2. PERTEMUAN PERTAMA

1847 Words
“Flo, lo baik-baik aja kan?” tanya Mirah saat melihat kondisi sahabatnya yang duduk di bawah dengan kaki ditekuk dan dagunya menempel di lutut. “Menurut lo gue baik-baik aja saat tahu hari ini pernikahan pria yang udah nyakitin gue?” tanyanya dingin. Mirah mendesah lemah, ia menghampiri Flo dan ikut duduk di bawah yang beralaskan karpet bulu. Sejak pulang kerja, Flo mengekor Mirah hingga ke apartemen. Ia tahu kalau sahabatnya sedang galau berat. Setelah dua bulan berjibaku dengan sakit hati dan penyembuhan luka, kini pria yang tidak tahu diri itu malah memberi Flo surat undangan pernikahan. Dan berakhirlah Flo kembali menjadi sedih sekaligus marah. “Terus lo mau apa sekarang? Jangan begini Flo, lo udah cukup keluar air mata karena Nino. Masa sekarang sedih lagi sih. Kalau Arga tahu, bisa-bisa itu anak bikin perkara lagi kayak waktu di Bali.” Masih segar di ingatan Flo bagaimana brutalnya Arga saat tahu Nino berselingkuh. Bahkan adiknya tidak segan memberi Nino pelajaran karena telah menyakiti kakaknya. Nino sampai harus dilarikan ke rumah sakit akibat babak belur dihajar Arga. Sebenarnya berlebihan jika harus ke rumah sakit, namun wanita yang menjadi selingkuhan Nino ngotot untuk melakukan visum dan melaporkan Arga ke kantor polisi. Namun entah kenapa Nino tidak menuruti permintaan wanita itu dan memilih melupakan apa yang dilakukan Arga. “Gue mau pulang aja, Mir,” ucap Flo sambil mengusap air matanya. Ia beranjak dari duduknya lalu mengambil tas miliknya di atas sofa. “Lo yakin mau pulang? Nggak nginep aja?” tanya Mirah khawatir. Flo menggeleng, “Gue perlu sendiri,” ucapnya lalu pergi dari apartemen Mirah. Merasa khawatir dengan keadaan Flo, Mirah segera menghubungi Arga agar memperhatikan Flo. Takut jika apa yang dipikirkan menjadi kenyataan karena nampaknya Flo mengalami hal yang lebih menyakitkan daripada kejadian dua bulan lalu. *** Bian sedang mengemudikan mobilnya setelah keluar dari pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa potong kemeja yang akan digunakan untuk bekerja. Beberapa pakaiannya masih di Aussi, lebih tepatnya di apartemen Citra. Ia malas membawa kembali dan memilih membeli yang baru di Jakarta. Bukan hal yang sulit bagi Bian mengeluarkan uang hanya untuk membeli pakaian mahal dari berbagai merek. “Halo, Ar. Ada apa?” ponselnya yang berdering tenyata dari Arga, ia menerima lewat sambungan hands free. “Mas, lagi dimana?” “Aku sedang mengemudi, mau pulang. Ada apa? Kamu terdengar panik.” “Mas bisa minta tolong….” Kini, mobil Bian sudah masuk ke pelataran parkir sebuah tempat yang ramai dikala malam sudah menyapa. Tempat asing bagi yang tidak terbiasa, tapi seperti rumah bagi yang ingin menepis sepi yang kadang menyelimuti hati. Setiap individu memiliki penilaian berbeda terhadap tempat ini. Setelah menerima panggilan dari Arga, Bian segera memutar mobilnya dan memutuskan untuk tidak jadi pulang ke rumah orang tuanya. Ya, Arga meminta bantuan Bian untuk menjemput Flo di sebuah klub malam. Mirah yang khawatir akhirnya mengikuti Flo dan ternyata sahabatnya menuju klub malam. Saat itulah ia menghubungi Arga karena Mirah tidak bisa menemani Flo, dengan alasan ia harus menjemput ibunya di bandara yang datang dari Semarang. Arga yang ternyata sedang di luar kota akhirnya mau tidak mau ia meminta bantuan Bian, pria yang ia percaya bisa menjaga Flo saat kakaknya mabuk. Bian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut klub tersebut. Cukup ramai sehingga ia harus berusaha payah menemukan wanita yang selama bertemu, sikapnya selalu saja datar. Padahal bagi sebagian wanita yang melihat atau kenal dengan Bian, mereka akan sangat terpesona dengan pria itu. Bagaimana tidak, wajah Bian yang tampan, tubuh atletis dengan senyum yang menampakkan lesung pipi sebelah kiri. Belum lagi jika mereka tahu apa jabatan seorang Biantara Nugraha, pasti kegilaan mereka akan semakin menjadi-jadi. Setelah susah payah akhirnya Bian menemukan Flo yang berada di dekat meja bar. Entah sudah berapa gelas minuman yang masuk ke dalam mulutnya hingga Flo tidak menyadari Bian tengah duduk di sebelahnya dan memperhatikannya meneguk minuman dalam gelas. “Flo, kenapa di sini sendirian?” tanya Bian yang tidak yakin kalau Flo bisa memberi jawaban dengan waras. Flo tersenyum ke arah Bian, “Kamu siapa? Kenapa di sini? Aku nggak butuh teman.” Tangan wanita itu mengibas beberapa kali di depan wajah Bian. “Jangan ganggu, jangan ambil minumku.” Bian mendesah pelan, “Kita pulang ya, Flo. Sepertinya kamu mabuk berat.” Pria itu berusaha menyentuh tangan Flo agar tidak meneguk minuman lagi. “Stop!” sambarnya cepat. “Jangan coba-coba sentuh aku. Kamu ini pria kurang ajar, beraninya berselingkuh!” “Flo.” “Mas, kayaknya pacarnya mabuk berat. Patah hatinya besar banget, Mas tega sih cewek secantik ini diselingkuhi.” Ucap pria yang melayani Flo sejak tadi. Raut wajah Bian mendadak masam. “Saya bukan pacarnya, saya diminta tolong adiknya untuk menjemput.” “Dibawa pulang saja Mas, daripada pingsan di sini.” “Ini saya juga sedang bujuk dia untuk pulang,” jawab Bian ketus. Pandangannya kembali pada sosok wanita yang terus sama meracau tanpa jelas apa yang maksud. “Brengsék! Pria bajingán, muráhan, bisa-bisanya lo nikah sama wanita selingkuhan elo,” segala bentuk umpatan lolos dari bibir manis Florensia. “Gue yang nemenin lo dari bawah, tega membuang gue kayak sampah!” Bian mendesah lemah, ternyata sakit hati wanita ini masih begitu dalam sampai berakhir di tempat ini. Pria macam apa yang tega menyia-nyiakan wanita cantik dan giat bekerja seperti Flo. “Flo, sudah jangan minum lagi, saya antar kamu pulang. Oke?”      Tidak lama Flo ambruk tidak sadarkan diri di atas meja bar. “Kalau Arga lihat kondisi kamu, saya yakin dia akan menghajar mantan pacar kamu.” Pada akhirnya Bian harus menggendong wanita itu menuju mobilnya. Samar-samar ia bisa mencium wangi vanila dari tubuh Flo. Meski bercampur dengan bau alkohol, tapi sensasi yang ditimbulkan cukup menggoda bagi Bian. Dengan hati-hati, Bian membaringkan tubuh Flo di atas tempat tidur dengan seprai berwarna putih cerah dengan bed cover warna senada yang tebal. Ia memperhatikan Flo yang bahkan masih mengenakan pakaian kerja yaitu bluse berwarna biru muda dan mini skirt berwarna hitam. Bian membantu melepaskan sepatu yang dikenakan Flo lalu menyelimuti wanita itu agar tidak kedinginan. “Astaga, Flo. Untung berat badan kamu sudah turun. Tidak bisa saya bayangkan kalau Arga tidak bisa membujuk kamu untuk menurunkan berat badan, pasti sekarang pinggang saya sudah encok,” gumam Bian sambil meregangkan ototnya yang lumayan pegal. Bian keluar dari kamarnya lalu segera memberi kabar Arga kalau Flo tidur di apartemennya. Sebenarnya sebelum pulang, Bian sempat mencari kunci pintu rumah Flo, namun tidak kunjung menemukan. Entah di mana wanita itu meletakkannya karena Bian sudah mengeluarkan isi tasnya itu tetap saja tidak ada. Jalan satu-satunya ya membawa Flo ke apartemennya yang selama ini jarang ia tempati. Saat kembali ke dalam kamar untuk memastikan kondisi Flo, mata Bian dibuat membola oleh wanita itu. Bagaimana tidak, kini Flo hanya mengenakan pakaian dalam setelah semua baju dan roknya dilepas begitu saja. Jantung Bian berdekat begitu cepat dan napasnya sedikit tertahan. Bagaimana bisa, seorang Flo kini hampir neked di depan matanya. Ingatan Bian kembali pada kejadian dua tahu lalu dimana Arga tengah sakit dan Flo menengok ke Melbourne. Setelah kembali dari rumah sakit, Bian diminta mampir ke tempat tinggal Arga untuk melihat apa yang Flo lakukan. Karena Bian tidak pernah bertemu dengan Flo, ia menurut saja, mungkin dengan begitu ia tahu siapa kembaran Arga yang selalu pria itu banggakan. Karena tidak kunjung mendapat respon setelah Bian memencet bel pintu apartemen, akhirnya ia langsung masuk karena tahu apa kombinasi angka yang menjadi kata sandi pintu tempat Arga tinggal. Matanya terbelalak dengan mulut terbuka saat melihat seorang gadis tengah menari, berputar-putar sambil menggumamkan lagu yang Bian paham itu adalah lagu dengan Bahasa Korea. Ia yakin kalau yang ada di hadapannya adalah Flo, yang tengah mengenakan bathrobe dengan rambut setengah basah terurai. Bahkan kini Bian semakin terkejut saat tali pengikat bathrobe tersebut lepas dan memperlihatkan bagian terlarang yang kini hanya mengenakan pakaian dalam berwarna hitam legam. Dua benda kenyal itu sungguh sempurna melekat pada tubuh Flo hingga sempat membuat Bian merasakan panas pada tubuhnya. Maka saat Flo sadar ada yang tengah memperhatikannya, otomatis ia menjerit. “Kamu siapa?” Flo mengambil vas bunga yang ada di atas meja kaca ruang tamu. Tangannya sudah bersiap-siap melemparkan benda itu ke arah Bian sedangkan tangan yang satu memegang bathrobe dengan kuat agar tidak terlepas lagi. “Hei! Wait wait, tolong letakkan itu. Jangan sampai benda itu melayang dan melukai saya. Saya masih ingin hidup.” Pandangan wanita itu masih awas, ia tidak ingin tertipu karena ternyata pria di hadapannya adalah penjahat. “Kamu siapa? Kenapa bisa masuk ke apartemen adikku?” “Saya Bian, teman Arga. Dia minta tolong sama saya untuk menemui kamu, dia mau tahu apa yang kamu lakukan saat sendirian.” Flo terdiam, ia mencoba mengingat nama yang disebutkan oleh Bian. Nama yang tidak asing baginya karena sang adik selalu menyebut nama itu ketika mereka berkomunikasi lewat telepon. Tapi rasa kesal dan malu masih menguasai dirinya. Pria asing ini melihat tubuhnya yang polos, sungguh tidak sopan dan benar-benar membuatnya sangat malu. “Flo, saya minta maaf atas kejadian tadi. Saya tidak ada niat jahat atau ingin memanfaatkan situasi.” “Bohong!” “Benar Flo, saya masuk begitu saja karena sejak tadi pintunya tidak kamu buka. Saya khawatir jadi saya langsung saja masuk.” Perlahan Flo meletakkan vas bunga yang ia pegang, lalu duduk dengan hati-hati agar tubuhnya tidak terekspose di hadapan Bian serta tatapan wanita itu juga sudah semakin tenang. “Duduk.” Titah Flo pada Bian. Bian menurut saja, ia masih takut kalau tiba-tiba Flo kembali menyambar vas bunga itu dan melemparnya ke arah dirinya. “Gíla, kakaknya Arga galak banget. Pantas saja kalau tau adiknya sakit bukannya ngomong lembut tapi malah terdengar mau mencincang si Arga,” Bian membatin. Itulah pertemuan pertama Flo dan Bian yang sungguh memalukan baik Flo dan Bian. Sejak saat itu sikap Flo sedikit dingin terhadap Bian. Bian yakin kalau Flo malu dan marah karena ia masuk ke tempat tinggal Arga tanpa permisi dan melihat apa yang harusnya tidak dilihat pria itu. Kembali dengan kondisi Flo saat ini, dengan napas berat Bian mendekati Flo, pandangan matanya menoleh ke tempat lain agar ia tidak menatap tubuh putih dan berisi dari wanita itu. Sebagai pria normal yang pernah menyicipi 'surga dunia' tentu saja pemandangan ini sungguh membangkitkan gáirahnya sebagai laki-laki. Tapi kewarasannya masih tersisa, ia ingat jika Flo adalah saudara Arga yang harus ia jaga. Tidak ingin rasanya mengkhianati kepercayaan yang Arga berikan padanya walaupun sisi lain pada dirinya meminta melakukan hal lebih. Saat Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flo, tiba-tiba saja tangannya ditarik oleh wanita itu hingga tubuh Bian berada di atas tubuh Florensia. Flo membawa Bian dalam cíuman penuh gáirah yang menuntut untuk dibalas. Dengan mata terbelalak, Bian tidak tahu harus berbuat apa. Tapi tidak bisa dipungkiri, ia juga menginginkan Flo, maka yang Bian lakukan sekarang adalah membalas lumátan wanita itu  dengan lembut namun dalam. “Touch me, please,” gumam Flo disela ciuman panas keduanya. “Jangan salahkan saya, Flo,” ucap Bian disela-sela lumatan panasnya. “Kamu yang selalu membuat saya tertarik dan sekarang kamu yang meminta.” ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan* ------------------- Happy reading :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD