar-benar jatuh cinta padanya, Cupu!" jawab Adam. Rio menghela napas panjang dan lemas. "Aku memang sudah mencintainya," jawab Rio tidak menyangkal sama-sekali. Mendengar pernyataan Rio Adam hanya mampu tersenyum getir. "Cepat singkirkan perasaanmu itu! Kalau tidak, kamu akan membunuh kita semua!" kata Adam mengingatkan. Rio hanya mengangguk pelan. "Yups, tidak ada pilihan lain. Cinta itu tidak lebih berharga daripada nyawa bagi kaum seperti kita!" Rio tertunduk lemas, merenungi takdir yang sudah digariskan padanya. Adam menepuk pelan bahu Rio. "Mengenai perasaan itu kita diamkan saja dulu. Kita harus menyelamatkan Tika. Queen akan membunuhnya cepat atau lambat!" kata Adam kembali ke topik awal. "Jadi, darimana kamu tahu kalau Queen adalah dia?" tanya Adam sambil menatap lekat Rio. Rio memperbaiki letak kacamatanya sebentar lalu membalas tatapan Adam. "Bukankah sudah jelas, kalau dia sudah berada di sekitar kita tanpa kita sadari?" tanya Rio balik tanya. "Yups, dia bahkan mengirim bawahannya untuk mendekatiku. Sungguh suatu gerakan yang tidak bisa diprediksi!" kata Adam sedikit merasa kagum karena dirinya berhasil dikelabui. "Tapi, mengapa dia begitu dendam pada kaum helper, bukankah seharusnya kastanya lebih tinggi daripada Tika baik di dunia nyata ataupun dari tingkatan kaum?" tanya Adam heran. "Semua bermula dari generasi ayah Tika. Ayah Tika telah mengalahkan kaum bangsawan sehingga mempermalukan mereka. Dendam itu pun meninggi. Bisa dibilang ini adalah perang dari keturunan terakhir dua kaum," jawab Rio menjelaskan. "Lalu kenapa kita harus terlibat? Kaumku bahkan lebih tinggi derajatnya dibanding Tika," keluh Adam. "Oi, kamu lupa? Masa kejayaan kaum kita sudah tersingkir. Di kaum helper, sekutunya adalah watcher, lucifer dan unicorn. Sedangkan di kaum kingdom, sekutunya adalah copier, witcher dan angel." sanggah Rio. "Lantas apakah kekuatan dari kaum kingdom?" tanya Adam penasaran. "Bukankah kamu sudah menyelidikinya, bagaimana bisa kamu tidak tahu?" tanya Rio setengah menyindir. Adam hanya tersenyum tipis. "Aku menyelidiki siapa Queen, bukan menyelidiki kekuatan apa yang dimilikinya," kata Adam beralasan. Rio menghela napas panjang. "Jadi, apa saja kekuatannya?" tanya Adam sekali lagi. "Dia bisa memanipulasi pikiran hanya dengan menatap mata lawannya, menerbangkan benda di sekitarnya dan kekuatannya yang paling menyebalkan adalah," Rio diam sebentar membuat Adam yang penasaran semakin antusias untuk mendengar lanjutan ucapan dari Rio. "Apa? Apaan sih cupu, lama amat!" "Dia bisa memerintah kaum lain yang berhasil dia kalahkan!" jawab Rio. Adam menganga kaget. "Matilah kita!" ucap Adam frustasi. Rio terkekeh melihat ekspresi putus asa Adam. "Tenang saja, Queen juga punya kelemahan!" ungkap Rio memberikan harapan. "Apa itu?" tanya Adam mulai bersemangat kembali. "Kaum kingdom ditakdirkan terbunuh oleh kaum helper," jawab Rio. Adam membelalakkan matanya. "Huh?" "Begitulah kutukannya. Jadi karena alasan itulah sebelum Tika menjadi lebih kuat, Queen ingin membunuhnya!" jelas Rio. Adam terdiam. "Kalau begitu, kita beritahu Tika saja kebenarannya!" kata Adam memutuskan. "Baiklah!" kata Rio setuju. Kedua cowok itu pun terus berbincang tanpa menyadari sepasang mata tengah mengintai mereka berdua. "Jadi begitu rupanya," gumam sosok itu lalu pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD