Persiapan pernikahan Argio tidak semelelahkan yang aku duga. Awalnya aku berpikir kalau mempersiapkan pernikahannya akan ribet karena lelaki itu sangat suka protes. Tetapi sejauh ini, semua tahapan berjalan dengan sangat baik. Meski sebenarnya diskusi ini lebih banyak dilakukan antara aku dan Akbar dibanding Argio sendiri.
Lelaki itu sering melamun di setiap meeting kami dan itu membuatku berpikir bahwa lelaki itu tidak sepenuhnya suka dengan fakta bahwa aku yang menjadi wedding planner & organizer pernikahannya. Tetapi lelaki itu bahkan tidak bersikap menyebalkan seperti yang sudah-sudah dan itu membuatku justru tanpa sadar merasa khawatir.
“Mas Akbar, kira-kira tahu nggak ya kapan Bu Silvania-nya pulang ke Indo? Soalnya saya harus nentuin jadwal fitting baju. Karena dari pihak designernya juga nggak bisa terlalu mepet.” Seluruh persiapan ini sudah berjalan dua bulan tetapi Silvania bahkan belum sekalipun datang ke satupun meeting kami. Hal itu membuat proses persiapan baju pengantin juga jadi terhalang.
“Soal itu…” Akbar tampak tidak yakin. “Kalau kita yang bawa team designernya ke sana aja kira-kira bisa nggak ya?”
Aku yang sedang fokus pada layar tabletku seketika berhenti bergerak. “Maksudnya?”
“Iya, soalnya jadwal Sil–maksud saya jadwal Bu Silvania juga masih padat banget. Dia lagi masa comeback gitu jadi beneran sepadet itu jadwalnya nggak ada waktu pulang ke sini. Gimana kalau team designernya aja yang dikirim ke sana untuk fitting langsung?”
Aku benar-benar tidak mengerti cara orang kaya berpikir. “Nanti saya tanya ke pihak sana dulu kalau gitu.” Hal itu membuatku mulai mengerti mengapa Argio tampak murung. Mungkin–mungkin ia sedih karena di saat penting seperti menyiapkan pernikahan ini dilakukan berdua, Argio malah harus melakukannya sendirian. “Kalau gitu gimana kalau kita fitting untuk Pak Argio-nya dulu?”
Akbar lalu melihat ke layar tablet yang kusodorkan padanya soal beberapa tanggal fitting yang sudah kutentukan. “Oh boleh, di tanggal ini Pak Argio kosong.”
“Ok then, nanti saya kirim detail alamatnya ke email Mas Akbar ya.”
Suara ponsel berdering dari arah Argio duduk. Ponsel itu rupanya milik lelaki itu. Tidak sampai dua kali berdering, Argio langsung menerima panggilan tersebut seolah ia memang sudah menunggunya sejak tadi. “Babe?!” Oh. Ternyata benar, Argio menunggu panggilan itu sejak tadi.
Argio lalu beranjak dari tempatnya duduk menjauh dari kami ke sudut ruang meeting. Sedangkan aku melanjutkan diskusiku dengan Akbar mengenai hal-hal lain terkait persiapan pernikahannya.
“Kalau dipikir-pikir jadi berasa gue yang mau nikah…” Akbar bergumam, yang sepertinya tidak dimaksudkan untuk diucap dengan keras sebelumnya karena ia buru-buru menutup mulutnya terkejut karena sudah menyuarakan itu hingga aku bisa ikut mendengarnya.
Aku tertawa. “Nggak apa-apa, latihan. Nanti kalau kamu yang mau nikah sudah nggak pusing lagi harus gimana.”
“Menarik. Masalahnya nikah sama siapa, bentuknya aja belum kelihatan.” Oh wow. Aku tidak menyangka kalau Akbar masih single. Mengingat ia tidak kalah tampan dengan Argio dan kepribadiannya pun jauh lebih baik.
“Nggak apa-apa, nanti juga pasti ada.”
“Kamu sendiri…sudah ada?” tanyanya lagi. Ku pikir ia tidak akan menanggapi lagi basa-basiku. “Pacar? Atau suami malah?”
“Kayaknya kalau aku sudah menikah pasti kamu tahu deh.” Mengingat Tante Ambar sudah melakukan penyelidikan mengenaiku, tidak mungkin kalau Argio juga tidak melakukan hal yang sama.
“Iya sih…tapi siapa tahu kan belum diperbarui status di KTPnya.”
Aku tertawa. “Kamu maksa banget aku udah nikah? Belum kok.” Aku sadar aku sudah sepenuhnya ikhlas soal Haris dan Dania karena ketika membahas soal ini aku bahkan tidak lagi merasakan apapun.
“Kalau pacar?”
“Kepo banget.” Aku menjawabnya dengan nada bercanda. Selama ini Akbar memang selalu bersikap dan bicara lebih santai denganku dan juga Mia. Tetapi biasanya kami tidak punya banyak waktu untuk mengobrol selama ini di luar konteks karena Argio selalu ada di meeting kami. Well, sekarangpun Argio ada bersama kami sih. Tetapi ia sedang fokus menelfon tunangannya di pojok ruangan sana. “Kalau ada memangnya kenapa?”
“Kalau ada ya nggak apa-apa sih…bagus. Congratulation, ditunggu undangannya.”
Aku semakin tertawa. Padahal itu nggak lucu tetapi cara Akbar mengatakannya sangat menghiburku. “Kalau nggak ada?”
“Kalau nggak ada…boleh nggak aku ajak kamu makan malem bareng?”
Astaga. Aku benar-benar nggak menduga obrolan kami malah berakhir dengan ajakan makan malam seperti ini. Aku tahu sih ajakan ini bukan berarti apa-apa. Bisa saja Akbar bertanya begitu karena untuk menghargai jika memang aku punya pasangan.
“Makan malemnya bebek goreng yang kata kamu enak banget itu, bukan?”
Waktu itu Akbar pernah membahas soal bebek goreng ini denganku dan Mia meski hanya sekilas. Dan ekspresi Akbar sangat terkejut saat tahu aku masih mengingat soal itu. “Kamu mau?”
“Nggak jauh kan? Soalnya aku lagi nggak bawa mobil hari ini.” Hari ini aku memang tidak bawa mobil karena sedang malas bermacet-macetan di jalanan ibukota.
“Oh itu tenang aja, nanti aku anter pulangnya.”
“Oke.”
“Kalian ngomongin apa?” Suara Argio mengejutkanku dan juga Akbar. Lelaki itu ternyata sudah selesai menelfon. Saking asiknya aku dan Akbar mengobrol, kami sampai tidak sadar sama sekali dengan keberadaan Argio.”Udah selesai bahas yang pentingnya?”
“Udah daritadi, bos.” Akbar memang seringkali bicara santai dengan Argio membuatku yakin kalau hubungan mereka tidak sebatas bos dan sekretaris pribadi saja. Sepertinya mereka juga berteman dekat. “Mau balik sekarang?”
Argio melirikku sekilas sebelum mengangguk dan berbalik badan meninggalkan ruangan. Bahkan ia tidak repot-repot mengucapkan terima kasih atau apapun soal meeting hari ini. Lagi-lagi Akbar yang melakukannya.
“Kamu masih di sini sampai jam pulang kantor, kan?” tanya Akbar memastikan selagi aku membereskan barangku. Aku mengangguk dan Akbar tersenyum lebar. “Ok, see you then!”
“See you,” balasku sambil tersenyum. Lalu kami berpisah menuju ruang kantor masing-masing. Aku ke lantai mezzanine dan Akbar ke lantai 30 menyusul Argio.
***
Akbar benar, bebek goreng ini adalah bebek goreng terenak yang pernah kumakan! Dagingnya sangat empuk dan bumbunya sangat meresap hingga ke daging. Ditambah sambal bumbu hitamnya yang pedas dan gurih. Astaga, kalau saja perutku mampu menampung sepertinya aku bisa makan tiga porsi sekaligus!
Wajahku sudah berkeringat karena pedas sambalnya begitupun Akbar. Kami tertawa ketika melihat wajah satu sama lain. Kedua tanganku kebetulan kotor karena tadi aku sempat memegang bebeknya dengan dua tangan, jadi aku kesulitan untuk mengambil tissue dan menyeka keringat di wajahku dan terpaksa memanfaatkan lengan kemejaku.
Tetapi sebelum sempat melakukan itu, Akbar lebih dulu menarik selembar tissue untuk menyeka wajahku dari keringat dengan tangan kirinya yang bersih.
Akbar melakukannya secara natural. Aku tidak tahu apa itu hal yang normal untuk ukuran rekan kerja yang bahkan tidak terlalu dekat. Aku bahkan tidak tahu apa hubungan kami bisa disebut rekan kerja atau tidak. Tetapi diperlakukan seperti ini benar-benar hal yang baru untukku. Bahkan Haris tidak pernah melakukan hal ini padaku.
Oh. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, Haris hampir tidak pernah melakukan banyak hal untukku bahkan untuk hal sepele. Lalu mengapa dulu aku bisa mencintai lelaki seperti itu???
“Nanti baju kamu kotor,” kata Akbar setelah selesai mengelap wajahku dari keringat. Padahal tidak ada noda yang menempel di sana jadi sangat jelas tidak mungkin kemejaku kotor hanya karena aku menggunakannya untuk menyeka wajahku.
Tetapi aku tidak mengatakan apapun soal itu dan memilih untuk berterima kasih padanya.
Aku pikir setelah makan malam kami akan langsung pulang. Tetapi Akbar mengajakku untuk minum kopi dan menikmati live music di sebuah coffee shop tidak jauh dari tempat kami makan malam.
Aku tidak tahu kapan aku terakhir kali melakukan ini. Selama ini waktuku lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Satu-satunya teman dekatku hanya Dania. Dan aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan Haris meski itu hanya di rumah saja karena Haris semakin sering diajak pergi keluar. Tapi kini, hal-hal yang sudah lama tak bisa kulakukan mulai bisa kulakukan lagi setelah aku melepaskan Haris dan Dania dari hidupku.
Aku dan Akbar banyak mengobrol malam itu. Mulai dari soal pekerjaan sampai hal-hal random seperti gosip artis ibukota terkini. Dari obrolan malam itu juga aku tahu kalau Akbar sudah berteman dengan Argio sejak kecil sampai kemudian menjadi sekretaris pribadinya. Mereka bahkan kuliah di kampus yang sama dan orang tua Argio yang membiayai kuliah Akbar. Kami mengobrol sampai tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan hampir setengah dua belas malam. Kalau saja waitress di sini tidak memberitahu kami bahwa sebentar lagi toko mereka akan tutup, kami masih akan terus bicara sampai pagi.
Ketika kami berjalan ke mobil, kami juga masih mengobrol seru sampai kemudian ponsel Akbar berdering. Ponsel itu adalah ponsel khusus ‘dinas’ yang diberikan Argio pada Akbar dan tidak pernah boleh disilent dalam keadaan apapun.
“Halo?”
Aku mengangguk saat Akbar memberikan gesture untuk izin mengangkat panggilan dan menepi sedikit dari tempat kami berdiri. Ia berbincang dengan ekspresi serius sebelum kemudian menghampiriku.
“Apa ada masalah?” tanyaku karena menyadari perubahan raut wajahnya.
“Si Boss…” Akbar menyugar rambutnya ke belakang. “Aku harus jemput Gio. Supirnya lagi cuti dari kemarin makanya aku yang anter-anter dia beberapa hari ini. Tadi udah kuanter dia ke rumah, tapi ternyata dia cabut lagi dan sekarang mabok.”
“Ya sudah, kamu jemput Argio aja. Aku bisa pulang naik taksi, Bar.”
Akbar tampak tidak setuju. Pasalnya ini juga sudah cukup larut untuk aku pulang sendiri. “Ngg, gimana kalau kamu ikut aku jemput Argio? Kebetulan tempatnya searah sama rumah kamu.” Aku memang sudah memberitahu Akbar di mana aku tinggal tadi.
“Is that okay?” Aku takut kalau Argio menganggap keberadaanku sebuah masalah.
“Naah, dia mabuk berat. Nggak bakal sadar paling.” Akbar lalu berjalan dan membukakan pintu penumpang untukku yang membuatku terkejut lagi dengan sikap gentlemannya. “Jangan bilang-bilang ya tapi Argio itu sebenernya nggak jago minum. Funny isn’t it? Nightclub owner tapi nggak bisa minum.”
Aku baru tahu soal itu. Tetapi perasaan malam itu saat aku mabuk berat di nightclubnya, Argio juga minum dan kondisinya baik-baik saja? Apa jangan-jangan dia nggak minum sama sekali???
Aku masuk ke mobil dan masih berusaha mengingat soal apa malam itu Argio minum atau tidak sampai tidak sadar aku belum memasang seat belt. Napasku terhenti sejenak ketika tiba-tiba Akbar mendekatiku dan menarik seatbeltku untuk kemudian dikaitkan.
“T–thanks,” kataku sedikit salah tingkah. Lebih tepatnya karena aku tidak menduga Akbar akan melakukan hal tersebut padaku. Aku hanya berharap dalam jarak sedekat itu, ia tidak mencium aroma aneh dariku.