BAB 13

1138 Words
"Seperti trombosit yang menutup luka, waktu akan memulihkan hati." Aku berlari menuju rumah. Dadaku sesak, air mataku telah tumpah seiring hatiku yang hancur berantakan. Aku membanting keras pintu kamar dan membenamkan diriku di dalam bantal. Aku menjerit, berteriak, mengumpat dan bahkan juga berguling kesana-kemari. Aku lampiaskan keluh-kesah yang tertahan. Aku meledak! Aku menangis lagi. Meraung lagi. Memaki lagi. Aku lepas kendali. Aku sungguh menyesalinya. Bukan karena bertemu Duta, Dika ataupun Melly. Aku menyesal telah membuka cinta diamku. Cinta diamku adalah pilihan yang aku pilih sedari awal. Jika saja aku tidak membiarkannya terbuka, semuanya tidak akan berakhir begini. Tapi... Adilkah ini untukku? Untuk mereka? Untuk dia? Tidak ada keadilan dlama cinta, selalu ada hati yang akan terluka dan tersakiti meskipun kodratnya memang hanya dua cinta yang ditakdirkan terikat. Namun, dalam prosesnya tanpa disadari atau tidak, hati akan selalu mengikat cinta tanpa perlu melihat sudah terikatkah atau tidak. Hati sudah mirip dengan partikel gas di udara yang siap mengingat unsur manapun yang terpaut. Walaupun sebenarnya, ini hanya suatu pembenaran. Sepanjang hari aku menghabiskan waktuku dengan menangis dan memaki diriku sendiri, kulampiaskan segala kertidakberdayaanku karena sudah menjadi pengganggu dalam sebuah hubungan orang lain yang sebenarnya sudah nyaman. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah hari ini. Aku terlalu takur memikirkannya bahkan Mama yang diam-diam berdiri di depan pintu kamarku tidak bernai masuk atau sekadar mengetuk pintu dan menanyakan keadaanku. Mama mengerti, kalau aku butuh waktu untuk sendiri. Entah berapa lama aku mengurung diri tetapi semua tangis, raungan dan penyesalanku berakhir sejenak ketika kantuk membuatku tertidur dengan masih mengenakan seragam. Sebelum terlelap, aku sempat bertanya dalam relung hatiku. Apakah cinta itu memang semenyakitkan ini atau semua ini menyakitkan karena ulahku sendiri? *** Aku perlahan membuka mataku, keadaan kamarku sudah gelap, sepertinya hari sudah malam. Aku menghela napas panjang dan berat ketika terlintas lagi pemadangan tadi siang. Wajah sedih Melly, keterkejutannya, kata-katanya padaku, wajah kesakitan Duta, ekspresinya saat kutampar dan juga kesedihan Dika benar-benar menikam hatiku. Aku tidak sanggup hingga kembali meneteskan airmata lagi. Aku menghela napas lagi, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang membuatku tidak nyaman. Jika boleh jujur, aku juga tidak bisa dibilang baik-baik saja setelah semua itu. Sama seperti yang mereka rasakan, aku juga merasakan kesedihan, kemarahan dan keterkejutan yang sama. Pengakuan Duta bawa dia menyukaiku sungguh diluar prediksi. Aku tidak pernah menyangka kalau dia akan membalas perasaanku. Sayangnya, waktu untuk itu, tidaklah tepat. Keadaan ini membuatku berada dalam posisi yang serba salah. Aku tidak sedang menjadikan keadaan sebagai kambing hitam. Tidak! Aku sekali lagi memang mengakui bahwa aku salah tapi bukan sepenuhnya semua ini salahku. Ini bukan sebuah pembenaran, hanya mencoba melakuan pembelaan. Ini adalah kenyataan dan aku tidak serendah itu untuk disalahkan sepenuhnya. “Ada tamu,” Rambut panjang itu memenuhi wajahku. Mama menanyaiku tepat di depan wajahku sehingga aku merasa geli karena sentuhan rambutnya. “Siapa?’ kutanya. “Tidak tahu,” “Cowok?” Mama menggeleng. “Cewek?” Mama mengangguk. Mungkinkah itu Melly? Aku pun keluar amar, mencoba mencari tahu siapa yang datang. Aku sedikit terkejut saat mengetahui siapa yang datang berkunjung. “Yo,” sapanya begitu melihatku. Aku hanya mengangguk pelan lalu duduk di sofa. “Kaget ya?” tebaknya. Aku hanya menganggu sekali lagi. “Aku tahu rumahmu sejak pertama kali ngikutin Dika, kan hampir tiap hari dia kesini,” cewek berwajah bulat dengan mata tajam bak mata tokoh-tokoh antagonis di manga-manga itu menjelaskan tanpa perlu kutanya. “Jadi, mau apa?” tanyaku. “Nanya,” jawabnya. “Apa?” Nuri tersenyum tipis. “Sebelum kujawab, setidaknya kamu buatin aku minuman kan? Aku tidak suka yang alami seperti air putih, jadi buatkan yang berwarna tetapi tanpa sianida,” suruhnya dengan banyak persyaratan. Aku tertawa kecil, kelepasan. Entah kenapa rasanya Nuri baru saja melawak walau tanpa perlu melakukannya berlebihan. “Malah ketawa, serius ini. Aku haus,” gerutunya BT. “Silahkan!” Bisikan itu terdengar dan Nuri sama sekali tidak terkejut. Sebaliknya cewek yang mengaku sebagai pacar Dika itu segera meraih segelas es teh dari tangan mama lalu meneguknya perlahan. Dua tegukan lalu berhenti sejenak, mengucapkan terimakasih pada mama. “Terimakasih, tante!” ucap Nuri tulus. Mama hanya mengangguk lalu berlalu pergi, persis seperti angin yang hanya lewat. “Ada apa?” kutanya lagi maksud kedatangannya. “Pilih Dika atau Duta?’ tanyanya tanpa basa-basi. “Huh?” “Karena aku menyukai Dika, kalau kamu memilih Duta, akan sangat bagus sekali. Tapi aku tidak suka Dika bersedih, jadi sebaiknya kamu jangan memilih Duta.” Aku pandang Nuri dan cewek bawel itu hanya tersenyum dengan mimik wajah yang penuh keseriusan. “Kalau aku memilih Dika, bukankah kamu akan sakit hati?” tanyaku kebingungan. Nuri mengangguk. “Tentu saja,” jawabnya dengan yakin. “Lantas kenapa kamu nggak mau aku memilih Duta?” tanyaku lagi. “Karena kalau kamu dengannya, Dikaku akan sedih, bukankah sudah kujelaskan?” Aku mengangguk. “Iya, tetapi kalau aku memilih Duta, Melly yang akan terluka,” sanggahku. Nuri menggaruk kepalanya sebentar. “Ah, cewek kurus kering itu?” tanya Nuri memastikan Melly yang kumaksud. Aku mengangguk mengiyakan. “Ah, kalau itu, bisa kamu abaikan saja. Duta tidak menyukainya,” kata Nuri tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Huh? Mereka sudah bersama tiga tahun lebih, bagaimana bisa kamu berkata kayak gitu?” tanyaku dengan nada jengkel. Nuri tergelak membuatku semakin jengkel padanya. “Ally, Ally, kamu terlalu polos. Bersama bukan berarti cinta, demikian pula sebaliknya. Ada dua alasan dari pasangan yang sudah lama bersama, mengapa mereka tidak putus dan menjalani hubungan di dunia ini, apa kamu tahu apa dua alasan itu?” kata Nuri sambil menatapku tajam. Aku menggelengkan kepalaku. “Apa?” “Pertama, pasangan yang masih saling mencintai atau pasangan yang tidak tahu kapan harus putus,” jawab Nuri. “Eh?” “Duta tidak pernah mencintai Melly dan mungkin Mellylah yang paling bisa menyadari itu,” Aku terdiam, berpikir keras untuk sesuatu yang baru saja aku pelajari dari bocah kelas X yang baru kutemui dua kali. “Oke, aku sudah mengatakan apa yang aku mau, sekarang aku pergi dulu!” pamit Nuri lalu berdiri dari duduknya. “Sudah mau pulang?” Nuri mengangguk. “Iya, aku akan pindah sekolah mulai semester depan, jangan kangen ya!” katanya. Aku tersentak kaget mendengar ucapannya. “Dika? Dika gimana?” tanyaku. Nuri tertawa lagi, tidak lama kemudian dia menunjuk ke arahku. “Kamu akan menjaganya bukan?” “Cintamu?” Nuri tersenyum getir. “Cinta tidak selalu bahagia, Ally. Bagaimana pun kita berusaha, hanya ada satu cinta di antara dua hati. Walaupun ada hati ketiga, keempat, dan seterusnya, cinta hanya melibatkan dua hati manusia. Karenanya pihak selain dua itu, pasti akan terluka. Berani mencintai berarti berani menanggung duri. Jangan terburu-buru, kamu bisa menyerahkan urusanmu pada waktu,” pesan Nuri lalu mulai berjalan sambil melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Entah kenapa di mataku, Nuri terlihat seperti seorang pahlawan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD