BAB 17

1112 Words
"Keberadaanmu seperti sebuah alis mata sehingga baru kusadari saat kau tidak ada " Aku sudah merasa baikan. Jadi kuputuskan untuk bersekolah hari ini. Walau otakku masih mencoba mencerna apakah kejadian kemarin dimana aku melihat Dika di kamarku itu adalah sebuah mimpi atau nyata, aku rasa aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan mati hanya karena rasa penasaran. Sudah kutayakan pada mama, tapi mama lebih memilih diam. Seolah dia tidak ingin membantuku menemukan jawaban dari pertanyaan yang menggangguku. Namun, aku tidak bisa memaksa mama. Kuputuskan untuk melupakan peristiwa itu saja. Selesai sarapan, aku masih diam di kursi. Aku menunggu Dika, tetapi ia tidak kunjung datang. Jadi, kuputuskan untuk berangkat sendiri setelah berpamitan pada papa dan mama. Hari ini hari senin dan jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat sehingga aku tidak perlu khawatir terlambat. Aku sunggingkan sebuah senyuman saat aku melihat siluet seseorang. Aku berlari membuka pagar rumah dan menepuk bahunya keras. "Daaar," ujarku lalu kubalik tubuhnya. "Dik, kok-," Aku terdiam, saat tubuh itu berbalik dan yang kulihat bukan Dika melainkan orang lain. "Lho?" ujarku heran. Dia tersenyum tipis. "Ngecewain ya?" tebaknya. "Ah, nggak!" bantahku seraya menggaruk-garuk kepalaku. Dia mencolek lembut hidungku. "Ayo berangkat!" ajaknya. Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan. Kami mulai berjalan beriringan. "Al," panggilnya. "Ya, Dik?" sahutku. Dia menghentikan langkahnya, menatapku lekat. "Duta, bukan Dika," ralatnya. "Ah, iya Dut! Sorry," kataku merasa tidak enak. "Tubuhku dan Dika beda banget lho! Kok bisa salah sih Al?" protesnya. Aku hanya diam, enggan menjawab. Haruskah kukatakan bahwa dia tampak seperti Dika bagiku? "Yaudah, ayo berangkat sebentar lagi upacara!" ajaknya lagi. Aku sekali lagi hanya mengangguk, enggan berdebat lama-lama. Aku dan Duta berjalan beriringan. Saat mendekati gerbang, kulihat Dika. Seketika aku tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Namun Dika tidak merespon, dia hanya berlalu seolah dia sengaja melakukan itu. Padahal aku yakin betul kalau tadi dia melihatku. Tidak biasanya seorang Dika Pratama mengabaikan Usually Salsabila seperti ini. Apa aku sudah melakukan kesalahan? "Al," panggil Duta. Aku tersentak kaget, segera sadar dari lamunanku sendiri. "Ya?" kutatap Duta dengan tatapan bingung. "Udah sampai," kata Duta sambil menunjuk ke kelasku. "Ah, iya!" sahutku kikuk. "Taruh tasmu dan segera ke lapangan! Aku akan ke kelasku dulu!" suruhnya. "Iya," jawabku singkat. Tiba-tiba Duta mendekat dan mencubit gemas kedua pipiku membuatku merintih kesakitan karena pipiku belum pernah ditarik sekuat itu. "Aduh, aduh! Hentikan, Duta!" pekikku setengah memohon. "Jangan bengong mulu!" nasehatnya. "Ntar setannya nggak mau pergi karena naksir kamu!" imbuhnya membuatku hanya mampu mengusap-usap pipiku yang baru saja dia cubit. “Setan nggak naksir manusia, cuma menggoda!” sanggahku. Duta tertawa pelan. “Kalau manusianya secantik kamu, setan pasti naksir!” gombalnya. “Dih, gombal!” desisku. Duta hanya tersenyum lebar. “Nah gitu, jangan bengong mulu!” katanya merasa lega. Aku hanya tersenyum melihat usaha Duta yang membuatku sudah sadar sepenuhnya, tidak lagi melamun. Walau masih sedikit kepikiran soal Dika. "Yaudah masuk sana! Aku ke kelasku dulu." Kata Duta lalu berlalu pergi. Aku mengangguk setuju lalu memasuki kelasku, hendak meletakkan tasku. "Heh," suara itu membuatku mengernyitkan kening. "Kamu pake pelet ya?" tuduhnya. Aku mengernyitkan keningku sembari menatapnya dengan wajah bingung. "Maksudnya apa?" tanyaku tidak paham dengan apa yang tengah ia bicarakan. "Bagaimana bisa cogan nomer satu dan dua di kelas XI, bahkan cogan kelas X naksir kamu yang kayak keong jelek begini," dengusnya kesal. "Heh?" Aku masih belum terlalu paham walau sudah connect apa yang membuatnya merasa kesal padaku. "Duta, Dika bahkan Ghazy, ketiganya kau embat semua. Kamu pasti pake pelet kan? Kamu guna-guna kan?" tuduhnya bertubi-tubi dan setengah maksa. "Nggak, kok!" bantahku. "Bohong! Pasti kamu pake susuk ya?" seorang lagi menimpali. Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak!" bantahku. "Dih dasar cewek aneh!" ledek seorang cowok. Aku tahu dia, Beni-banci Thailand kw begitu biasa dia dipanggil. "Nggak!" bantahku lagi. "Denger ya, Usus-eh siapa namanya," tanya cewek yang pertama ke pada cewek yang kedua. Cewek yang kedua menggelengkan kepalanya seraya menoleh pada Beni. "Siapa namanya dah?" "Ally, ayang Dika biasa manggil dia gitu!" jawabnya. "Ah iya, Ally cepat buat keputusan! Pilih salah satu jangan embat tiga-tiganya. Kami semua juga punya hak yang sama naksir mereka. Ngerti?!" kata si cewek yang pertama setengah mengancamku. Kulirik nametagnya, Ghea Dwira. "Tapi aku lebih dukung kamu sama Duta sih! Aku naksir Ghazy soalnya!" kata Ghea. "Dih jangan dong! Aku naksir Duta, sama Dika ajalah!" cewek yang kedua menimpali. "Elah, ayang Dika punyaku lagi," Beni ikutan nimbrung. Mereka pada akhirnya berdebat dan aku hanya berjalan menjauh tanpa mereka sadari. Mungkin inilah fungsi dari manusia semi-transparan. Bisa melarikan diri tanpa ketahuan. Kalaupun mereka menanyaiku, mengapa tiga orang itu bisa menyukaiku, aku juga tidak tahu jawabannya. Seharunya, mereka menanyakan itu pada mereka bertiga, jangan padaku. Namun, ada benarnya apa yang barusan dikatakan, aku harus segera membuat keputusan. Huft. Haruskah aku memilih? Sejujurnya, aku juga belum tahu siapa yang harus aku pilih. *** Upacara bendera telah dimulai dan aku seperti biasa berada di barisan paling belakang. Aku menoleh ke belakang, tidak ada Dika disana. Biasanya dia berada disana-berjaga seraya mengumbar senyum padaku dari belakang. Namun kini, dia tidak ada. Apa Dika sudah berhenti menjadi petugas PMR? Rasanya tidak mungkin mengingat ada petugas PMR di belakang barisan sebelah. Aku menghela napas panjang, berusaha mengingat kesalahan apa yang sudah kulakukan hingga Dika terkesan menghindariku hari ini. "Al," Panggilan itu membuatku menoleh ke samping. "Ya, Dik?" sahutku. "Heh?" Dewi menatapku heran, salah satu teman kelas yang biasa nitip mie bakso tiap istirahat itu mengerutkan keningnya. "Aku Dewi," ujarnya. "Ah, maaf! Ada apa?" tanyaku. "Kamu sakit?" tanyanya balik, sepertinya dia cemas dengan keadaanku yang menurutku baik-baik saja. Aku menggeleng. "Nggak, kok!" bantahku. "Kenapa?" tanyaku lagi. "Daritadi kamu melihat ke belakang, aku pikir kamu mau memanggil petugas PMR," jawab Dewi. "Ah, nggak!" sanggahku. "Nyari Dika?" tebaknya. Aku hanya mengangguk pelan, tidak membantah sama sekali. Sepertinya semua orang sudah mengerti, bahwa Dika dan aku sudah lama bersama. "Tadi kulihat dia barisan kelas X," kata Dewi memberi info. "Oh," sahutku singkat. "Udah lihat depan, habis upacara kan bisa ke dia!" saran Dewi. Aku hanya mengangguk pelan. Selesai upacara, sebagaimana saran Dewi, aku mencoba mencari Dika dan dia benar-benar berada di barisan kelas X. Dia tertawa lepas dengan beberapa adik kelas cewek. Saat melihat itu entah mengapa aku merasa ada yang menusuk-nusuk di hatiku. Aku coba mendekatinya tetapi belum sempat memanggil, Ghazy menghampiriku. "Kak!" cegahnya sambil menghalangi jalanku untuk mendekati Dika. "Ghaz, aku buru-buru, aku-," "Kak!" Ghazy memegang tanganku, mencegahku pergi. "Ini cuma sebentar," Aku hanya diam, mendengarkan Ghazy yang mulai bicara. Namun sayangnya aku tidak mendengar apa yang dia bicarakan. Mataku terfokus pada Dika yang sekilas sempat melihat ke arahku tetapi memilih untuk mengabaikanku. Dia begitu lagi dan sungguh aku sangat sakit hati saat dia melakukan itu. Aku tidak mau dia begini padaku. Ogah! Dik, kamu kenapa? Aku rindu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD