BAB 3

1685 Words
Aku ingin mati, Tuhan. Itu yang terlintas pertama kali di otakku ketika bangun. Kepalaku sakit. Pusing. Bukan tujuh keliling lagi, tetapi seperti ada sesuatu yang sangat berat berada di atasnya. Jika boleh melebay, mungkin rasa sakitnya seperti dihantam asteroid atau komet. Bagian belakang kepalaku terasa menegang, kaku dan lama-kelamaan semakin berat. Penglihatanku juga seakan memudar. Bahkan, lampu kamar yang terang tampak seperti kilatan samar.  Pakaianku pun telah basah oleh keringat dingin yang dikeluarkan oleh tubuhku. Aku mencoba meraih apapun yang bisa digapai. Membuka mulutku untuk berteriak pun telah aku coba sekuat tenaga. Walau begitu, pita suaraku sepertinya telah mati rasa. Aku belum bisa mengeluarkan suara apapun. Suara seperti balita yang baru belajar bicara pun tidak bisa. Kesakitanku semakin terasa menyakitkan ketika perutku mulai terasa mual. Perutku seakan dikocok-kocok dengan dahsyat. Tak lama berselang, aku pun memuntahkan semua isi perutku. Oeeek. Aku bisa merasakan bagaimana sisa-sisa makanan yang bercampur dengan cairan naik ke tenggorokan lalu keluar dari mulutku. Ada perasaan jijik dan tidak nyaman yang aku rasakan saat muntah. Aku menjadi begitu lemah setelahnya. "Renata!!" Mama berteriak dengan panik. Sepertinya Mama baru saja kembali, entah darimana. Tentu bukan pemandangan yang diharapkan, saat dia menemukanku dalam kondisi yang menyedihkan. Mama segera membantuku berbaring di ranjang. Setelahnya, dia keluar untuk memanggil perawat atau Dokter yang bisa ditemukannya dengan cepat. Aku memejamkan mata, kesadaranku seperti garis tipis yang bisa putus kapan saja. Aku tidak tahu siapa dan bagaimana ditangani. Yang jelas, sebuah suntikan di lengan kiriku telah membuat rasa sakit yang aku rasakan perlahan memudar lalu menghilang. Tak lama kemudian aku memberanikan diriku untuk membuka mata. Kini semuanya terlihat lebih jelas. Penglihatanku sepertinya kembali normal. Pernapasanku juga telah membaik. Rasa mualku pun telah jauh berkurang. Lebih tenang, hal itu yang aku rasakan sekarang. "Bagaimana keadaan Renata, Dok? Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia sampai muntah begitu banyak?" tanya Mama bertubi-tubi. Suaranya terdengar parau. Dasar Mama. Wanita itu pasti menangis lagi. Dokter yang ditanya Mama hanya mengulas senyuman tipis. Aku tidak mengenalnya. Dia bukan Dokter Boy. Mungkin, hanya Dokter jaga rumah sakit. Entahlah. "Tenanglah, Bu. Ini adalah hal biasa yang dirasakan pasien Kanker. Setiap hari, sekitar jam empat atau lima pagi, mereka akan merasakan sakit kepala yang sering diikuti dengan muntah," jelas dokter itu dengan tenang. Setiap hari. Dua kata itu telah membuat jantungku seakan dihujani oleh ribuan duri. "Dengan menyesal, saya katakan, semakin nyenyak tidur Renata, rasa sakit yang dirasakannya juga akan semakin parah saat bangun," imbuhnya yang sukses membuatku kembali meneteskan air mata. Dasar aku. "Ya, Tuhan." Mama terpekik tertahan. Wanita yang sudah melahirkan aku itu hanya membekap mulutnya dengan air mata yang bercucuran. "Tenanglah, Bu. Selama Renata tidak mengalami hematemesis ( muntah darah ), kondisinya terbilang masih wajar," hibur dokter. Mama hanya mengangguk, kehilangan kata-kata. Wanita itu berjalan mendekat kepadaku lalu membelai dengan sayang rambutku. "Bertahanlah, Sayang." Aku tidak menjawab. Selain karena tidak bisa bicara, juga tidak ingin. Bertahan atau tidak, itu urusan Tuhan. Aku tidak mau terlalu memaksakan. Ini bukan bentuk kepasrahan tetapi kemarahan. Bahkan, mendekati keputusasaan. Kenapa Tuhan sekejam ini padaku? Aku sangat ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu. Jawaban. Bukan alasan. Dokter jaga itu pun pergi setelah melakukan basa-basi sebentar. Mama juga sempat mengucapkan terimakasih sebelum dia keluar dari ruanganku. Tinggallah kami berdua sekarang. Aku dan Mama. Mama masih berusaha memberikan senyuman palsu agar aku tetap kuat. Sayangnya, tindakannya itu tidak memberikan pengaruh apapun selain rasa sakit yang berkelanjutan untukku. Benar kata orang, harapan adalah pembunuh jiwa nomer satu di dunia. Semakin tinggi keinginanku untuk hidup, rasa sakit membuatku menginginkan hal yang sebaliknya. Ketika hari beranjak siang, dokter Boy datang memeriksaku lagi. Sejak pagi aku diminta untuk puasa, dilarang makan dan minum. Juga, dilarang untuk marah atau emosi. Begitu kata Dokter Boy. Dia memang dokter tergaring yang pernah aku jumpai. Lelucon darinya sama sekali tidak lucu. Namun, setidaknya, apa yang dikatakannya tidak palsu. Jujur. Jadwal operasi untuk mengangkat sel Kanker Primer di otakku sudah ditentukan. Pukul 20.00 WIB malam, aku akan mengucapkan selamat tinggal pada parasit yang telah lancang bersarang di kepalaku itu. Tentu saja, operasi ini bukan tanpa risiko. Dokter Boy sebelumnya telah menjelaskan padaku dan pihak keluarga bahwa operasi ini akan memiliki beberapa kemungkinan. Operasi pengangkatan sel kanker bisa berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Kemungkinan kedua, dalam prosesnya, bisa terjadi hal-hal seperti komplikasi, pendarahan dan lain-lain. Karena itu, Dokter Boy meminta kami untuk bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang mungkin terjadi. Walau begitu, aku menyetujui langkah operasi yang disarankan Dokter. Jika Tuhan memang ingin aku berjuang untuk terus hidup, sekecil apapun peluangnya, aku ingin mencobanya. Tak lama setelah dokter Boy memeriksaku, seorang dokter lainnya datang menemuiku dengan seorang perawat. Dokter perempuan yang datang itu bernama Anna. Dia adalah dokter Anestesi[1] yang akan bertugas di operasiku nanti. Dokter Anna bilang akan melakukan pemeriksaan standart. Dia mengajukan beberapa pertanyaan padaku dan orang tuaku. Dia menanyakan hal-hal seperti apakah aku mengidap penyakit lain selain Kanker, alergi obat-obatan tertentu dan lain sebagainya. Karena kemampuan bicaraku belum kembali, aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan atau gelengan kepala. Beberapa kali Mama atau Papa membantuku untuk menjawab pertanyaan dokter Anna. Sekarang aku menyesal tidak mempelajari bahasa Isyarat. Padahal bisa bisu kapan saja, tetapi aku terlalu sombong untuk mempelajari sesuatu yang dulu aku anggap tidak berguna. Ternyata aku manusia dengan ego sebesar itu. Memalukan. "Bagaimana perasaanmu? Apa kamu siap untuk menjalani operasi, Renata?" Itu pertanyaan terakhir dari dokter Anna, di mana aku menjawabnya dengan menganggukkan kepalaku dengan yakin. Saat itu, untuk pertama kalinya selama berbincang, aku melihat Dokter Anna tersenyum. Senyuman itu memberikan tambahan keyakinan padaku bahwa semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja. Aku menghela napas panjang sembari menatap keadaan kamar yang sepi. Papa dan Mama tidak ada. Mama sedang pulang sebentar. Sementara Papa sedang mengurus sesuatu. Apa itu? Aku juga tidak tahu. Remember! Sekarang, aku hanya orang bisu yang tidak bisa bertanya ataupun menjawab. "Renata." Panggilan itu membuatku terdiam. Seorang gadis yang beberapa hari ini menghilang, tiba-tiba datang. Dia mengulas senyuman manis sembari menatapku dengan lekat. Sorot matanya terlihat jernih meski kulit wajahnya sedikit pucat. Gadis itu adalah Amanda. Dia datang dengan masih memakai seragam sekolah. Dasar pamer. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya sembari berjalan dan berhenti tepat di samping ranjangku. Aku tidak menjawab, sekadar menoleh ke arahnya pun tidak. Ekor mataku hanya meliriknya sekilas. "Aku dengar dari Mama kalau kamu akan dioperasi nanti malam. Aku harap operasinya lancar ya," katanya sok peduli. Aku masih diam. Sementara Amanda mulai mengoceh tentang bagaimana dia menjalani hati-harinya belakangan ini. Dia juga bercerita tentang betapa beratnya ujian-ujian yang harus dilaluinya sebagai siswa kelas 12. Aku muak mendengar semua keluh-kesahnya. Lagipula siapa yang peduli? Dia tidak akan segera mati. "Oh ya, Ren, kamu ingat cowok yang selalu memberiku hadiah melalui kamu?" tanyanya membuatku sedikit menoleh ke arahnya. Siapa? "Cowok dengan lesung pipi itu lho. Kalau nggak salah, si kapten basket," lanjutnya. " Jantungku seakan diremas kuat lalu dibanting ke lantai. Pasti, yang dibicarakan oleh Amanda adalah Kak Gandhi. Pemuda yang selama ini aku taksir diam-diam. Walau tidak mungkin berbalas, bahkan setelah kematianku. "Aku menolak cintanya saat dia menembakku tadi." Urat nadiku seperti dipotong tiba-tiba. Sakit. Bahkan mungkin akan mengeluarkan darah lebih dari satu liter bila ditampung. Damn it. Amanda baru saja membuatku patah hati dengan kata-katanya. Sangat menyakitkan saat dia mengatakan berita buruk itu dengan begitu mudah, wajah polos dan tanpa dosa. Aku ingin menenggelamkannya dalam kawah Merapi. Kenapa harus Amanda, sih? Kenapa bukan aku? "Re, kamu dengar aku?" Amanda mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. Aku yang merasa muak hanya menepis tangannya dengan wajah marah. Amanda tercengang, tidak menyangka bahwa aku akan memberikan reaksi yang tidak diduganya. "Kenapa kamu terlihat marah, Re? Bukannya ini berita bagus? Kamu bisa memilikinya," jawabnya dengan enteng seolah perkataannya barusan seringan bulu ayam. Dasar nenek sihir. Dia bahkan bisa membaca perasaanku. Amanda mendekat, menggenggam tanganku lalu menatapku dengan mata berbinar. "Karena itu, Re. Sebagai hadiah karena aku menolaknya, bagaimana kalau setelah kondisimu pulih dan diperbolehkan pulang, ayo kita peegi jalan-jalan. Aku akan mengajakmu ke banyak tempat. Aku bahkan sudah membuat list dan..." Aku menepis kasar tangan Amanda. Bahkan mendorongnya menjauh. Aku pelototi dia yang menatapku dengan wajah terguncang. Shock. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya pintu ruanganku dibuka, Papa dan Mama datang. Bersamaan. Nice timing. Amanda segera menarik tubuhnya mundur, berdiri tegak dan memamerkan senyuman manis. Dia bertingkah seolah tidak ada yang terjadi antara kami. Dasar licik. "Lho? Sayang, kok ada di sini?" tanya Mama terkejut melihat Amanda. Sepertinya dia tidak memberitahu Mama kalau akan datang mengunjungiku. "Habis ujian langsung ke sini, Ma," jawab Amanda lantas mengambil tas yang dibawa Mama. Kakak perempuanku yang gemar mencari perhatian itu membantu Mama membawakan tasnya. Entah rencana busuk apa lagi yang dia rencanakan dengan memanfaatkan kondisiku yang sekarat ini. "Ujianmu lancar, Sayang?" tanya Papa. Amanda mengangguk. "Lancar, Pa," sahutnya sambil meletakkan tas bawaan Mama di atas meja. "Syukurlah," kata Papa merasa lega. "Kalau Renata, bagaimana keadaannya, Sayang?" tanya Papa sembari membelai lembut pucuk kepalaku. Aku menghela napas panjang, mencoba menormalkan wajahku yang sempat menegang karena marah. "Sebentar lagi, perang itu akan dimulai, Sayang," ujar Papa dengan tatapan seolah dia benar-benar akan melepasku ke perang dunia kedua. "Iya, benar. Karena itu, Renata harus berjuang keras dan pulang dengan selamat." Mama menimpali. Kedua orang tua yang telah lama mengabaikan aku itu pun memelukku bersamaan. Membuat ruangan hampa di dalam hatiku yang sudah  lama kosong sedikit terisi oleh perasaan luar biasa yang menyesakkan d**a. Perasaan bahagia karena merasa kalau aku disayangi dan dicintai. "Hm, kamu menangis lagi. Cengeng, deh," ledek Papa sembari mengusap air mataku yang meleleh tanpa sadar. "Renata akan baik-baik saja, Pa," ujar Amanda turut bergabung, memeluk Papa. Bukan aku. Aku juga tidak berharap dia akan memelukku. Dia musuhku. Amanda memberikan senyuman lebar saat memergoki aku sedang menatapnya. Sungguh, aku sangat membencinya. Waktu berlalu. Pukul 20.00 Wib menyapa. Kini, aku sudah berada di ruang operasi dan dikelilingi oleh para dokter dan perawat yang akan melakukan prosedur operasi untuk pengangkatan sel kanker di kepalaku. Kepala yang bahkan tidak bisa aku lihat apa saja isinya, akan dibedah. Parasit di dalamnya akan dikeluarkan sebagai penawaran untuk perpanjangan hidup atau kematian yang lebih cepat dari sebelumnya. Dokter Boy mengajakku bicara agar rileks lalu obat Anestesi pun disuntikkan. Bersamaan dengan itu, aku memutuskan untuk mulai berhitung. Sekadar ingin tahu, berapa lama waktu yang aku butuhkan sebelum kesadaranku menghilang. Satu.. Dua.. Tiga........Sepuluh. Mataku mulai terasa berat. Mengantuk. Sebelas... Dua belas.. Tiga belas.... Mataku terpejam sempurna. Empat belas.. Lima belas... Enam belas..... Sembilan belas. Tuhan, maaf mengecewakan. Tapi aku tidak akan lagi berdoa. Bahkan, meski yang menungguku setelah ini adalah kematian. Dua puluh. "Mari kita mulai operasinya!" [1] Dokter Anestesi adalah Dokter spesialis yang memiliki tanggung jawab memberikan anestesi ( pembiusan ) sebelum pasien menjalani operasi atau prosedur lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD