Cindy menggelayut manja di lengan Thomas, mereka berdua masuk ke hotel yang sudah dipesankan oleh Ruben untuk check in.
“Tuan Thomas, Anda memesan suite terbaik kami, ini kartu kunci kamar Anda. Selamat menginap!” seorang resepsionis memberikan selembar kartu kunci kamar kepada Thomas.
“Terima kasih!”
Seorang bell boy menghampiri Thomas dan Cindy, ia urung menawarkan jasa membawakan tas atau barang bawaan kepada mereka sebab baik Thomas dan Cindy tidak membawa koper besar atau semacamnya. Cindy hanya membawa tas jinjing kecil dan Thomas seperti biasa membawa koper berukuran sedangnya saja.
Thomas memencet tombol paling atas di lift yang merupakan letak dimana kamar suite mereka berada.
“Kita sampai kapan berada di sini?”
“Sampai besok siang, kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya bertanya saja. Aku besok sore ada janji hendak menonton film di bioskop bersama dengan temanku,” jelas Cindy.
“Lupakan semua itu dan malam ini jadilah selimut untuk menghangatkan tubuhku!” ucap Thomas sambil menarik lengan Cindy dan kemudian memberikan sebuah kecupan yang mesra ke bibirnya.
Cukup lama Thomas mencium Cindy di bibirnya, ia bahkan sempat untuk memikirkan di dalam benaknya. Bibir gadis ini hambar, tidak aku dapati kelembutan dan kehangatan dan sebuah aliran listrik yang biasanya membuatku sangat bersemangat dan senang ketika mencium Vivian. Hanya Anya seorang yang bibirnya bisa kurasakan lembut dan hangat, meski berbeda tapi ia punya cara agar membuatku bersemangat dan berdebar.
‘Tring!’
Suara bel bersamaan dengan pintu lift yang terbuka di lantai tujuan mereka.
“Kita sudah sampai!” Cindy melepaskan kecupan dan pelukan yang dilakukan oleh Thomas kepadanya. Ia tampak tersengal sebab beberapa saat lalu nafasnya sempat terganggu oleh bibir Thomas yang melekat di bibir dan hidungnya.
Thomas mengangguk dan melangkah keluar dari lift, ia melihat informasi nomor kamar yang ada di dinding dan mengetahui letak suite yang ia sewa ada di sebelah kanan mereka.
Thomas memasukkan kartu kunci di tempatnya dan dengan segera membuka pintu kamar suite itu. Ia mengambil kunci kartu dan kemudian ia meletakkannya di tempat khusus di dalam kamar yang sekaligus menyalakan lampu dan penghangat ruangannya.
“Wow! Ini adalah suite hotel yang paling bagus yang pernah aku lihat! Aku tidak mengira ternyata kamu memang adalah orang yang sangat kaya. Tadinya aku mengira kalau kamu hanya menyewa limosin itu hanya untuk gaya-gayaan dan membawaku ke hotel murahan.” Cindy langsung mengoceh.
Thomas meletakkan koper di dekat meja kecil, ia melonggarkan dasi dan kerah kemeja yang ia kenakan. Melemaskan tangan dan kepala juga punggungnya, setelah itu ia berjalan menghampiri Cindy yang tengah memencet tombol remote televisi dan memilih tontotannya.
“Apa kamu mau melakukannya sekarang?” tanya Cindy.
Thomas mengangguk dan memeluk Cindy dengan erat, sesuatu miliknya sudah kembali tegak dan ingin secepatnya merasakan kehangatan agar tuannya bisa melepaskan ketegangan dan tidur pulas malam ini.
“Tunggu sebentar, aku hendak membersihkan diriku dulu! Kau tentu lebih suka jika aku lebih wangi bukan?” ucap Cindy sambil melepaskan pelukan Thomas dan ia pun menuju ke kamar mandi dengan membawa tas jinjingnya.
“Jangan lama-lama! Aku akan menunggu dirimu di sini sambil menonton televisi!”
Cindy mengangguk sambil menghela nafas, ia tak habis pikir kenapa pria yang tampak dewasa itu masih memiliki banyak tenaga dan kekuatan padahal tadi saat di limosin ia sudah melayaninya dengan sangat baik. Dua jam perjalanan dari New York ke Long Island dihabiskan oleh mereka untuk bercocok tanam dengan berbagai gaya dan posisi. Tapi Thomas tampak masih memiliki api yang berkobar di dalam dirinya, ini agak merepotkan bagi Cindy.
“Sialan, pria itu tampaknya sangat kuat dan hiper. Aku kira akan melayaninya sekali dan setelah itu dia akan kelelahan, tidur sampai besok siang. Saat dia tidur akan aku kuras uangnya! Tapi kalau begini rencanaku bakalan gagal!” benak Cindy saat berjalan menuju ke kamar mandi.
Thomas yang menatap layar televisi setelah beberapa saat mulai bosan, dia memang tidak terlalu tertarik dengan televisi sebab menurutnya menonton televisi itu hanya buang-buang waktu saja. Bagi Thomas apa yang tersaji di layar televisi semuanya hanya omong kosong belaka saja, sebuah alat propaganda pemerintah.
Karena bosan, Thomas pun berdiri dari kursi dan menghampiri kamar mandi. Sudah hampir sepuluh menit Cindy di dalam kamar mandi.
“Aneh, apa yang sedang gadis pirang itu lakukan di dalam kamar mandi? Tadi dia bilang hendak membersihkan diri, tapi kenapa aku tidak mendengar dia menyalakan air?”
Insting dan praduga Thomas langsung tahu ada yang tidak beres yang sedang dilakukan oleh gadis pirang yang jadi gulanya hari ini. Maka tanpa permisi, Thomas segera membuka pintu kamar mandi yang memang tidak dikunci oleh Cindy itu.
“Astaga! Apa yang sedang kamu lakukan?!” kaget Thomas melihat Cindy tengah duduk di lantai kamar mandi dan tampaknya sedang menghirup serbuk putih dengan sebelah hidungnya.
“I-ini, aku bisa menjelaskannya! Aku membutuhkan ini agar bisa melayani dirimu sepanjang malam!” terkejut dan terbata Cindy mencoba menjelaskan kepada Thomas.
“Tidak! Kau tidak perlu menjelaskan apa pun juga! Semuanya sudah sangat jelas dan nyata! Aku tidak bisa mentolerir tindakanmu ini!”
Thomas segera berbalik dan kembali keluar dari dalam kamar mandi.
“Tunggu, aku bisa menjelaskannya. Tolong jangan pergi dariku!”
Thomas meraih koper dan membukanya, ia meraih beberapa lembar dollar dan memberikannya kepada Cindy.
“Ini bayaranmu dan ini untuk ongkos taksi dirimu pulang kembali ke New York. Kau bisa tinggal di hotel ini sampai besok siang, aku sudah membayarnya! Tapi aku tidak mengizinkan tindakan yang telah kamu lakukan itu! Aku tidak suka menghabiskan malam dengan seorang pemakai serbuk putih itu. Selamat tinggal!”
Thomas pun keluar dari dalam kamar dengan hati yang dongkol, ia lalu memanggil Ruben yang sedang berada di lobi hotel dan hendak beristirahat.
“Ada apa, Tuan?” tanya Ruben yang terkejut sebab Thomas mendadak keluar dari dalam kamar sebelum waktunya.
“Kita pergi, Ruben!”
Ruben yang tidak mengerti apa yang sudah terjadi hanya mengangguk dan tidak membantah. Ia bergegas berjalan menuju ke tempat parkiran bersama dengan sang Bos.
“Sialan! Ternyata gadis pirang itu adalah seorang pemakai! Aku memergokinya sedang menghirup serbuk putih terkutuk itu! Aku jadi tidak berselera menghabiskan sisa malamku dengannya!” jelas Thomas begitu ia berada di dalam kursi penumpang limosinnya.
Ruben kini mengerti apa yang membuat Bos-nya ini marah dan keluar dari dalam kamar hotel sebelum waktunya.
“Saya minta maaf, Tuan Thomas. Saya kira dia sudah bersih dan steril. Dia tidak memiliki tato dan tidak ditindik berlebihan. Tapi saya tidak menduga kalau dia adalah pemakai juga,” ucap Ruben merasa tidak enak sebab ia telah salah memberikan gula kepada Tuannya.
Thomas menarik dan menghembuskan nafasnya lalu menatap Ruben.
“Itu bukan salahmu, Ruben. Memang sulit mencari gadis yang sesuai dengan kriteriaku. Apa aku telepon Anya lagi ya untuk menemaniku malam ini? Tidak aku tidak boleh menelepon Anya. Sebab kalau aku meneleponnya, itu menjadikan aku seperti menjilat ludahku sendiri,” ucap Thomas.
“Kita kemana sekarang, Tuan?”
“Pulang ke mansionku!”
Ruben mengangguk, ini adalah kali pertama sejak dua minggu Tuannya akhirnya mau pulang ke rumah mewahnya.
***