BAB 15

1543 Words
"Bagaikan sebuah perjalanan, ayunan bandul membawaku ke titik awal." Aku menghela napas panjang sembari menatap buah apel yang berhamburan di tanah, kantong plastiknya mendadak sobek. Seorang cowok datang, membantuku memunguti apel-apel itu. Dia memasukkannya ke dalam tasnya. Aku yang melihatnya melakukan itu hanya terdiam. Terlebih, saat dia mulai berjalan ke tujuan yang sama denganku ; rumahku. "Dik," panggilku. Dika menoleh lalu memandangku dengan senyuman manisnya. "Iya, sama-sama, Al!" katanya tanpa harus kukatakan. "Dasar! Makasih!" kataku. Dika tertawa renyah. "Makanya, cepatlah buat keputusan! Aku ini setia menunggumu," katanya promosi diri sendiri. Aku tertawa mendengar gurauan Dika yang setengah serius itu. "Sedang aku pertimbangkan," sahutku jujur. Dika menepuk ringan pundakku. "Jangan terburu-buru, aku nggak mau patah hati secepat itu," kata Dika lalu ngakak lagi. "Memangnya kamu nggak yakin aku akan terpilih?" tanyaku heran. Dika tertawa. Lagi. Entah apa yang lucu dari pertanyaanku barusan. "Merubah status teman menjadi pacar itu butuh pertimbangan, Al. Itu jauh lebih susah dari mengubah status sebagai orang lain menjadi pacar, benar bukan?" jawab Dika dengan tersenyum. Entah kenapa aku tidak suka Dika berwajah seperti itu. Bibirnya memang tersenyum tetapi ada gurat kesedihan di sana. Yang lebih menyakitkan, sorot matanya begitu sedih dan terluka. "Aku suka kamu, Dik!" ucapku tulus. Dika menoleh ke arahku dengan mata sedikit melebar, sempat terkejut tetapi berusaha cool dan kalem. Sepertinya dia sudah bisa menguasai dirinya dengan baik sehingga tidak lepas kendali. "Suka sebagai teman, sahabat, ya kan?" imbuh Dika. Aku mengangguk kecil. "Aku tahu dan benci itu," katanya. Kami hanya saling diam, memandang jalan di depan kami dengan pikiran masing-masing yang tenggelam dalam sudut asa tak bertuan. Cinta itu melelahkan. "Tapi, aku nggak putus asa lho!" sanggah Dika tiba-tiba lalu tertawa. Aku memandang Dika yang tertawa di sampingku. Entah kenapa ini menyedihkan. Aku tahu Dik, tawamu hanyalah sebuah topeng atas kesedihanmu. Karena meski kamu itu over PD dan sering membuatku mual karena kepedeanmu yang tinggi, sebenarnya hatimu begitu rapuh dan mudah terluka. "Ally," "Ya," "Jika boleh berharap, aku mau kamu memilihku," kata Dika sembari menatapku lekat. Aku tersenyum dengan tulus. "Buat aku berdebar, aku pasti bakal milih kamu!" Dika ngakak lalu memelukku erat. "Aku akan berusaha, Al!" bisiknya. Aku membalas pelukan Dika. Ini bukan pelukan cinta melainkan sebuah pelukan persahabatan untuk saling menguatkan. Juga sebagai ungkapan terimakasih karena Dika sudah menyelamatkan aku dari situasi yang kritis tadi. Entah apa yang aka terjadi jika Dika tidak datang dan menolongku tadi. "Oh iya, kamu bilang tadi mama nyariin aku," kataku sembari melepas pelukan Dika. "Ada apa?" tanyaku heran. Dika nyengir. "Aku bo'ong," jawabnya sembari menjulurkan lidah untuk mengejekku. "Ih, nyebelin!" kataku gemes seraya mencubit lengan Dika. "Aduh, sakit Al!" protes Dika. "Aku kan niatnya bo'ong buat nolongin kamu, kok malah dicubit sih?" gerutunya kesal. Aku tidak menjawab, pura-pura ngambek dengan memanyunkan bibirku. "Dika jelek," cibirku. "Eh? Aku ganteng, Al!" sanggah Dika tidak terima dikatakan jelek. "Bodo amat!" sahutku. "Hm, lain kali aku nggak tolongin lagi deh," ancam Dika. "Yah, jangan gitu dong, Dik! Becanda!" bujukku. Dika senyum-senyum, merasa menang. "Iya, tahu! Aku cuma bercanda!" "Yaudah, masuk gih! Udah nyampek!" tunjuk Dika ke rumahku. "Lho, kamu nggak mau mampir?" tanyaku heran karena tumben Dika absen. "Aku udah mampir tadi," jawabnya sambil nyengir. "Idih, nyebelin!" dengusku kesal. Dika senyum-senyum. "Besok aku jemput ya," kata Dika. Aku mengangguk mengiyakan. "Jangan cuekin aku lagi ya," pinta Dika. "Iya," kataku berjanji. Dika senyum. Cowok kurus yang memang ganteng itu melambaikan tangannya lalu pergi setelah memastikan aku sudah masuk ke rumahku. Aku pandangi punggung Dika yang terus berjalan menjauh. "Makasih ya, Dik!" bisikku lirih. Seandainya bisa, aku ingin mencoba mencintaimu Dika. Aku ingin sekali melakukannya walau aku belum tahu bagaimana caranya. *** "Ma," Wanita berjubah hitam dengan rambut panjang menyapu lantai itu menoleh sedikit. Jika saja aku nggak mengenalnya atau nggak terbiasa dengan suasana ini, aku akan menganggap mamaku sendiri sebagai hantu. "Ma," "Iya," sahut Mama lembut dengan suara pelan yang bening sebening angin sepoi-sepoi. Bulu kudukku seketika berdiri, merinding. "Dulu waktu mama jadian dengan papa gimana?" tanyaku memberanikan diri. Mama terbang, eh maksudku berpindah cepat ke dekatku. "Cinta," jawabnya di dekat telingaku. Aku sedikit gemetar, telingaku geli karena hembusan angin dari bisikan suara mama yang lebih halus dari mahluk astral. "Iya, gimana ceritanya?" tanyaku penasaran. "Papa mengajak mama menikah," jawab mama datar. "Langsung? Begitu saja?" tanyaku setengah nggak percaya. Mama mengangguk. "Lalu mama iyakan?" tanyaku memastikan. Mama mengangguk sekali lagi. "Hah?" seruku kaget, sedikit tidak percaya kalau ada kisah cinta sesimple itu. Mama hanya diam lalu tiba-tiba aura keberadaannya sudah lenyap. Mama pun menghilang lagi dengan cepat dalam sekejap mata. Sungguh kemampuan yang menakjubkan. Aku pun memutuskan untuk beralih ke papaku. Kupindai sebentar keberadaannya. Sip! Ketemu! Aku mendekati papa yang sedang duduk tegap dengan wajah tegang di depan TV. "Pa," "Hm?" sahut papa tanpa mengalihkan pandangan lurusnya dari layar TV di depannya. "Papa kenapa mengajak mama menikah?" tanyaku. "Cinta," jawab papa singkat. "Kenapa yakin itu cinta?" tanyaku lagi. "Insting," jawab ayah lagi-lagi dengan singkat. "Insting gimana?" tanyaku lagi, belum puas dengan jawaban papa. "Dia wanita yang membuat ayah terpesona pada pandangan pertama," "Dan membuat ayah yakin hidup bersamanya," kata papa menimpali. Aku terdiam. "Hanya itu?" tanyaku ragu. Papa mengangguk pelan. Aku hanya bisa menghela napas panjang lalu masuk ke kamarku. Itu kisah cinta apa? Kenapa begitu mudah dan sederhana itu? Tidak membantu sama sekali mendengarkan cerita mama. Huft. Jadi, siapakah yang harus aku pilih? *** "Jadi, kamu kesini cuma mau duduk diam mematung?" tanya Melly yang sudah mulai bosan karena sejak tadi aku hanya duduk diam di kursi rumahnya. "Aku bingung," akhirnya aku angkat bicara. "Harus pacaran sama siapa," imbuhku. Melly terdiam sebentar lalu tawanya pun pecah. Aku pun hanya bisa menunggu Melly menyelesaikan tawanya, enggan protes. "Al, kamu masih suka Duta?" tanya Melly sesaat setelah tawanya mereda. Aku hanya diam, enggan menjawab. "Jujur aja kali, nggak apa-apa kok!" Melly meyakinkan. Akhirnya aku pun mengangguk mengiyakan. Walaupun sedikit takut kalau Melly akan marah. "Apa rasa sukamu masih sama kayak dulu, Al?" tanya Melly lagi. Aku terdiam. Aku memang masih menyukai Duta, tapi terlepas apakah masih sebesar dulu, aku tidak tahu. "Aku," aku terdiam sejenak, mikir. "Nggak tahu," Melly menghela napas panjang dengan jawaban yang aku berikan. "Al, aku putus bukan karena Duta menyukaimu," kata Melly. Entah kenapa nada suaranya menjadi lebih pelan, rendah dan sedih. Sedikit. "Kami putus karena pada akhirnya aku menyadari kalau di hati Duta nggak pernah ada Melly. Disana-bahkan sebelum seorang Usually mengisinya, Melly nggak pernah ada!" Melly menimpali. Kuangkat kepalaku yang sejak tadi menunduk lalu mulai menatap Melly. Aku ingin tahu ekspresi wajahnya dan cewek yang kini sudah berstatus sebagai mahasiswi itu sedang menatapku dengan tatapan yang penuh keyakinan dan ketegaran. Bukan kepasrahan! "Aku melepaskan dia, bukan buat kamu atau kalian, tapi buat aku sendiri Al!" Melly senyum. "And you see? I'm happy now!" "Jadi, buang jauh-jauh rasa bersalahmu dan jadian sama Duta!" kata Melly setengah menasehatiku. “Orang patah hati biasa, Al! Sakitnya hanya sementara, setelah itu dia akan bahagia setelah melepas cinta yang sudah tidak dipertahankan itu,” Melly menambahkan. Aku menghela napas berat. "Aku takut, Mel!" ucapku. "Takut apa?" tanya Melly penasaran. "Akan menyakiti hati orang lain," jawabku. "Eh?" Melly tertegun bentar lalu ngakak so hard. "Al, kamu dari zaman apa sih?" ledek Melly. "Kamu akan menyakiti hati orang, Al. Bahkan sebelum kamu sadar kalau udah menyakiti hati orang lain itu," kata Melly santai membuatku jadi makin ngerasa bersalah. "Cinta itu bukan soal dipilih dan memilih, bukan soal dibalas atau membalas, dan juga bukan soal menyakiti atau disakiti, Al!" nasehat Melly. "Tapi, soal perasaan yang memang udah nggak bisa kau sangkal keberadaannya," "Jangan bersama orang yang nggak kamu cintai atau mencintaimu, Al. Karena itu hanya membuat luka di hatimu makin gede dan nggak bisa disembuhin lagi," Aku terdiam. Merenungkan setiap kata yang Melly katakan padaku. Tiba-tiba handphone Melly bunyi. "Ah, si Angga, pacarku udah nyampek depan! Mending kamu pulang sana!" kata Melly setengah ngusir. Aku manyun. "Pulang, Al! Kamu nggak mau jadi obat nyamuk di antara dua orang yang lagi kasmaran kan?" goda Melly. Aku mengangguk kecil. "Aku pulang!" pamitku. "Oke, hati-hati!" sahut Melly. Aku mengangguk kecil dan segera keluar dari rumah Melly. Saat keluar, aku berpapasan dengan pacar Melly. Kami saling menatap dalam dua detik dan dia langsung melewatiku tanpa sebuah sapaan. Dia marahkah? Atau memang bukan tipe cowok ramah? Ah, entahlah yang penting Melly bahagia dengannya. "Al," Aku menoleh dan cowok bawel itu sudah disana. "Aku nyariin kamu dari tadi," katanya. Kami saling memandang dan dengan satu adegan lari yang indah dia datang lalu mendekapku erat. Deg! Jantungku berdebar! "Dik, lepasin!" kataku mencoba meronta agar terlepas dari pelukannya. Dika tertawa. Cowok manis itu melepaskan pelukannya dan mengacak-acak rambutku asal. "Apaan sih, Al! Kayak nggak pernah aku peluk aja," sindirnya setengah protes. Aku cuma diam, membalikkan badan lalu mulai berjalan pergi. Aku sedang berusaha menyembunyikan debaran jantung yang kini kurasakan. Aku sangat yakin saat Dika melihat wajahku, dia akan tahu betapa panas dan merahnya wajahku saat ini. Ada apa denganku? "Oi, Al, aku kesini nyariin kamu lho, kok ditinggal sih?!!" teriaknya dari kejauhan. Aku tidak peduli, terus berjalan secepat mungkin untuk menghindarinya. "Al," panggilnya lagi. Aku tidak bergeming, tidak mau berhenti malah setengah berlari agar secepatnya menghilang dari pandangan mata Dika. Kupercepat langkahku dan bergegas berbelok saat kulihat persimpangan. Dika nggak boleh tahu jika seorang Usually berdebar karenanya. Aku nggak mau dia tahu. Nggak boleh!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD