BAB 4

1033 Words
"Terkadang ketidaktahuan itu jauh lebih baik daripada mengetahui kebenaran." Kenyataan memang selalu pahit dan menyakitkan. Seandainya aku tahu akan begini, aku akan memilih untuk tidak tahu. Walau begitu, meski sudah berusaha untuk lupa, otakku tidak bisa menghapus kejadian kemarin. Duta punya pacar. Aku termenung menatap kaca jendela kamarku yang buram karena terkena hujan semalam. Titik-titik embun masih betah dan tak berniat hijrah. Sudah mirip harapan yang terus datang dan pergi dan timbul sendiri tanpa disadari. Aku berbaring malas di kasurku, belum mandi dan tidak ada keinginan melakukannya. Aku juga masih mengenakan piyama bermotif panda milikku. Wajahku kusam dan terasa bengkak. Kamarku tidak kalah lusuh, sudah mirip kamar bekas perang yang dipenuhi dengan tisu kotor—bekas ingus, air mata dan belek bertebaran dimana-mana. "Pukul 07.00 wib," gumamku pelan. Aku hanya diam. Tak berniat sekolah. Sama sekali, sudah tertarik dimensi kemageran yang haqiqi. "Nggak sekolah?" Bisikan lembut di telinga yang untungnya hanya sedikit mengangetkan bulu kudukku, bukan bulu ketekku yang belum dicukur seminggu ini membuatku menyadari keberadaannya. Aku menoleh, wajah Mama tepat berada di depanku. Dengan bola mata yang lebar, bibir yang kering dan aura kegelapan yang samar Mama menatapku lekat. "Bolos, " jawabku yang diikuti anggukan kecil Mama. Tidak ada respon—seperti amukan kemarahan, bentakan atau hal lain selain itu. Mama hanya berdiri, pergi, keluar dari kamarku dan pintu kamarku kembali ditutup. Blam. Hening kembali. Keluargaku memang seperti itu. Keluarga aneh, begitu kata tetangga. Ada banyak julukan yang diberikan walau tiga teratas sama sekali tidak bisa dibanggakan : keluarga Casper, vampire dan tak kasat—jarang bergaul dan muncul secara acak walau sebenarnya itu hanya anggapan hiperbola mereka saja. Keluargaku terdiri dari tiga orang yaitu Papa, Mama dan aku. Papaku adalah lelaki paruh baya yang memiliki perawakan tinggi dengan berat badan sedang—tidak kurus, tidak gemuk dengan kulit kecokletan yang selaras dengan rambut pendeknya yang keriting—kriwil-kriwil hingga menimbulkan sensasi geli setiap kali disentuh. Memiliki penampilan mirip anak culun—kurang bisa berbicara lancar sehingga kadang memakai bahasa isyarat yang sejujurnya belum pernah aku pelajari. Hanya sudah biasa sehingga bisa mengerti. Walau begitu, Papa seperti para kutu buku lainnya, memiliki otak yang brilian. Papa berprofesi sebagai karyawan IT di sebuah perusahaan di kotaku. Gajinya lumayan walau bisa dikatakan itu tidak mengubah kemampuannya sebagai manusia transparan berkurang. Aura kehadiran berkisar 17%. Terlihat hanya jika dibutuhkan oleh karyawan kantor misal komputer ngehank, komputer ngadet, printer nggak jalan atau data terhapus. Jarang diundang ke acara rapat atau acara kantor karena sering dilupakan. Papa sudah bekerja lebih dari 7 tahun dan belum ada yang bisa menyebutkan namanya dengan benar. Nama Papaku adalah Thanapob Leeratanakajorn wiratte. Bisa melafalkannya dengan benar dan lancer? Kalau tidak, jangan khawatir. Nama panggilan papaku 'Tor'. Tidak nyambung? Emang. Di kantor, Papa malah disebut Mit alias ( Mas IT ). Mas? Yups. Papaku masih tergolong muda. Usianya sekitar 37 tahun. Papa dan Mama menikah saat usia mereka masih 19 tahun. Dua tahun kemudian aku lahir. Berbeda lagi dengan Papa, Mama memiliki tingkat keberadaan yang paling rendah. Sekitar 0,4 %. Bisa muncul dimana saja tanpa disadari. Mamaku pendiam dan bisa dibilang pelit bicara. Sangat menyukai warna hitam dan selama hidup belum pernah potong rambut. Aku juga sudah lupa kapan terakhir melihat wajah mamaku secara jelas. Mamaku suka sekali membiarkan rambutnya menutupi wajah. Terkadang, hal itu membuatku memegang jantungku kuat-kuat agar tidak meloncat jika ke kamar mandi tengah malam dan melihat mama tengah mencincang daging di dapur ala-ala film psikopat. Ah, jangan bayangkan panjangnya rambut mamaku. Karena kamu tidak akan sanggup melakukannya. Nama lengkap Mama adalah Normally Wedok. Karena ketika dilahirkan diharapkan untuk menjadi gadis yang normal. Namun kenyataan memang pahit. Semakin diharapkan, semakin jauh dari kenyataan. Mamaku tidak bekerja, hanya seorang ibu rumah tangga. Meski begitu pandai sekali memasak dan sangat menyukai kebersihan. Jangan pernah mengotori apapun yang telah beliau bersihkan. Jika kamu sudah tidak sayang nyawamu, silahkan saja. "Mau makan?" Bisikan itu lagi. Aku menoleh dan melihat langsung mata Mama. "Ntar aja." Mama mengedipkan mata lalu perlahan menjauh. Menghilang. Aku menghela napas dan kembali membaringkan tubuhku di kasur empukku. Aku memejamkan mata, berusaha tidur lagi. *** Waktu terasa berjalan lambat. Sudah empat hari aku tidak masuk sekolah tetapi handphoneku masih sepi. Tak ada satu pun pesan dari teman atau guruku, hanya beberapa pesan dari operator. Aku baru ingat, mereka tidak punya kontakku. Hari Senin, aku memutuskan untuk masuk. Upacara bendera. Semua murid telah berbaris, termasuk aku. Di sekolahku barisan setiap kelas ditentukan oleh tinggi badan dari tinggi ke pendek. Karena tinggi badanku 160 cm, aku berada di barisan belakang berjejer rapi dengan para kurcaci lain yang berpostur lebih pendek dariku sekitar 159 cm dan 157 cm kurasa. Pagi ini cuacanya sangat cerah sehingga baru 30 menit berlalu, keringatku sudah banyak. Seragam bagian atsku sudah basah karena keringat dan keadaan semakin buruk ketika aku mulai merasa pening. Aku pun hanya menunduk dalam, encoba mengabaikan rasa sakit yang terus menghujam tanpa henti. Aku masih berupaya berdiri setelah lima menit berjuang keras untuk menahan pening yang semakin kuat terasa. Bagian belakang kepalaku terasa berat, bahuku kaku dan kepalaku mulai cenat-cenut bak sedang ada konser dangdut. Tidah tahan lagi, aku menoleh ke petugas PMR yang biasanya berjaga di belakang barisan untuk bersiap menolong para murid yang tumbang. Dari kejauhan, aku melihat seseorang dan mengenalinya. Itu Dika Pratama, teman Duta. Dia sepertinya sedang bosan sehingga hanya berdiri saja dan sesekali menguap. Aku ragu memanggilnya. Selain karena kami bukan dari jenis yang sama, hanya satu spesies : manusia, aku juga tidak yakin dia akan menolongku. Tanpa sadar, kami beradu pandang. Tak perlu waktu lama untuk dia berlari k earahku. Aku tersenyum lega. Dia peka. "Kak, kenapa? Pusing ya? Ayo aku antar ke UKS!" Mereka berlalu. Shit. Dika bukan melihatku tapi Anya, teman sekelasku yang berdiri satu barisan denganku. Aku menundukkan kepala. Malu. Meski harusnya tidak perlu karena keberadaanku memang susah disadari. Kulitku pun mulai berubah, mendadak menjadi merah kehitaman. Kueringatku tumpah karena diproduksi tiga kali lebih banyak dari biasanya. Konser dangdut di kepalaku makin menjadi dan malah sudah berganti menjadi konser Rock N' Roll yang memekakkan telinga, membuat kepalaku seperti mau meledak. Dunia terasa berputar-putar. Bola mataku panas dan berkelap-kelip seperti bohlam lampu tujuh belasan yang nyaris kehabisan daya. Aku merasakan angin menggodaku lalu menghempaskanku seketika. Aku terjatuh. Aneh, Kok nggak terasa sakit?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD