Perasaan Asing

1700 Words
“Ngapain lo di sini? Sama cewe cantik lagi ... tumben lo selingkuh dari si artis itu,” adalah Raka, sahabat Akbi yang paling senang berseloroh. Akbi malas menjawab, ia menenggak air di gelas hingga tandas. “Mana motor gue, balapan di mana sekarang?” tanya Akbi. “Nih kuncinya, tapi sekarang lo harus hati-hati ... si David ikut juga, dia saingan berat lo!” kata Zidan yang baru saja memasuki tenda. Akbi berdecih, meremehkan kemampuan lawannya yang menurut Akbi masih jauh di bawah dirinya. “Kamu temennya Akbi? Namanya siapa?” Raka bertanya dengan suara pelan sambil mengulurkan tangan. “Jauhin tangan lo dari dia,” sentak Akbi tegas membuat Raka menarik kembali tangannya tapi Bee malah menyambarnya. “Aurystela Akkeu Quinbee ... panggil aja Bee,” ucap Bee sambil menjabat tangan Raka. Akbi menatap Bee tajam hingga terdapat kerutan di antara alisnya, baru saja dalam hati ia memuji sikap Bee yang melayaninya dengan baik kini gadis itu malah menyambut tangan lelaki lain dengan ramah. Lalu kenapa Akbi harus kesal? Sementara Raka adalah sahabatnya dan nanti pun, Bee dan Raka pasti akan sering bertemu selama setahun pernikahan sandiwara mereka. “Hai Bee, aku Zidan, “ kata Zidan memperkenalkan diri sambil melambaikan tangan. “Hai Zidan,” balas Bee ramah. “Baju gue mana?” Akbi menghentikan sesi perkenalan kedua sahabatnya dengan Bee kemudian beranjak dari kursi panjang berbahan kayu yang sedari tadi ia duduki. Zidan memberikan tas hitam yang ia bawa dari apartemen Akbi. “Gue ganti baju dulu, lo anterin mobil gue ke apartemen ya!” “Ganti baju di mana?” tanya Raka heran. Sementara Zidan mengangguk menanggapi keinginan Akbi kemudian beranjak menghampiri penjual nasi goreng untuk membayar dua porsi nasi goreng pesanan Akbi dan teman perempuannya yang masih misterius. “Di rumah dia, lo tunggu disini!” titah Akbi seraya mengendikan dagu ke arah Bee sebagai kode agar Bee mengikutinya. “Duluan ya Raka ... Zidan,” pamit Bee ramah dan mendapat balasan kata hati-hati disertai lambaian tangan dari dua sahabat Akbi. “Makasih juga traktiran nasi gorengnya,” tambah Bee membuat dua sahabat Akbi itu tersenyum lebar lalu saling melempar pandang. Beberapa tahun lalu, Akbi pernah memperkenalkan Zidan dan Raka dengan Anggit. Ternyata penerimaan Anggit tidak pernah baik terhadap mereka. Bahkan ketika Anggit ikut balapan motor yang diadakan secara legal, Akbi tidak bisa berkonsentrasi karena gadis itu sangat rewel dan banyak mengeluh, berbeda jauh dengan gadis yang bersama Akbi malam ini. Begitu ramah juga sederhana membuat Raka dan Zidan menyukai Bee meski baru pertama kali mereka bertemu. “Kamu mau balapan?” Bee bertanya hati-hati namun beberapa detik berlalu, tidak ada jawaban dari Akbi. “Lewat sini!” ujar Bee lagi ketika Akbi melewati gang menuju rumahnya. “Ya lo tunjukin donk, jalan di depan sana! Gue 'kan enggak tau rumah lo!” Akbi berseru masih dengan nada ketus. “Balapan di mana, Bi?” Bee bertanya kembali namun kali ini tidak berharap Akbi akan menjawabnya. “Enggak usah banyak tanya dan enggak usah ngurusin hidup gue,” jawab Akbi dengan suara pelan namun terdengar dingin. “Oke ... hati-hati ya, aku enggak mau jadi janda sebelum menikah!” celetuk Bee tanpa bermaksud melawak hanya kesal dengan kalimat tidak berperasaan yang diucapkan Akbi tadi. Tanpa Bee duga, Akbi malah tergelak mendengar ucapannya. Setelah itu hanya sisa tawa Akbi yang menemani mereka hingga depan rumah. Tanpa dipersilahkan oleh tuan rumah, Akbi masuk terlebih dahulu. Ia berusaha tidak terganggu dengan kondisi rumah Bee yang kecil dan kumuh. Dirinya kemari hanya untuk berganti pakaian bukan untuk menjadi komentator dalam kehidupan Bee. Bee meminta Akbi berganti pakaian di dalam kamarnya. Kamar gadis itu pun tidak luput dari perhatian Akbi, begitu memprihatikan dengan kondisi lembab dan cat yang sudah banyak mengelupas. Akbi pernah mendengar dari Aldo bila Bee dulunya adalah orang berada, bahkan beberapa kali pergi keluar negri untuk liburan bersama kedua orang tuanya. Tapi setelah sang Bunda meninggal dan perusahaan Ayahnya bangkrut ditambah penyakit yang menggerogoti sang Ayah membuat Bee harus menerima keadaan sulit seperti ini. “Bi, aku serius waktu tadi aku bilang hati-hati ...,” kata Bee ketika Akbi keluar dari kamar. Mata Bee menatap dalam netra pekat Akbi yang juga sedang menatapnya. Sungguh Akbi benci mendapat tatapan mata sayu dengan sorot kepedihan itu. “Iya ... cerewet!” kata Akbi lalu membuang tatapannya dan melangkah keluar dari rumah Bee tanpa pamit. Akbi sudah lupa bagaimana rasanya dikahawatirkan, Mamanya tidak pernah mengkhawatirkannya juga sang Papa yang telah melepaskan tanggung jawab karena memang ia sulit dikendalikan. Sedangkan Anggit, kekasihnya itu terlalu sibuk dengan teman-teman, pencitraan juga pekerjaan. Dan bentuk perhatian yang diterimanya dari Bee semenjak memasuki tenda nasi goreng tadi membuat perasaan asing mulai menyelinap ke dalam hati Akbi. **** Bee menatap dirinya sendiri di cermin, dress berwarna putih lengan panjang berbahan brukat dengan model rok span selutut adalah merupakan pakaian yang dikenakan sang Bunda saat menikah dengan Ayahnya dua puluh dua tahun silam dan kini membalut tubuhnya yang ramping. Bee tidak menyangka bila bodycon dress yang ia kenakan bisa menampakan tubuh sintalnya yang seperti biola karena lekukan pinggang Bee terpampang nyata. Bee tersenyum, sedikit merasa kagum dengan kecantikan gadis yang ada di dalam cermin. Sepatu putih dengan heels tujuh centi peninggalan sang Bunda pun begitu pas dikakinya membuat Bee yang bertubuh mungil nampak jenjang. Bee meraih bando di atas meja yang tadi malam sengaja ia buat untuk acara hari ini. Pernikahannya memang bukan sebuah pernikahan impian tapi Bee menghargai acara sakral tersebut karena melibatkan Tuhan di dalamnya. Bando berbahan brukat berwarna putih dengan payet dan manik mutiara itu nampak cantik di kepala Bee, memisahkan poni dengan rambutnya yang hitam juga lebat. Bee memulas wajahnya dengan sedikit bedak dan lip tint berwarna pink membuat bibir mungilnya nampak lembab dan berwarna. Beruntung hari ini hanya ada satu mata kuliah sehingga Bee bisa pulang terlebih dahulu untuk menyiapkan diri. Bee tidak ingin Beni merasa bila ia tidak menghargai keinginan calon mertuanya itu. Bagi Bee, Beni terlalu baik untuk dikecewakan. Jantung Bee mulai berdetak kencang seiring dengan bunyi jarum panjang pada jam yang tergantung di dinding. Detik demi detiknya berlalu begitu cepat menuju waktu yang telah ditentukan pada jam di mana ia akan mengikrarkan janji sucinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tangan Bee terasa dingin dan basah, memikirkan bila dirinya nanti harus berbohong kepada semua orang juga Tuhan untuk menjadi seorang istri mengarungi bahtera kehidupan hingga maut memisahkan bersama Akbi. Padahal meraka telah membuat perjanjian, hanya satu tahun saja akan menikah sekedar mengikuti keinginan Beni dan setelah itu mereka akan bercerai. Baiklah, mungkin Beni dan semua orang bisa ia tipu tapi membohongi Tuhan apa ia mampu? Sedangkan Yang Maha Kuasa bisa membaca apa yang ada di hati dan pikirannya. Bee terduduk lemas, ingin menangis karena belum juga ia berbohong tapi sudah merasa sangat berdosa. “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Ampuni aku ya Tuhan,” gumam Bee sambil memejamkan matanya. Sungguh ia lupa akan neraka ketika mengucapkan rencana menikah hanya satu tahun ini kepada Akbi. Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan di pintu menyadarkan Bee dari segudang rasa bersalah dalam lamunannya. Kepalanya menoleh sambil beranjak dari sisi tempat tidur, ia menerka bila yang ada di balik pintu adalah orang suruhan Beni. Berjalan perlahan keluar kamar, Bee membuktikan itu ketika sudah berada di ruang tamu membuka pintu. Aldo menatapnya dengan ekspresi datar namun sorot mata itu terlihat penuh takjub. Gadis polos dan lugu di mata Aldo kini bermetamorphosis menjadi wanita yang cantik natural dengan tubuh yang telah terbentuk sempurna. Aldo pernah bertemu Anggit beberapa kali, gadis itu memang cantik dengan tubuh ramping seperti penggaris tanpa lekukan di tempat seharusnya dan Aldo tidak mengerti kenapa anak dari Bosnya itu bisa menyukai Anggit. Sedangkan gadis cantik di depannya ini memiliki tubuh seindah biola yang merupakan idaman para pria dan bisa membuat pikiran para pria berkelana. Bahkan Aldo pun nyaris meneteska air liur karena sebagai pria dewasa, ia memiliki kebutuhan sendiri yang bila melihat tubuh sexy meskipun terbalut pakaian tertutup namun tetap saja dapat membuat perasaannya tidak menentu. Aldo berdekhem untuk mengenyahkan segala pikiran erotis tentang calon istri dari anak Bosnya. Berkali-kali ia mengumpat di dalam hati namun juga merasa puas karena Akbi pasti akan terkejut melihat Bee dan tidak akan mampu menolak pesona gadis itu. Dengan pakaian sederhana saja dan tanpa make up, Bee sudah terlihat sangat cantik. Bagaimana bila Bee mengenakan gaun pengantin mahal dengan make up dari tangan-tangan terampil penata rias profesional? Aldo yakin tidak lama lagi Bosnya akan memiliki cucu, di dalam hati ia tersenyum bahagia. “Udah siap?” Aldo bertanya lembut dan langsung mendapat anggukan dari Bee. “Aku ambil tas dulu ya, Kak!” Bee masuk kembali ke dalam kamar, mengambil tas kecil yang juga senada dan cocok dengan outfit yang sedang di gunakannya. Sudah tentu semua itu milik sang Bunda. Setelah mengunci pintu, Bee dan Aldo berjalan beriringan hingga ujung gang. Beberapa orang memperhatikan mereka namun tidak Aldo hiraukan sementara Bee hanya menunduk tidak kuasa meski hanya tersenyum ramah membalas tatapan mereka. Di ujung gang, mobil MPV premium berwarna hitam telah terparkir siap untuk mengantar Bee menuju kantor urusan agama. “Om Beni mana, Kak?” tanya Bee setelah duduk di kursi kabin tengah. “Pak Beni sudah di sana bersama Akbi,” balas Aldo singkat. “Mamanya Akbi juga ada di sana?” Bee kembali bertanya kali ini begitu hati-hati, entah kenapa ia memiliki perasaan buruk kepada istri Beni. Mungkin karena selama ini wanita itu tidak pernah memperlihatkan dirinya. “Enggak, Nyonya lagi ada arisan bersama teman-temannya,” balas Aldo membuat kening Bee mengkerut. Ibu macam apa yang malah pergi arisan ketika anak semata wayangnya menikah? Seketika hati Bee menciut, perasaannya semakin tidak karuan karena apa yang dipikirkannya selama ini mungkin saja benar. “Kak,” panggil Bee pelan nyaris tidak terdengar namun Aldo yang siap tanggap langsung menyaut, “Kenapa?” “Setelah menikah, Bee tinggal di mana?” Pertanyaan Bee tadi membuat Aldo menghembuskan nafas kasar. Mungkin karena Aldo telah mengetahui betapa bencinya Diana kepada Miranda dan yang akan menjadi menantunya saat ini adalah anak dari wanita tersebut. “Nanti kamu tinggal di rumah Pak Beni, tapi kalau kamu ngerasa enggak nyaman ... kamu bisa bilang sama Akbi untuk pindah rumah,” jawab Aldo singkat namun dapat menenangkan hati Bee.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD