Setelah hari itu, aku bukan hanya kehilangan sahabat dan juga kekasihku tetapi aku juga harus kehilangan clientku karena hampir dari mereka semua memang adalah client yang dibawa oleh Dania. Setelah perselingkuhannya dan Haris terbongkar, tentu saja aku tidak bisa meneruskan hubungan kerja sama kami juga pertemanan kami lagi. Dan ternyata, itu berdampak juga pada usahaku.
Dania memang bukan hanya MUA biasa, tetapi ia memiliki banyak followers di social media dan portfolio yang bagus sehingga banyak orang yang ingin memakai jasanya. Ketika Dania tidak lagi bekerja sama denganku, ia membawa seluruh client dan potential client Sanggar Kenanga bersamanya. Kata Mia pegawaiku, Dania bahkan melakukan drama di social medianya dan menjelek-jelekkan Sanggar Kenanga secara tidak langsung.
Tidak sampai di sana saja. Tetapi aku juga harus menanggung tagihan pinjol yang dilakukan Haris menggunakan data diriku. Ditambah hutang usahaku yang juga tidak sedikit–semuanya benar-benar membuatku pusing.
Di tengah kepusinganku, suatu hari Sanggar Kenanga kedatangan tamu tidak dikenal. Dia adalah Ambar Pradana, istri dari Tegar Pradana salah satu pengusaha terkaya di Indonesia yang memiliki hotel bintang lima ternama. Kedatangannya adalah untuk menemuiku secara khusus.
“Kamu pasti nggak ingat Tante, ya? Tapi kita pernah ketemu waktu kamu baru diadopsi Budhe Naning.” Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Tante Ambar, seorang kenalan lama ibuku. Dia bercerita bahwa setelah aku diadopsi, ia pindah ke Australia bersama suaminya dan baru kembali tiga bulan lalu. Setelah kembali, ia mencari tahu tentang keluargaku dan mengetahui bahwa orang tua angkatku sudah meninggal.
“Budhe sama Pakdhe itu orang baik,” katanya, berkaca-kaca. Tante Ambar menceritakan bagaimana saat keluarganya mengalami kesulitan, Budhe dan Pakdhe-lah yang membantunya melanjutkan kuliah, bahkan memberi uang jajan. Mereka juga sering merawatnya seperti anak sendiri. Setelah bekerja, ia jarang bertemu mereka karena merantau, dan komunikasi hanya lewat telepon.
Saat Ibu dan Bapak mengadopsiku, Tante Ambar adalah orang pertama yang tahu. Meski aku kecil saat itu, kenangannya akan keluarga angkatku begitu kuat. “Setelah tahu mereka meninggal, Tante merasa harus menemuimu,” katanya sambil memelukku hangat. “It must be so hard for you, kamu sendirian selama ini?” ucapnya sambil mengusap kepalaku. Sejak kematian Ibu, aku mengalihkan kesedihanku dengan bekerja. Namun, saat Tante Ambar muncul, semua perasaan yang kupendam tumpah. Air mataku mengalir deras, lebih dari yang kurasakan saat pengkhianatan Haris dan Dania.
“Oh sayang, sini...” Tante Ambar memelukku. Kami menangis bersama, sampai baju kami basah oleh air mata. Setelah itu, kami tertawa melihat wajah kami yang sembab. Aku tak ingat kapan terakhir kali merasa selega ini.
***
TIIN TIIN!
“Pokoknya kalau ada apa-apa Laras telfon Tante, ya?” Tante Ambar meremas tanganku entah untuk keberapa kalinya hari itu. Ia juga sudah mengulangi kalimat yang sama tentang aku yang harus menghubunginya jika butuh sesuatu. “Apapun itu akan Tante bantu, Laras juga udah Tante anggap seperti keluarga sendiri. Nggak boleh sungkan, oke?”
Aku tersenyum. Tentu saja meski Tante Ambar sudah sebaik dan setulus itu, aku tidak benar-benar bisa melakukannya. Sepertinya tanpa sadar perlakuan Dania dan Haris membawa trauma yang tak kusadari mempengaruhi diriku terutama rasa percayaku terhadap orang lain. Apalagi hitungannya Tante Ambar hanyalah kenalan mendiang orang tua angkatku. Ada hak apa aku untuk merepotkannya?
TIIN TIIN!
“Astaga anak itu!” Tante Ambar geleng-geleng kepala saat sekali lagi suara klakson nyari itu berbunyi nyaring. Sejak tadi memang anak lelaki Tante Ambar yang menunggu di mobil itu membunyikan klakson untuk memanggil ibunya. Benar-benar kurang ajar. “Laras sering-sering telfon atau chat Tante, ya! Nanti kapan-kapan Tante ke sini lagi, atau Laras yang main ke tempat Tante!” Lalu Tante Laras mencium kedua pipiku sebelum kami berpisah.
Aku mengantar Tante Ambar sampai ke mobilnya karena ia menggandeng tanganku dengan erat. Ohiya, Tante Ambar hanya punya satu anak dan itu laki-laki, itu sebabnya ia bersikap seperti itu padaku karena sepertinya beliau memang ingin sekali punya anak perempuan.
“Juna kamu tuh kenapa nggak sabaran banget, sih! Mama kan masih pengin ngobrol, tahu!” Tante Ambar mengomel setelah aku membantunya membuka pintu mobil. “Ohiya ini kenalan dulu sama Laras, keluar sini kamu!”
Aku tersentak saat Tante Ambar tidak langsung masuk ke mobil dan justru memaksa anaknya untuk keluar dari sana untuk kenalan denganku. Dari bagaimana sikap lelaki itu sejak tadi, baik saat kebut-kebutan di jalan sebelum ke sini sampai menglaksoni ibunya sendiri membuatku punya impresi kurang baik dengannya. Ditambah aku bisa mendengar decakan sebal dari dalam mobil dan itu membuatku semakin tidak ingin berkenalan dengannya.
“Juna!”
“Iya-iya Mam, astaga sebentar matiin mobil dulu!”
Aku sudah akan memberitahu Tante Ambar kalau itu tidak perlu atau lebih tepatnya aku tidak mau, tetapi lelaki bernama ‘Juna’ itu sudah lebih dulu mematikan mesin mobil dan membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana.
Lelaki tampan dengan setelan kemeja Thom Browne keluar dari balik kemudi. Ia menggunakan kacamata hitam yang disampirkan ke atas kepalanya memperlihatkan jidatnya yang membuatnya terlihat…tampan. Ok, aku sudah memuji lelaki ini tampan dua kali.
“And stop calling me Juna di depan stranger Mam,” katanya kepada Tante Ambar sebelum beralih kepadaku dan mengulurkan tangan. “Argio.” Berkebalikan dengan wajah tampannya, sifatnya kurang menyenangkan. Ia bahkan terang-terangan melemparkan ekspresi ‘malas’ padaku ketika kami berhadapan seolah ia menegaskan bahwa ia terpaksa melakukan perkenalan ini. MEMANGNYA AKU TIDAK?
Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. Aku menerima uluran tangannya meski hanya sekitar dua detik saja. “Laras,” kataku sambil tersenyum. Kalau tidak ingat bagaimana Tante Ambar sangat baik dan ramah padaku, aku ingin membalas sikap seenaknya lelaki di depanku ini dengan cara yang sama. Tapi tentu saja tidak kulakukan.
“Udah kan, Mam? Yuk pulang, aku masih ada urusan habis ini.” Dia bahkan tidak membalas senyumanku. Apa benar dia anak Tante Ambar?
Tante Ambar yang menyadari itu sepertinya mulai merasa malu dengan kelakuan anaknya yang jauh dari kata sopan. Aku bisa melihat bagaimana beliau menahan diri untuk tidak mengomeli anaknya di hadapanku.
“Benar-benar deh anak ini.” Tante Ambar lalu menatapku dan meminta maaf yang jelas membuatku jadi merasa tidak enak. Bukan salahnya kalau anaknya yang usianya bahkan mungkin seusiaku atau lebih tua itu berkelakuan tidak sopan. Umur segitu bukan lagi umur untuk diajari sopan santun. “Ohiya Laras, gimana kalau kita makan siang bareng aja? Laras sudah makan belum?”
Nasi padang yang kubeli bahkan masih tergeletak begitu saja di atas meja di kantorku belum tersentuh karena kedatangan Tante Ambar. Tapi aku tidak bisa mengatakannya karena aku jujur saja tidak ingin menerima tawarannya tersebut mengingat ekspresi tidak ramah lelaki bernama Argio—Juna atau siapalah itu tadi.
“Ud—”
“Mam, kalau pun ikut kita makan siang dia mau duduk di mana coba? Mobilku cuma 2 seats, kecuali dia mau aku pangku it’s okay.”
“JUNA!” Tante Ambar langsung memandangku lagi setelah memelototi anaknya. “Laras maaf ya…”
Aku berkedip. Tidak menyangka lelaki itu bukan hanya tidak sopan tapi juga menyebalkan. Tetapi buru-buru aku mengatur ekspresiku. “Tante, it’s okay, lagipula Laras sudah makan siang kok dan sebentar lagi juga ada janji sama client. Nanti kapan-kapan aja ya kita makan siang bareng.”
Tante Ambar meremas tanganku sekali lagi. “Bener ya sayang ya, Tante tunggu ya nak!”
Aku tersenyum lagi sambil mengangguk. Baru saja ingin membalas ucapanku lebih dulu dipotong lagi oleh lelaki menyebalkan itu. “Mam, ayo buruan, pacarku udah nungguin nih!”
“Iya sudah dasar bawel, sana nyalain mobilnya!”
Tante Ambar berpamitan lagi padaku entah untuk keberapa kalinya dan kami pun akhirnya benar-benar berpisah.
Akhirnya.
Ketika masuk kembali ke kantor, Mia menyambutku dengan semangat. “Mbak Laras! Kok nggak bilang kalau kenal Bu Ambar Pradana?”
“Apa sih, aku juga baru tahu kalau Ibu punya kenalan dekat seperti itu. Lagian dia baru balik tiga bulan lalu,” jawabku, bingung dengan kegaduhan Mia.
Mia semakin gregetan. “Mbak kok bisa-bisanya santai banget sih! Ini keluarga Pradana loh Mbak! Mereka yang punya The Grand Lavish!” Aku hanya menggeleng sambil mulai menyantap nasi padangku.
Aku tahu Grand Lavish, hotel bintang lima yang terkenal sebagai venue impian untuk pernikahan mewah. Sebagai wedding organizer, tentu aku tahu soal hotel ini, meski klienku biasanya dari kalangan menengah. Aku tidak menyangka keluarga angkatku punya hubungan dengan pemilik salah satu hotel termahal di Indonesia. Lebih tidak kusangka, Tante Ambar masih mau menemuiku hanya karena rasa balas budinya.
“Mbak, ini bisa jadi jawaban dari Tuhan buat orang tersakiti! Kita bisa kerja sama dengan Bu Ambar buat pakai jasa Sanggar Kenanga di hotelnya. Nggak cuma bersihin brand image kita, tapi juga bikin mantan Mbak dan Dania kepanasan!”
Aku tersedak mendengar ucapan Mia. “Mia, ini Grand Lavish, bukan hotel kecil abal-abal! Levelnya sudah bagaikan bumi sama langit kalau sampai kerja sama dengan mereka!” protesku, tapi Mia sepertinya masih tetap bersemangat dengan harapan kalau kedatangan Tante Ambar tadi bisa menjadi jalan keluar masalahku.
Di tengah obrolan kami, tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. Jantungku seolah jatuh ke perut saat melihat isi pesan itu.