Sembilan

1306 Words
POV Marni Aku menghela nafas lega saat Mas Anto kembali ke rumah. Wajahnya masih setegang tadi, dan dia masuk tanpa melihatku sama sekali. Pasti terjadi sesuatu yang menjengkelkan hatinya. Aku tahu betul, sikap Mas Anto persis ibunya, saat emosi tak bisa menyembunyikan raut wajahnya. Dia bukan orang yang bisa berpura-pura tidak apa-apa. Aku penasaran apa yang telah terjadi, apa tujuan Mas Anto menemui ibu-ibu penggosip itu. Tak terbayangkan, Mas Anto menghadapi beberapa wanita yang bermulut tajam. Jarang sekali pria mau melayani kelompok ibu ibu yang mulutnya seperti tak pernah diajari. Tanpa meminta persetujuannya, aku mengekor di belakang Mas Anto, mengikuti langkah kakinya ke kamar. Kuhirup aroma wanginya yang sudah kuhafal, dalam keadaan apa pun dia selalu segar. "Mas," sapaku. Aku berdiri di ambang pintu kamar, tak berani ikut masuk. Kondisi Mas Anto sedang tak baik, dia bisa saja mengomel seperti ibu mertua. Mas Anto melihatku sekilas, lalu kembali dengan cermin di depannya. Dia menyisir rambutnya yang masih terlihat rapi itu. Aku hanya bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada Mas Anto. "Ada apa? Kau mau menanyakan sesuatu?" Aku menimbang, mencari kalimat yang pantas kuucapkan pada Mas Anto agar dia tidak marah. Aku sebisa mungkin membiasakan diri mendengar nada tingginya. "Apa yang terjadi barusan?" Kulepaskan juga rasa penasaran di hatiku. Melihat wajah kesal Mas Anto, aku tau dia mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Aku hanya ingin tahu, itu saja. Apakah ibu-ibu itu semakin mengejek kami? Atau malah menanyakan pertanyaan yang tak tau malu kembali? "Menjumpai orang-orang yang telah mengejek dan menuduhku impoten." Aku masih belum mengerti dengan kata 'impoten' yang dikatakannya. Mungkin artinya tidak baik, sehingga wajah Mas Anto setegang itu. Dia terlihat marah. "Bu RT yang mengatakannya, Kan?" tanya Mas Anto menatapku tajam. Aku gelagapan, Bu RT bukanlah lawan yang ringan, alangkah tak bagusnya jika Mas Anto melawannya. Mas Anto pasti akan kalah bicara. "Marni! Aku ngomong sama kamu!" "Eh? I ... Iya, iya." Aku terkejut luar biasa. Bahkan jantungku langsung berdetak cepat tak karuan saking terkejutnya. "Lain kali, segala ucapan buruk tak perlu kau sampaikan padaku, jika hanya akan menyakiti hatiku." "Memangnya impoten itu apa?" tanyaku, sungguh tak bisa ditahan rasa ingin tahu itu. Aku hanya penasaran dengan istilah yang tak pernah kudengar. Mas Anto mendekat, sedikit mengendusku, syukurnya aku telah mandi dan memakai sedikit parfum. Walaupun aku seperti siput yang kembali masuk ke dalam cangkangnya saat didekati Mas Anto. "Kau sudah mandi?" Aku mengangguk. "Bagus." "Mas, apa itu ...." "Tak mampu melakukan hubungan suami istri, itu arti dari pertanyaanmu, kau mengerti?" Dia marah lagi. Aku membelalakkan mata, mukaku panas. Jadi Bu RT baru saja menghina suamiku? Pantas saja dia marah. Sejenak Mas Anto diam, sedangkan aku masih setia berdiri di ambang pintu kamar. "Oh, ya. Apa benar kau tak pernah pergi menjenguk warga, apabila terjadi kemalangan?" Pandangan Mas Anto menghunusku. Kukira perdebatan ini sudah selesai, ternyata belum. Aku memang tak pernah pergi ke mana-mana, termasuk melayat ketika ada orang meninggal dunia. Karena kuterbiasa seperti itu, tak pernah keluar dari rumah. Aku menggeleng. "Pantas mereka tak menyukaimu, Marni. Semua kata ejekan dan cemoohan itu, imbas dari perasaan tak suka mereka padamu. Kau berkurung di rumah bagaikan beruang, tak keluar bahkan untuk melayat? Itulah alasanku memberhentikan Bu Minah, agar kau bisa berpikir. Jika kehabisan bahan dapur, kau bisa pergi ke pasar." Aku tak mengerti. Kenapa aku jadi tumpuan kekesalan Mas Anto. Bukannya dia bertengkar dengan Bu RT? Tapi malah menumpahkan kekesalan padaku. "Aku tak pandai berbelanja ke pasar, mana mungkin aku ke pasar, Mas." Aku mengatakan apa yang sebenarnya. "Kau punya kaki untuk berjalan, punya otak untuk berpikir, punya uang untuk kau belanjakan. Apanya yang tak mungkin, kecuali kau tak ada niat." "Mas, tapi pasar dari sini jauh." "Jauh kalau kau berjalan kaki, ada ojek, ada angkot, kau tinggal pilih." "Mas ...." "Cukup!" Mas Anto membentak. Aku sampai kaget dibuatnya."Berhentilah menjawabku, berhentilah mengeluh, berhentilah mencari alasan, aku lelah, sangat lelah, mengurusmu aku lelah. Kau faham?" Tajam sekali perkataan Mas Anto melukaiku. Ini adalah puncak kemarahannya, tak pernah dia semarah ini sebelumnya. Sisi hatiku terluka, lebih pedih dari sebelumnya. "Bahkan setelah aku berusaha berubah sesuai yang Mas inginkan? Dua hari ini, aku mandi tiga kali sehari, gosok gigi tiga kali sehari, mencuci setiap hari, menyapu rumah setiap saat, bahkan hanya mengeluarkan dua piring, juga mencucinya langsung saat selesai menggunakannya." Aku membalikkan setiap kalimat yang pernah dikatakannya padaku. Bukannya mudah berubah dalam waktu dua hari, sejak ada Mas Anto di rumah, aku bahkan tak memiliki waktu istirahat, demi rumah yang diinginkannya. "Satu yang belum kulakukan, membotakkan kepalaku. Namun, semua perubahan yang sudah kulakukan masih membuat Mas kesal." Aku mengusap air mataku, sejak menikah dengan Mas Anto, aku bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum. "Marni," katanya dengan suara melunak. "Aku bodoh, aku bahkan tak bisa menggunakan HP yang Mas belikan untukku, karena tak pernah memiliki benda itu sebelumnya. Sekuat hati aku mematuhi semua aturan yang Mas buat. Sekarang Mas menambah aturan untukku, ke pasar sendiri." Tak pernah kukeluarkan kalimat sepanjang ini. Namun, tekanan dari Mas Anto dan mertuaku, membuat sifat memberontak mulai muncul dengan cepat. Kata ibu, pernikahan itu indah, apanya yang indah. Aku bahkan sering menangis "Mas, kau punya hati, aku juga." Aku keluar dari kamar. Mengambil dompetku. Bukankah Mas Anto ingin aku ke pasar sendiri? Kalau begitu, baik. Dia diam saja, tak berniat mencegah. Aku tak mempedulikan bisikan ibu ibu tukang gosip yang masih berada di tempatnya saat aku melintasi gang dekat warung Mbak Wati. *** Gang rumah kami berada satu kilo dari jalan raya, kutempuh dengan berjalan kaki. Setelah berada di tepi jalan raya, aku kebingunan. Aku lupa, di mana arah pasar saat ini, beberapa tukang ojek yang bertanya tidak kuindahkan. Apakah aku harus kembali saja? Tapi kulkas dalam keadaan kosong, jika tak pergi sekarang, Mas Anto pasti marah. Walaupun setengah merajuk saat berangkat tadi, kuberharap Mas Anto mencegahku, namun dia diam saja. Seolah-olah yakin aku bisa ke pasar sendiri. "Ayo, Dik." Sebuah angkutan umum berhenti tepat di sampingku. Aku gelagapan. "Ke pasar, Pak?" tanyaku kemudian. "Iya, ayo naik!" Aku mengangguk, naik tanpa ragu. Ada beberapa orang di dalam angkot, memakai baju seragam kantoran. Aku memilih duduk di pojok, agar leluasa bergerak karena tak berdekatan dengan mereka. Angkot melaju dengan kecepatan sedang. Seumur hidup, baru ini aku pergi ke luar rumah seorang diri, ada perasaan gugup, takut dan cemas. Akan tetapi, aku sudah terlanjur melangkahkan kaki, tak mungkin kembali lagi. "Stop, Pak!" seru salah satu pria yang memakai seragam kantoran itu. Sopir angkot berhenti. Dia sempat melirik padaku. Dua pria itu turun, menyisakan aku seorang diri. Angkot melaju kembali, berbelok ke arah jalan kecil yang terdapat kebun sawit di kanan kirinya. Ingin kuprotes tapi mulut terkunci tak berani bicara. "Sebentar, ya, Dik. Ada keperluan sebentar," kata sopir angkot yang diperkirakan usianya empat puluhan itu. Hatiku mendadak tak enak, apalagi dia menepikan angkotnya di tempat sepi. Nyaris tak ada orang yang berlalu lalang. Aku melafalkan doa dalam hati, mengingat ayah dan ibuku. Perasaan curiga mulai menggerogoti hati, apalagi saat kulihat, sopir itu malah berpindah duduk ke belakang ke kursi penumpang. Aku menatap waspada, jantung mulai tak karuan melihat tatapan anehnya itu. Pria itu tersenyum aneh, dia menatapku lekat sambil terkekeh. "Siapa namamu, Manis?" Dia duduk mendekat, aku beringsut sampai menempel di kaca angkot bagian belakang. "Pak, ayo jalan! Bukannya Bapak mau ke pasar?" Kucoba menampakkan nyali yang tersisa. Pria itu tersenyum aneh lagi. "Nanti saja ke pasarnya, Manis. Kita bersenang-senang dulu." "Menjauhlah, Pak. Suami saya akan datang." "Wah, kau sudah bersuami? Hahaha. Aku kira masih gadis, tak apa. Masih bening dan kencang." Dia kembali tertawa senang. Keringat dingin meluncur di dahiku. "Sudah lama aku memperhatikanmu yang seperti orang kebingungan, mau ke pasar, kan? Kita senang-senang dulu." Dia mendekat semakin dekat, aku merasakan bahwa bahaya sedang mengintaiku. Pria yang berkulit hitam dan bertubuh gemuk itu ternyata orang jahat. Aku bangkit, berusaha menuju pintu keluar, akan tetapi dia memegang pergelangan kakiku sehingga aku terjengkang jatuh di lantai angkot. "Ibuuuuu, toloooooong!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD