“Bukannya kalian berdua saling mengenal?” ujar Nyonya Fatmawati, setelah berhasil menyeret Safana dan Shaka duduk berseberangan. Beliau terlihat tenang sekaligus anggun, khas wanita terhormat zaman dulu. “Nak, tidak ada aturan khusus di keluarga ini. Asal itu perempuan, satu agama, sopan, jujur, dan rendah hati, maka semuanya tidak masalah. Soal orang tua, itu bisa diatur. Yang terpenting sekarang adalah kebahagiaanmu.”
“Apa maksud Oma?” Sebelah alis Shaka terangkat. Terang-terangan dia menampilkan raut tidak suka, seolah-olah baru saja disinggung dengan cara paling memalukan. “Kubilang tidak ada apa-apa. Aku lebih dulu memberitahu opa, harusnya kalian sudah mengerti sejak awal. Dan apa-apaan ini? Kenapa dia dibawa ke sini? Dia tidak sepenting itu, Oma.”
“Baiklah, Oma tidak memaksa. Mungkin sekarang memang tidak ada apa-apa, belum. Tapi sebagai ganti, Oma ingin kau lebih lama di sini. Sementara untuk Safa, cukup temani tuan muda. Kerjaanmu tidak terlalu berat, karena yang lain mengambil alih.” Setelah berucap, Nyonya Fatmawati langsung bangkit, membuat Safana makin menegakkan punggung. “Habiskan waktu dengan bicara banyak hal. Keluar kalau memang sudah kehabisan bahan.”
“Oma, ayolah. Aku bekerja. Aku bawahan Rajata. Dia memegang kuasa soal gaji. Kehidupanku bergantung di sana,” protesnya dengan wajah kesal, tapi berusaha mengendalikan mimiik wajah. Shaka tahu dia sudah berubah. Semenjak oma dan opa lebih memihak Rajata–dalam kasus percintaan–Shaka si anak baik dan sopan hilang begitu saja. “Dia tidak ada hubungannya denganku. Tidak akan pernah. Apa pun yang kalian pikirkan, semuanya tidak benar.”
“Jangan benci, takutnya besok cinta, Nak.” Kemudian Nyonya Fatmawati melenggang anggun, tapi saat melewati Safana, beliau berhenti sejenak. “Tidak apa. Dia tidak akan menyakiti perempuan. Santailah, wajahmu terlalu pucat. Cucu saya memang ketus, tapi setelah mengenal lebih jauh, dia jauh lebih manis dari yang kau bayangkan.”
“Oma, stop! Itu menggelikan.”
Nyonya Fatmawati tertawa kecil, lalu benar-benar keluar. Safana sempat mengikuti gerak punggung beliau sambil menelan ludah gugup. Bibir Safana sudah membuka dan menutup, ingin meminta pertolongan namun kata-kata susah keluar. Dia hanya meremas-remas kursi, duduk gelisah dengan jari-jari kaki menekuk di atas sendal khusus. Andai setengah jam dia tidak bisa keluar dari ruangan ini, Safana sudah menyiapkan pesan terakhir untuk ibu dan adik-adiknya. Isinya tentang, betapa dia menyayangi mereka dan tidak ingin mereka bersedih terlalu lama.
“Dari sekian banyak pelayan, kenapa kamu yang dihadapkan pada saya?” Shaka menatap Safana datar, sedangkan Safana tidak bisa diam karena kepala toleh sana dan sini. “Oma saya mungkin butuh hiburan, lalu melihatmu seperti anak itik tersesat, dia tergugah mengajak. Harusnya kamu tunjukkan sisi angsa, tidak boleh sembarang mengiyakan dan tegas menolak. Bukannya kamu ke sini untuk bekerja?”
“Me-menolak sama saja dengan memotong urat nadi di leher saya.” Itu kalimat pertama yang Safana keluarkan, setelah berhasil menemukan suara. “A-andai saya berani, saya nggak akan masuk sini. Kita nggak akan ketemu dan saya nggak akan gemetar ketakutan begini. Lebih baik saya disuruh kerja dua kali dua puluh empat jam, daripada di satu ruangan yang sama dengan Tuan Muda dan Nyonya Fatma.”
“Dalam pandanganmu, kami seperti orang jahat,” cibir Shaka dengan alis menukik tajam, ingin mengintimidasi Safana. “Jadi, selama tidak ada pertemuan kebetulan, apa yang kamu lakukan? Bergaul dengan para berondong lagi, berjalan bergandengan tangan di muka umum, tertawa cekikikan lalu bersikap manja? Begitu?”
Safana ternganga mendengar rentetan tuduhan Shaka. Benar-benar tidak tertolong lagi, yang laki-laki itu katakan tidak ada duanya. Parah dan sangat tidak benar! Rupanya setelah pertemuan di sekitaran lapangan tenis waktu itu, kesalah-pahaman berlanjut sampai sekarang. Karena Safana jalan sama Rian, Shaka jadi menganggap selera Safana adalah berondong. Mengingat dua kali bertemu, dia memang jalan dengan yang lebih muda.
Ch, menyebalkan! Safana tidak mau diam saja kalau dituduh demikian. “Memang apa ya urusannya sama Tuan Muda?” Seakan sudah berhasil mengumpulkan kekuatan, Safana kembali dengan kepercayaan diri penuh. Tangannya mengepal di paha, dengan tatapan berapi-api ke arah Shaka. “Gandengan tangan sama cekikikan, itu urusan saya. Suka-suka saya. Kalau iri, cari juga dong cewek yang lebih muda. Atau Tuan Muda yang jadi berondongnya dengan mengencani tante-tante.”
“Mulutmu seperti keran bocor. Jangan pernah samakan saya dengan para gandenganmu. Jangan samakan saya sepertimu, karena jelas berbeda jauh. Lagipula, di mata saya kamu tidak semenarik itu. Jadi, jangan terlalu percaya diri. Mereka-mereka yang pernah mengajakmu jalan, sepertinya punya masalah dalam penglihatan.”
Padahal perpustakaan ini ber-ac, tapi Safana merasa gerah. Dia langsung berdiri, mengibas-ngibas bagian depan seragam yang dia kenakan. Mungkin wajah Safana memerah sekarang, marah campur emosi karena Shaka yang menyebalkan. “Saya juga nggak mau sama Tuan Muda. Nggak keren. Jahat. Nakutin. Jengkelin. Kalau aja Tuan Muda itu mie lidi, sudah saya gigit dan kunyah sampai jadi remahan kecil, lalu saya telan dan saya cerna jadi sisa-sisa makanan.”
“Ke sini kamu. Bisa-bisanya menyamakan saya dengan kotoran.” Shaka memberi isyarat dengan jari-jarinya, meminta Safana mendekat namun perempuan itu memasang kuda-kuda untuk menyelamatkan diri. “Kamu masih tidak lupa ancaman saya waktu itu? Sekali lagi kamu berulah, tubuhmu saya patah jadi empat bagian. Lalu saya jadikan umpan buaya di ragunan.”
“Mengerikan! Tuan Muda itu kayak psikopat!”
“Kamu yang buat saya demikian,” balas Shaka dengan seringaian, yang mana membuat Safana menelan ludah gugup. Sekarang posisinya, Shaka mendekat sementara Safana mundur pelan-pelan. Well, ini mulai menarik. Ekspresi tidak berdaya Safana sangat menghibur, meskipun dari segi kata-kata, dia memang lancang. “Kamu tahu tujuan oma minta kita bicara? Karena beliau pikir, urusan kita sebaiknya diselesaikan. Selesai dalam artian, memberimu pelajaran supaya tidak ceplas-ceplos tanpa aturan.”
“Ma-ma-mana bisa!”
“Bukannya pelayan tahu etika? Berapa lama kamu bekerja di mansion Rajata? Kamu pasti tahu seperti apa pria itu. Sebagai sepupu, sudah tugas saya untuk mendisiplinkan para pekerjanya. Orang pertama yang saya disiplinkan adalah kamu. Ke sini, berdiri di depan saya. Biar saya ajari tata krama.”
“Ng-nggak akan mau dan nggak akan sudi! Terima kasih, permisi!” Dalam sekali kedip, Safana sudah berlari menuju pintu. Tadi nyaris saja dia jatuh, karena kaki kanan sempat membelit kaki kiri. Tapi Dewi Fortuna berpihak, karena pijakan Safana termasuk kokoh dan keseimbangannya cukup terjaga. Sehingga tidak butuh waktu lama dia bisa berdiri tegak, sampai di pintu kemudian meraih handle dan menekannya dalam-dalam.
Bola mata Safana nyaris menggelinding keluar mendapati pintu ternyata terkunci. Bibirnya perlahan melengkung ke bawah, sementara telapak tangannya mulai menggedor-gedor. “Tolong buka, ada seseorang di dalam sini ... buka tolong ... ibu huhuhu kayaknya umur Safa nggak akan lama lagi ...”
Benar-benar drama. Shaka sampai menggelengkan kepala, mendengar tindakan Safana yang dilebih-lebihkan. Memang dari awal perempuan ini tingkahnya aneh. Seperti bipolar, keberanian dan moodnya berubah-ubah. Membuat Shaka jengkel di satu sisi, bingung di sisi lainnya. Tidak jarang dia merasa lucu, apalagi melihat wajah ketakutan dan tersudutnya Safana.
“Ruangan ini kedap suara, jadi semua yang kamu lakukan sia-sia.”
Mendengar itu, Safana otomatis berbalik. Dia menatap Shaka dengan mata redup, kemudian detik selanjutnya mengambil langkah paling putus asa–menekuk kedua kaki, dengan telapak tangan menangkup di atas kepala. “Tuan Muda maaf! Demi dunia dan seisi-isinya, saya janji nggak begini lagi! Saya janji jadi manusia baik, berjalan sesuai jalur dan nggak akan macam-macam!”
Benar ‘kan apa yang Shaka bilang? Safana memang out of the topic. Sering membuat kejutan, yang mana kalau dilihat-lihat malah jadi lucu. Shaka yang awalnya ingin serius-pun berubah tidak tahan. Melipat dan menipiskan bibirnya dalam-dalam, supaya tidak melepaskan senyum bahkan parahnya tawa.
“Minggir.”
“A-aapa?”
“Menjauh dari sana, saya mau ke pintu.”
Secepatnya Safana menyingkir, membuat jarak lebar antara dirinya dan Shaka. Sambil menelan ludah, Safana menyaksikan Shaka berjalan begitu percaya diri. Sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana, sementara sebelahnya lagi mulai terulur pada handle pintu. Saat Safana perhatikan dengan saksama, dia langsung ternganga mendapati Shaka membuka dengan mudahnya.
“Bodoh sekali. Hal seremeh ini jadi sulit karena panikmu yang berlebihan,” cibir Shaka dengan ekor mata tertuju pada Safana. “Jangan pernah bertindak seperti ini di depan orang lain, atau kalau tidak, kamu dipandang menggelikan oleh mereka.”
Setelah itu dia melenggang ke luar, meninggalkan Safana dengan mulut membuka, lalu perlahan mengantup dengan sendirinya. Dengan hati-hati Safana bangkit, meneliti sekitaran pintu kemudian menggerutu sambil memukul pelan, “Andai aku tahu putaran kuncinya ada di sini, nggak akan aku sepanik tadi. Safa benar-benar i***t!”
***
Malam tiba, ruang tamu rumah utama dipadati para undangan. Relasi bisnis bertebaran, jas-jas mahal terlihat di berbagai sisi, begitu juga gaun dari perancang busana ternama berwara-wiri. Safana yang mengintip, diam-diam berdecak kagum. Tua dan muda sama-sama terlihat elegan dan berkelas. Membuat Safana iri sedikit, tapi selebihnya hanya terpesona semata.
“Hei, ngapain? Ayo, kerja!” Safana terperanjat saat pundaknya ditepuk. Setelah berbalik, dia mendapati Mirna–pelayan di rumah utama–menatap galak. “Yang lain sibuk, kamu berleha-leha di pintu. Jangan jadi penikmat bonus buta. Semua harus dikerjain merata, supaya adil dan nggak ada kecurangan.”
“Iya-iya. Ini mau kerja,” balasnya dengan bibir mengerucut, kemudian meninggalkan Mirna beserta dengkusan pelan. Tugas Safana di sini sebagai bagian kebersihan, semacam mengangkat-angkat gelas dan piring kotor, membawanya ke dapur. Dia bisa berkeliaran di tengah acara, karena di sana area kerjanya.
Safana berjalan dengan kepala sedikit didongakkan. Dia melewati cela kelompok yang sibuk bicara mengenai saham dan lain-lain, kemudian menajamkan penglihatan untuk memindai gelas dan piring yang sudah tidak dipakai. Langkah Safana tertuju pada meja-meja yang ada di sudut ruangan, karena yang dicarinya ada di sana.
Beberapa orang dengan tidak tahu dirinya bersiul menggoda, membuat Safana menggerutu dalam hati. Andai dia orang yang bersumbu pendek, pasti bapak-bapak tua dengan rambut bersih di tengah kepala langsung dia tinju detik itu juga. Tapi, Safana masih waras. Dia menyayangi pekerjaannya, untuk itu tidak mau membuat kehebohan di tengah acara.
Langsung Safana menumpuk piring jadi satu, kemudian mengambil nampan untuk meletakkan gelas-gelas berkaki. Dirasa cukup untuk dibawa, Safana mengangkat tanpa kesulitan. Dia berbalik dengan tenang, berjalan menuju belakang untuk ke bagian pencucian. Namun sebelum melewati pintu, Safana mendengar insiden kecil. Di antara kerumunan, dia mendapati Shaka marah-marah dan yang lain meminta maaf. Setelahnya semua berakhir, tanpa kejelasan karena Safana tidak tahu masalahnya sama sekali.
Dia kembali pada realita, lalu segera beranjak ke dapur. Kiranya ada lima sampai delapan orang di sini, mereka bergerak cekatan dan terampil membersihkan gelas dan piring. Sampai bersih kinclong, tanpa meninggalkan satupun noda-noda.
“Kayaknya kalian bisa istirahat sebentar, karena di depan lumyan lenggang,” kata Safana setelah menaruh di sisi counter. “Aku mantau lagi di luar. Kalau udah banyak, pasti ke sini dan ngasih tau kalian.”
“Iya, Fa. Makasih banyak.”
“Sama-sama,” balasnya dengan senyuman.
Safana membawa kakinya melewati pintu, tapi urung mendapati panggilan dari Lidia–masih pelayan di rumah utama. “Kalau tidak ada kerjaan, tolong ke ruang santai. Kasih handuk di walk in colset, jangan lupa bawakan kemeja putih. Tadi ada yang ketumpahan minum, pakaiannya jadi basah.”
“Oke, Lia!”
Segera Safana menjalankan titah. Dia pergi ke walk in closet yang dimaksud. Letaknya ada di penghujung lorong kamar. Di sini isinya untuk umum, semua keperluan perempuan dan laki-laki tertata begitu lengkap. Andai ada yang menginap tanpa membawa pakaian, maka tentu tidak akan kesulitan karena hampir semua sudah tersedia.
Senada warnanya Safana mengambil handuk dan kemeja putih. Satu detik setelah keluar dari walk in closet, dia langsung berbalik arah menuju ruang santai. Demi apa pun, jarak yang membentang membuat Safana ngos-ngosan. Ini yang tidak dia sukai dari rumah besar, terlalu banyak jarak dan terlalu banyak ruangan. Membuat tenaga terbuang sia-sia dan sangat menjengkelkan.
Intinya siapa pun yang membutuhkan kemeja ini, Safana tidak akan sungkan mengomeli nanti. Dia sudah kecapekan, karena banyak bergerak dan merasa tersengal-sengal. Mungkin nanti Safana akan sedikit berani membicarakan perihal kalau tidak tahan alkohol, harusnya jangan coba-coba mencicipi. Karena sangat merepotkan sekali.
Kaki Safana berhenti tepat di depan pintu ruang santai. Sebelum mengetuk, dia menarik napas berat kemudian mengembuskan perlahan. Berulangkali dia lakukan, sampai merasa cukup tenang dan normal. Selanjutnya Safana mengetuk, kemudian menunggu selama beberapa saat.
Mendapat tidak ada sahutan, Safana nekat masuk. Dia belum bisa fokus karena mendorong pintu perlahan, membuat dirinya berada di dalam lebih dulu, setelah itu menutup kembali. Kemudian Safana bicara sambil berbalik, “Pak, ini handuk dan kemeja yang Anda butuh–astaga naga janda duda, Tuan Muda kenapa lepas baju di depan saya?!”
***