bc

A Forbidden Flame

book_age18+
128
FOLLOW
1K
READ
forbidden
love-triangle
family
HE
confident
drama
sweet
campus
office/work place
love at the first sight
civilian
like
intro-logo
Blurb

Fabian Angkasa, seorang co-pilot muda dengan karier yang sedang menanjak, dan baru saja bertunangan dengan Clarissa, seorang model yang tengah merintis jalan menuju puncak popularitas. Hubungan mereka terlihat sempurna di mata keluarga dan sahabat. Pada acara pertunangannya tersebut, Bian mengenal Nadira, tante Clarissa yang tinggal di Bali dan berprofesi sebagai seorang chef.Pertemuan singkat yang seharusnya biasa saja, ternyata meninggalkan jejak yang sulit diabaikan. Beberapa bulan kemudian, tanpa sengaja Bian bertemu Nadira lalu menjalin komunikasi. Semakin sering Bian terbang ke Bali, semakin sering pula ia singgah ke kedai milik Nadira. Obrolan singkat berubah menjadi percakapan panjang, kunjungan biasa berubah menjadi sesuatu yang dirindukan. Bian mulai berada di ambang batas yang berbahaya, sementara Nadira pun perlahan terseret dalam perasaan yang tak seharusnya ada, sebuah cinta terlarang untuk tunangan sekaligus calon suami sang keponakan.Ketika rahasia itu tercium oleh Clarissa dan orangtuanya, segalanya runtuh dalam sekejap. Nadira dituding sebagai perebut kebahagiaan keponakannya sendiri, sementara Bian dicap mengkhianati pertunangan yang baru beberapa bukan mereka jalani. Di tengah tekanan keluarga, Nadira memilih pergi, meninggalkan luka yang belum sempat terjelaskan.Setahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di kota yang berbeda. Fabian masih memendam perasaan yang sama, dan kali ini ia bertekad membuktikan bahwa cintanya bukanlah kesalahan, apalagi dosa. Namun bagaimana jika kenyataan yang sesungguhnya justru lebih rumit dari yang terlihat?Ini adalah kisah tentang cinta yang tumbuh di tempat yang salah. Tapi, jika Bian mencintai Nadira dengan tulus, apakah dunia tetap akan menyebutnya sebuah dosa?

chap-preview
Free preview
Permintaan Clarissa
Pesawat akhirnya berhenti sempurna di apron, ban depan terkunci mantap di garis parkir. Lampu indikator parking brake menyala, menandakan prosedur selesai. First Officer Fabian Angkasa, melirik jam digital di panel yang tepat menunjukkan pukul 13.42. Di headset, suara ramah dari menara terdengar jelas. "Garuda eight two three, block on time one three four two local. Thank you for the smooth flight. Have a good rest, Captain Manoppo and First Officer Angkasa." Bian spontan menoleh ke Captain Ferro Manoppo, Captain senior yang duduk di sebelahnya. Ada rasa hangat ketika mendengar namanya disebut penuh, seolah ada pengakuan atas keberadaannya di kursi kanan. Capt. Ferro menekan tombol transmisi, suaranya mantap. "Roger, block on one three four two. Appreciate your support, Jakarta Tower. Wishing you a pleasant shift. Good afternoon." Klik kecil terdengar, komunikasi berakhir. "Rasanya selalu spesial kalau nama kita disebut, ya, Capt," gumam Bian sambil melepas headset. "Kayak benar - benar diakui, jadi bukan cuma bayangan Captain." Ferro melirik dengan senyum tipis. "Kamu memang diakui, Bian. Kamu bukan bayangan siapa - siapa. Kamu bagian dari penerbangan ini." Bian mengangguk, hatinya menghangat. Kata - kata sederhana itu terasa berarti. Meskipun hampir semua tahu bahwa ia adalah anak dari Captain Owka Narendra, tapi Bian tetaplah pilot Junior dengan dua bar dipundaknya dan jam terbang yang masih minim. Ia belum lama merintis karir disini, walaupun tidak bisa dihindari kalau ia memiliki privilege sebagai cucu Capt. Owie Narendra, anak Capt. Owka Narendra, juga keponakan Capt. Iksan Wisnutama, tapi ia melewati jenjang karir secara 'normal'. "Oke, done," sahut Capt Manoppo setelah mengecek semua instrumen yang dibacakan Bian. Checklist 'shutdown' selesai. Garbarata sedang mendekat, mengatur posisi supaya menempel dengan sempurna di badan pesawat. Tidak lama kemudian seorang ground staff mengangkat jempol tanda pintu boleh dibuka . Ferro menoleh ke Bian, "Chocks in, beacon off. Ground's giving us the signal." "Copy, Captain. Doors disarmed, checked." "Alright, make the PA." Bian menekan tombol PA kabin, "Cabin crew, doors may be opened." Di kabin pesawat, pramugari sedang membuka pintu pesawat untuk penumpang turun setelah mendapat perintah dari cockpit, sementara itu Capt. Ferro dan Bian menyiapkan peralatan pribadi mereka untuk dimasukkan ke dalam tas dan dibawa turun. "Terima kasih untuk penerbangan dua hari ini, Capt," ucap Bian ketika sudah memakai topi pilotnya dan bersiap keluar dari ruang Cockpit. "Sama - sama, besok terbang ke mana, Bi?" "Saya off, Capt, lusa ke Melbourne layover dua hari." "Mantap. Terbang sama siapa?" "Sama Captain Iksan." "Lah, sama Om sendiri." "Iya, jarang - jarang juga sih, Capt," sahut Bian lalu tertawa. Tidak berapa lama kemudian seluruh penumpang sudah turun dan mereka berdua keluar dari Cockpit. "Terima kasih, Captain ... Mas Bian," sapa seorang pramugari senior, masih mengenakan senyum profesional meski raut wajahnya jelas lelah. "Good job, semuanya, Thank you, ya," balas Capt. Ferro. Bian menambahkan dengan ramah, "Thanks a lot for today, mbak. Flight-nya jadi terasa ringan." Pramugari itu terkekeh kecil. "Sama - sama, Mas Bian. Sampai ketemu di roster berikutnya." Ada kehangatan khas keluarga kecil dalam setiap penerbangan, Apalagi setelah mereka melewati penerbangan beberapa hari bersama. Mereka semua sudah keluar dari pesawat dan berjalan menuju terminal kedatangan. Ada satu dua penumpang yang tertinggal di belakang karena barang bawaan mereka banyak , dan ketika rombongan Capt. Ferro melewati penumpang tersebut, mereka mengangguk dan menyapa ramah kepada kru yang membawa mereka terbang ke Jakarta tadi. Capt. Ferro membalas dengan anggukan kalem, sementara Bian memberi senyum lebar. Tapi di balik senyum itu, pikirannya justru melayang ke ucapan Clarissa saat mereka video call semalam. "Aku pikir-pikir lagi, A'," katanya tiba - tiba dengan mata berbinar. "Aku nggak nyaman kalo nunggu lama - lama tanpa ikatan yang jelas. Kita tunangan aja secepatnya, ya?" Bian terdiam, degup jantungnya terasa jelas. "Secepatnya?" "Iya." Clarissa tersenyum. "Aku serius. Aku tahu kamu sibuk, aku juga mulai banyak kerjaan. Justru aku mau ada kepastian sekarang. Biar orang tahu, biar kita sama - sama tenang." Bian hanya menghela napas panjang. "Ris ... aku sayang kamu, cuma ..." jawab Bian tapi tak sanggup melanjutkan. "Cuma apa?" Clarissa mengerutkan kening, lalu menahan senyum. "Jangan bilang kamu masih ragu." Bian tersenyum hambar, mencoba menyembunyikan keraguannya dengan bercanda. "Aku ragu cuma karena kamu itu cantik banget, takutnya aku nggak sanggup ngejaga." Clarissa tertawa. "Alasan basi. Jangan main - main, A'. Aku serius." Bian tertawa. Panggilan itu berakhir dengan ucapan selamat tidur, tapi hati Bian sama sekali tidak tenang. Ia mencintai Clarissa, itu pasti. Tapi pekerjaannya sebagai model baru, dunia yang penuh sorotan, membuatnya resah. Bagaimana kalau ada laki - laki lain? Bagaimana kalau ia sendiri terlambat mengikat hubungan? Bian tidak mau itu terjadi. * Sesampainya di Flop crew, suasana sibuk. Ada awak kabin yang sedang briefing sebelum terbang, pilot yang sedang diberikan data penerbangan oleh petugas flight operation, tempat ini memang pertemuan crew, ada yang akan berangkat dan ada juga yang baru pulang. Bian termasuk salah satunya, sebelum pulang, ia mengecek dulu lokernya, dan tidak lama kemudian seorang staf transportasi menghampirinya. "Mas Bian, mobil antar sudah siap." "Ok, Mas. Terima kasih. Saya sama siapa ya?" "Sendirian, Mas." "Baik." Sepuluh menit kemudian mobil yang mengantarkan Bian pulang sudah melaju perlahan meninggalkan bandara siang menjelang sore. Jalanan menuju pusat kota mulai padat. Di kursi belakang, Bian bersandar lelah. Tangannya meraih ponsel, sekadar ingin mengalihkan pikiran dari rasa penat setelah terbang seharian. Layar ponselnya menyala. Ada pesan baru dari Clarissa. My Love Good flight? Call me kalau udah di rumah, ya. Miss you. Bian menatap pesan itu lama. Senyum kecil terbit di wajahnya, tapi hatinya berdegup tidak tenang. Ia rindu Clarissa, tentu saja. Sembilan bulan terakhir gadis itu telah menjadi bagian penting hidupnya. Tapi pesan singkat itu malah mengingatkannya lanjutan percakapan mereka tadi malam, tapi hanya melalui chat, sebelum ia kembali terbang pagi ini. 'A', aku nggak mau buang waktu lagi. Aku pengin kita tunangan secepatnya.' Awalnya Bian hanya diam, tidak segera membalas. Ia tidak menolak, tapi juga tidak langsung mengiyakan, dan akhirnya hanya menjawab 'Ok'. Bian Lagi otw pulang, nanti aku telpon. Kini, di dalam mobil perusahaan yang terus melaju, kata - kata itu kembali menggaung. Ia belum pernah bercita - cita untuk menikah dalam waktu dekat. Dunia penerbangan baru dimasukinya beberapa tahun belakangan ini, ia masih ingin meniti karier sampai puncak, setidaknya saat ini ia ingin membuktikan diri sebagai co-pilot yang bisa diandalkan. Pertunangan, apalagi pernikahan, seolah mendekatkan jarak antara dirinya dan tanggung jawab yang belum siap ia pikul. Tapi di sisi lain, ia takut kehilangan Clarissa yang tengah menapaki karier sebagai foto model. Dunia Clarissa berbeda, penuh sorotan, dan mungkin saja akan membawa gadis itu jauh darinya bila ia tak segera mengikatnya. Mobil yang mengantarkan Bian akhirnya memasuki kawasan Cipete, begitu kendaraan berhenti di depan rumah keluarganya, Bian menarik napas panjang, seakan mengumpulkan tenaga untuk sesuatu yang lebih berat daripada mendaratkan pesawat. "Makasih ya, Mas," ucapnya pada sopir, lalu menyelipkan tip sebagai tanda terimakasih. "Sama - sama, Mas Bian. Selamat istirahat," jawab sang sopir ramah. Bian masuk ke dalam rumah dari pintu samping. "Assalamualaikum..." "Waalaikumsalam," sahut dua suara hampir bersamaan dari ruang keluarga. Ia mendapati Mamanya, sedang membuka bungkus rujak buah dalam sebuah mika besar. Sementara itu Papap Owka duduk santai sambil menatap ponselnya, mereka juga masih memakai pakaian rapi, seperti baru pulang dari bepergian. "Baru pulang, ya?" tanya Bian sambil mengecup pipi mamanya. "Iya, habis dari Plaza Indonesia sama Papap," jawab Mama Jani. "Shopping?" goda Bian. Mamanya terkekeh. "Kalau bilang shopping kesannya beli banyak, padahal enggak. Papap cuma butuh kemeja baru, kalo mama cuma beli rujak doang." "Oowh." Bian terdiam sebentar, seperti ragu antara mau ke kamarnya atau tetap disini. "Kenapa, A'?" tanya Mama Jani heran, menatap anak lelakinya yang tampak bingung. Bian menelan ludah. Suaranya terdengar lirih, nyaris ragu. "Kayaknya nanti aku mau ngomong sama Mama sama Papap...soal Clarissa." Mamanya spontan menoleh ke arah suaminya. Papap Owka hanya diam, tapi tatapannya dalam, seolah sudah bisa menebak isi hati putranya. "Kenapa nggak sekarang aja?" ucap Mama lembut. "Papap kan nanti malam terbang." Bian terdiam sejenak, lalu beranjak ke ruang keluarga, duduk di depan Papapnya. Sambil membawa rujaknya, Mama Jani ikut duduk di samping suaminya, menunggu dengan penasaran, apa yang mau dikatakan anaknya tentang pacarnya, apakah mereka putus?. "Mau ngomong apa?" suara papap Owka datar, tapi sorot matanya tajam, membuat Bian merasa seolah sedang berada di cockpit, diawasi captain senior. Bian menghela napas panjang. "Clarissa ngajak tunangan ..." "Tunangan?" seru Mama Jani, matanya membesar. Reaksi spontan itu membuat ruangan seakan bergetar. Papap Owka tidak langsung menanggapi. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, tangannya direntangkan pada sandaran kursi disebelahnya dan kakinya menyilang , lalu menatap Bian lama - lama. Tatapan itu seakan menembus keraguan yang sejak tadi berusaha ditutup - tutupi Bian. Dan Bian sadar, Papapnya bisa membaca kegelisahan itu. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan dilema di antara cinta dan mimpinya sendiri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
20.4K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
180.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.4K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
17.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
230.0K
bc

My Secret Little Wife

read
128.4K
bc

Ibu Susu Anak Dosen Duda

read
4.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook