When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Bunda terus menangis. Ini sudah hampir tengah malam, dan tangisan Bunda belum juga ada tanda-tanda akan berhenti. Kak Dila di sebelah Bunda terus mencoba menenangkan, sementara Ayah masih di halaman belakang sedang menelfon seseorang. “Bun, aku baik-baik aja. Bunda udah ya, nangisnya?” Bunda sempat mengusap air mata, sebelum akhirnya menatapku dengan tatapan khawatir. “Kamu berhenti saja, Al. Udah nggak perlu menyelidiki kasus kematian Vita lagi. Kamu udah dalam bahaya.” “Bun, andai aku berhenti sekarang, semua sudah terlambat. Pelakunya terus saja mengirimiku pesan teror meski aku sudah diam. Satu-satunya cara agar teror berhenti ya pelakunya harus ditangkap.” Bunda kembali diam. Begitu Ayah kembali masuk, Bunda langsung berdiri. Ayah segera menggenggam tangan Bunda dan mengajak m