BAB 10 – Safana Terjebak Lagi

2458 Words
Mendengar Safana akan pergi ke pesta ulang tahun, Kamania yang paling antusias menanggapi. Bukan tanpa alasan, sebab dia menawarkan sesuatu yang membuat mata Safana berbinar-binar sekaligus tidak percaya. Dia ingin mendandani Safana, dengan membawa serta Megan dan Mara di dalam rencana tersebut. Tentu Safana tidak menolak, karena di lubuk hati terdalam tawaran ini yang amat sangat membantu. Dia yang minim pengalaman pergi ke acara-acara, jelas tidak tahu pakaian apa yang mesti dikenakan. Untuk itu dia berharap banyak pada tangan-tangan terampil, karena menurut Safana, semenjak Kamania jadi istri dan cucu menantu keluarga Adyatama, penampilannya jadi anggun dan modis. Safana sampai terkagum-kagum melihat selera berpakaian Kamania sekarang. Sekarang jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Mereka berempat sudah berkumpul di salah satu kamar tamu mansion. Mengelilingi Safana, dengan kedua tangan masing-masing memegang sesuatu. Kamania dengan dress baru miliknya yang agak kebesaran, sementara Mara menggenggam alat pencatok rambut, lalu Megan bersama tas make up. “Safa malam ini harus cantik. Buat semuanya pangling,” ujar Kamania dengan tatapan penuh tekad. “Nanti pergi diantar sopir, pulangnya juga dijemput. Tapi ini bukan seperti cinderella, karena nggak ada batasan. Asal Safa bisa jaga diri, maka dibebas sampai jam berapaun di sana. Kalau udah pengin balik, baru Safa telpon Pak Yusa.” “Memangnya nggak pa-pa? Tanggapan Tuan Raja gimana? Takutnya nanti, aku dimarahin terus dipecat. Ini termasuk berlebihan, Nyonya. Harusnya dibatasi, biar aku nggak semena-mena keluar malam lagi. Di sini aku itu kerja, bukan untuk senang-senang. Kebaikan kalian itu sudah sewajarnya membuatku tahu diri.” “Aku sependapat dengan Safa. Nyonya, jangan terlalu memanjakan anak beruang ini, nanti dia melunjak. Bukan meragukan, tapi hanya khawatir saja. Kita nggak tahu temannya seperti apa, jadi untuk jaga-jaga, selalu batasi pergerakan Safana. Terutama kalau keluar malam. Dia itu berlagak tahu semuanya, padahal dalam pengalaman nol besar. Wajar khawatir, karena modelan Safana ini omongan besar tapi keberanian kecil.” Safana meringis mendengar kata-kata Mara. Semua itu tepat, hingga tidak ada lagi cela untuk menyangkal. Lagipula alih-alih tersinggung, Safana justru senang Mara mengenalnya luar dan dalam. Semacam, ini membuktikan kalau kedekatan mereka bukan main-main. Bahkan keluarga saja tidak ada yang mengenal Safana sebanyak Mara mengenalnya. “Tuan Raja tidak perduli hal semacam ini, tapi beliau selalu mengizinkan kalau istrinya yang meminta.” Ucapan Megan, membuat Kamania bersemu malu. Hal itu memancing tatapan geli dari mereka. “Intinya semua keputusan ada di tangan Nyonya Kama. Tapi Safa si empu diri juga harus bisa membuktikan kalau dia tidak akan terlibat dengan hal-hal yang merugikan. Karena seperti yang dibilang tadi, di sini dia bekerja, bukan untuk bersenang-senang.” “Aku berani jamin kalau nggak akan terlibat hal negatif. Aku juga membatasi diri, sebisa mungkin nggak bertindak sesukanya hanya karena punya teman baru. Kalau wakunya bekerja, aku akan bekerja. Kalau waktunya istirahat, aku akan istirahat. Kalau waktunya kuliah, aku akan kuliah. Lalu misal ada tugas, aku izin seperti biasa untuk keluar. Sementara kalau jalan-jalan, aku usahakan di hari libur saja. Supaya semuanya masih dalam kendali dan nggak melanggar jadwal yang ada.”  Untuk sesaat, keheningan melingkupi. Tapi tidak lama kemudian, Kamania mengangguk juga tersenyum lebar. “Kami percaya Safa. Nanti kalau ada apa-apa, kita diskusi lagi seperti ini. Soal Mas Aja, biar Kama yang bicara. Dia nggak pernah melarang, selagi nggak melanggar aturan. Jadi ... Safa tolong jangan kecewain kami, ya?” “Aku nggak janji, tapi akan kuusahakan, Nyonya,” ucapnya dengan sungguh-sungguh. Hal itu membuat Mara mendekat, mencubit pipinya tanda bangga. Membuat Safana mengerucutkan bibir, agak kesal karena merasa kesakitan. “Jadi, malam ini aku diizinin pergi, kan? Nggak usah dibebaskan, karena pukul sebelas nanti aku pasti balik. Serius.” “Setuju. Lewat dari jam sebelas, Safa siap-siap dapat hukuman,” putus Megan tanpa diganggu gugat. Sekarang dia mulai mendekati Safana, mengkode dengan tatapan untuk segera duduk di kursi depan meja rias. “Kalau tidak ingin terlambat, sekarang duduk diam dan menurut. Kami perlu mengubahmu jadi angsa.” Safana menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Setelah merasa siap, dia langsung mengangguk mantap. Penampilan malam ini, dia pasrahkan pada Kamania, Mara dan Megan. Tidak dipungkiri Safana deg-degan, tapi dia ingin tampil semaksimal mungkin karena ini acara pertama yang dia hadiri setelah sekian lama hanya fokus bekerja dan bekerja saja. *** Saat kakinya menapaki aspal, tatapan semua orang otomatis tertuju pada Safana. Mereka-mereka yang baru tiba, bahkan ingin memasuki cafe, seketika dibuat berhenti dan bertanya-tanya. Sebagian ada yang terkesima, mungkin penampilan Safana membuat mereka pangling sekaligus tidak menyangka. Satu-satunya perempuan dewasa di kelas mereka, ternyata berkali-kali lipat lebih menawan dalam balutan lace dress soft pink, panjangnya selutut tanpa lengan. Hal tersebut membuat Safana gugup, tapi sama sekali bukan dirinya kalau terlihat canggung dan linglung. Untuk itu dia berubah ke mode percaya diri, dengan dagu sedikit didongakkan serta menaikkan tali sling bag yang tadi sempat merosot. Dia sempat mencondongkan badan ke depan, hanya untuk berpamitan pada Pak Yusa. “Terima kasih banyak, Pak. Nanti aku telpon kalau udah mau pulang.” “Iya, Fa. Ingat apa yang tadi nyonya bilang, jaga diri baik-baik. Megan juga berpesan, kalau ada yang bersikap aneh, langsung tendang tulang keringnya lalu pergi ke tengah kerumunan supaya aman. Jangan pernah titipkan tas ke teman-temanmu. Bapak bukan mau curiga, hanya saja ingin kamu berhati-hati.” “Siap! Akan aku ingat semua-muanya. Hati-hati di jalan, Pak Yusa!” Safana melambaikan tangan setelah menutup pintu mobil. Pun Pak Yusa sendiri membunyikan klakson sebagai tanda pamitan. Perlahan tapi pasti, mobil yang beliau kemudikan berjalan menjauhi Safana. Membuatnya menatap selama beberapa saat, kemudian berbalik saat mendengar ada yang memanggil. Betapa senang Safana melihat Melly dan Olin yang baru datang. Keduanya mendekat, membuat Safana menyambut dengan tangan terbuka. “Aku kira kalian sudah di dalam. Soalnya ini udah lewat dari jam delapan.” “Enggak, aku jemput Olin dulu. Eh, Mbak Safa tadi diantar siapa?” tanya Melly kepo. Dia juga meneliti Safana dari atas ke bawah, kemudian tersenyum sampai matanya menyipit. “Kayaknya Tessa kalah saing, soanya Mbak Safa cantik banget. Benar-benar nggak kayak anak kuliahan. Ini perempuan dewasa.” Dia tersipu dipuji, tapi tidak ingin larut karena tidak mau besar kepala. Untuk itu Safana mengibaskan tangan, lalu menarik lengan Olin dan Melly untuk segera masuk ke dalam cafe. Acara sudah dimulai, bahkan sampai pada tahap hampir meniup lilin. Mereka bergegas ke depan, berdiri di dekat panggung bersama yang lain, berhadapan langsung dengan Tessa dan kedua orang tuanya. Yang datang mungkin tidak hanya kelas mereka saja, karena ada beberapa wajah-wajah asing yang Safana tangkap. Rata-rata mereka seumuran Melly dan Olin, yang lebih tua mungkin tidak banyak, salah satu di antaranya adalah Safana. Karena ini acara anak remaja, jadi tidak mengherankan cafe bergaya kasual. Sangat jauh dari sentuhan formal. Lagu ulang tahun serempak dinyanyikan. Para tamu undangan mulai bertepuk tangan, termasuk Safana yang agak kesulitan karena posisinya sedang memegang paper bag. Tadinya Safana mau menyerahkan kado lebih dulu, tapi karena sudah memasuki acara inti, terpaksa ditunda dulu sampai ke bagian pemotongan kue selesai. Dia ikut merasakan senang saat melihat Tessa dipeluk orang tuanya. Terlihat jelas kalau Tessa anak tunggal dan tentunya teramat disayangi. Ditambah penampilan khas orang berada, membuat pemandangan di depan terasa sempurna. Dalam diam Safana menghela napas, karena tiba-tiba dia merindukan bapak. Kedekatan Tessa dan papanya membuat Safana menjerit iri. “Mbak Safa, Riko kayaknya mau ke sini.” Bisikan Olin membuat Safana tersadar. Dia langsung menoleh ke sumber yang dimaksud, kemudian berdecak pelan karena merasa terancam. “Duh, aku sempat lupain dia. Tapi kayaknya sekarang nggak bakal tenang lagi.” Kemudian Safana mendengkus, agak kesal saja. “Riko kayaknya batu banget. Dibilang jangan dekat-dekat, malah bertindak sebaliknya.” “Kenapa nggak coba terima aja, Mbak? Lagipula semakin diusir, cowok itu semakin tertarik. Siapa tahu setelah Mbak Safa melunak, dia nggak punya gairah lagi buat dekat-dekat. Karena merasa sudah berhasil digapai.” “Nggak bisa, Mel. Pura-pura aja rasanya berat banget. Aku tuh gini, kalau kesal sampai ke ujung dunia-pun aku ungkit-ungkit. Kesannya memang jahat, tapi ini bentuk perlindungan diri, karena takut bakal kecewa lagi. ‘Kan nggak ada yang bisa menjamin, apakah orang tersebut benar-benar berubah, atau masih sama.” “Iya juga, sih. Ah, pokoknya terserah deh, Mbak. Aku agak capek mikirin kalian yang terlalu ribet.” Olin tetiba menggerutu, membuat Safana dan Melly otomatis tertawa geli. Setelah itu mereka mengembalikan fokus pada Tessa, melihat interaksi manisnya saat menyuapkan kue pada sang mama. Saat semua orang bersorak dan bertepuk tangan, Safana juga turut melakukannya. Namun itu terhenti ketika tangannya tiba-tiba ditarik, membuat Safana mundur ke belakang lalu menggerutu pelan setelah melihat wajah pelakunya. “Apa lagi sih, Ko? Nggak ada habis-habisnya kamu gangguin aku.” Alih-alih menjawab, Riko justru meneliti penampilan Safana. Semacam terpaku, dia sama sekali tidak berkedip. Deru napasnya terdengar jelas, membuat Safana agak risih juga berusaha melepaskan diri. Tapi sayang, Riko terlalu kencang menggenggam, membuat Safana tidak mudah terbebas. “Aku nggak mau kita jadi pusat perhatian, tapi kalau kamu keras kepala, aku pasti gunain segala cara untuk menjauh,” ancam Safana tidak main-main. “Termasuk berteriak dan bilang kalau kamu berbuat nggak senonohh sama aku. Biar kamu dipandang beda sama semua orang, bahkan dimusuhi.” “Mbak, lo keterlaluan banget.” “Enggak. Aku cuma mau kamu berhenti. Apa itu salah?” “Kenapa susah sekali memberi kesempatan kedua? Kali ini nggak ada niat lain lagi, murni berteman. Lo bisa pegang kata-kata gue, Mbak. Misal belum percaya, cukup kasih gue waktu buat buktiin semuanya.” “Sayangnya aku nggak mau.” Riko mendengkus kasar, Kali ini dia melepaskan tangan Safana, karena ingin mengusak-usak rambutnya sendiri untuk melampiaskan emosi. Tingkah Safana benar-benar menguji kesabaran, membuat Riko tidak bisa menahan rasa jengkel. Bayangkan berkali-kali dia ditolak, tapi masih gigih mendekat. Cewek lain mungkin sudah luluh, tapi Safana beda karena dia spesies langka. “Udah, nggak ada yang perlu diomongin lagi. Aku cuma mau, selama acara berlangsung, jangan deketin aku. Atau kalau nggak, kamu akan malu sendiri nanti.” Safana bicara dengan nada tajam, setelah itu dia mengintimidasi Riko lewat tatapan. “Ini terakhir kali aku peringatin kamu. Sisanya terserah, karena aku nggak bakal perduli lagi.” Merasa sudah cukup puas mengimeli, dia langsung berbalik pergi. Tidak menoleh sama sekali, membuat Riko makin dibuat berkali-kali lipat lebih kesal. *** Pukul setengah sebelas, Safana masih bersenang-senang di pesta. Dia merasa lebih bebas, bahkan tidak sungkan ikut menari. Musik dj terdengar memekakkan telinga, bahkan membuat jantungnya bedetak sesak, tapi Safana sangat menikmati. Dia tertawa lebar, bersama dengan Melly, Olin dan yang lain. Lampu cafe dibuat remang-remang, hingga tidak ada bedanya dengan club malam. Minuman sejenis alkohol juga bisa ditemukan pasca kepulangan orang tua Tessa, tapi Safana dan kedua temannya sama sekali tidak menyentuh. Mereka hanya meminum mocktail, juga mencoba varian lain seperti jus buah-buahan, juga sirup. “Mbak pulang jam berapa?” Olin bertanya sekaligus berteriak. Karena kalau tidak begini, suara mereka tidak akan kedengaran. “Aku sama Melly di atas jam dua belas. Aku nginap di tempat Melly!” “Rencananya jam sebelas, tapi nggak tau! Lihat nanti aja!” Kemudian mereka tertawa dan melompat-lompat, mengikuti musik yang makin lama makin asik. Untuk sesaat Safana lupa di mana ia meletakkan ponsel. Bahkan janjinya pada Kamania dan Megan, tidak terpikirkan lagi. “Kalian mau minum?” “Apa, Mbak? Nggak dengar!” “Kalian mau minum?!” tanya Safana lagi. “Enggak, nanti aja!” “Kalau begitu aku ambil minum sendiri, ya!” “Iya!” jawab Melly dan Olin serempak. Safana langsung menuju stand minuman. Karena minimnya penerangan, dia jadi kebingungan mengambil yang mana. Seingat Safana, di sini tadi tempat dia mengambil jus bersama Melly dan Olin. Tapi karena letaknya sudah berubah, Safana jadi was-was mungkin saja kali ini diganti dengan minuman yang beralkohol. “Kenapa, Mbak?” Suara Riko terdengar dekat sekali, membuat Safana refleks mengambil jarak kemudian mendengkus tidak suka. Dia tetap acuh tak acuh, sambil mengamati serius deretan minuman di gelas yang tinggi. “Yang di depan lo itu nggak ada campuran alkoholnya.” “Aku nggak percaya.” “Terserah.” Karena tidak ingin terlalu lama mengobrol, Safana langsung memilih letak yang berlawanan dari yang Riko sebutkan. Setelah itu dia menuju kursi pojok, duduk dan meminumnya sampai tandas. Sensasi panas langsung terasa di tenggorokan begitu dia menjauhkan gelas dari bibir, membuat Safana membelalakkan mata kemudian mengusap-usap lidah karena rasanya aneh. Seolah familiar, jantung Safana otomatis berdegup keras. Dia langsung berdiri untuk menyelamatkan diri, tapi terlambat karena sudah terhuyung. Sebelah tangan Safana memegangi kening yang terasa pusing, sementara itu tatapannya mulai berputar-putar. Ah, Safana merasa melayang ... “Mbak, lo nggak pa-pa?” Suara Riko lagi. Safana tidak suka ... tapi, tidak bisa berontak karena rasanya tidak bertenaga. “Udah gue bilang yang tadi nggak ada alkohol, tapi lo malah keras kepala.” Riko berdecak, kemudian menahan Safana karena nyaris terjatuh. “Lo emang di luar perkiraan, Mbak. Herannya, gue nggak bisa berhenti buat deketin.” Itu kalimat terakhir yang Safana dengar, sebelum kemudian jatuh terlelap. Ah, dia benci alkohol! *** Berkali-kali Riko mengumpat kesal, karena salah besar malam ini dia membawa motor. Sebab dia membonceng Safana yang mabuk, apalagi perempuan itu tidak bisa diam. Hanya lima menit saja dia tidur, sisanya Safana bangun kemudian cegukan dan tertawa cekikikan. Takut mereka kenapa-kenapa, Riko terpaksa menepi untuk menyadarkan Safana. Tapi alih-alih demikian, Safana justru makin menggila dengan tidak bisa diam. Nyaris dia menyeberang jalan kalau tidak segera Riko tangkap. “Diam. Orang-orang bakal ngira gue jahatin lo, Mbak.” “Jahat? Ah, ya ...” jawabnya manja, kemudian cegukan untuk kesekian kalinya. “Riko jahat, ya ...” Selanjutnya Riko meringis tertahan, karena Safana menendang keras tulang keringnya. Kali ini Riko juga ingin mengumpat, tapi dia tahan karena berusaha mengendalikan emosi. Urat-urat di pelipisnya sampai mengencang, Riko bahkan mengeraskan rahang, kemudian berusaha menarik napas panjang-panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Itu dia lakukan berkali-kali, supaya lebih tenang. Sampai tiba-tiba keningnya mengernyit mendapati sebuah mobil menepi. Riko jelas menggenggam tangan Safana, karena perempuan itu nyaris menabrakkan diri. Kesabaran Riko seakan ditarik ulur, membuatnya kewalahan tapi masih bisa ditahan. “Safa?” Panggilan itu membuat Riko memperjelas tatapan. Sedetik kemudian, wajah kesalnya berganti dengan kesinisan. Lucu sekali, dunia seluas ini tapi mereka terjebak di situasi yang sama lagi. Riko kembali dihadapkan dengan laki-laki yang membawa Safana pergi di pertemuan pertama mereka. “Lo apain dia, hah?!” “Bukan urusan lo, Bang!” “Menjadi urusan gue, karena gue kenal Safana.” Lalu terjadi adegan tarik menarik. Riko memegangi tangan kanan Safana, sementara Shaka di tangan kirinya. “Lepas bocah berengsek! Lo buat dia mabuk lagi!” “Kalau nggak tahu apa-apa, jangan banyak bacot!” “Duh, berisik! Sakit!” gerutu Safana dengan mata memejam. Shaka yang melihat itu, langsung dominan bergerak. Dia menepis keras tangan Riko, kemudian menggendong Safana dalam sekejab mata. “Ketemu di lain waktu, lo bakal abis di tangan gue. Ingat ini baik-baik.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD