Shafira segera menghapus air matanya. Lantas mendongak, memandang wajah berahang kokoh yang telah pulih dari pucatnya.
"Ya, aku maafkan. Tapi aku yakin tidak akan bisa melupakan." Shafira melepaskan rengkuhan.
"Sha."
"Aku tidak ingin gila dengan bayang-bayang yang akan menghantui pikiranku. Bagaimana, Mas, memperlakukan perempuan itu di ranjang yang kalian sewa. Apakah saat kalian melakukannya, Mas, masih sempat mengingat istri yang menunggu dan mendoakan keselamatan dan dilancarkan urusan suaminya di perjalanan kerjanya? Tidak bukan?"
Ferdy menggigit bibir bawahnya. Sesak terasa di d**a.
"Jadi ... biarlah aku mengobati lukaku dengan caraku sendiri, dengan kita berpisah."
Ferdy menunduk, ia tidak bisa membayangkan kehilangan istri yang teramat dicintai dengan anaknya sekaligus.
"Kurasa, mungkin inilah yang sesungguhnya, Mas, inginkan dari hubungan kita."
"Nggak, Sha," sahut Ferdy cepat.
"Kalau nggak, tentu, Mas, tidak akan mengkhianatiku. Tidur dengan temanku."
Hening.
"Mas, nggak perlu lagi kita berbicara mengenai hal ini. Dulu kita memulai dengan baik. Biarlah berakhir dengan baik. Duduklah! Akan kubuatkan teh hangat."
Shafira segera mengambil panci tempat merebus air. Serta dengan cekatan mempersiapkan cangkir dan tatakan.
* * *
Sore itu Ferdy masih sibuk memasang bola lampu dapur yang putus, saat ponselnya bergetar di atas meja makan.
"Sayang, tolong angkat telfon Mas. Takutnya Cici yang nelfon", teriak Ferdy dari atas tangga lipat.
Shafira yang sibuk menyiapkan menu makan malam segera meraih benda pipih itu. Di layar tidak ada nama, hanya nomer saja.
"Nggak ada namanya."
"Nggak apa, angkat aja."
Akhirnya Shafira menggeser icon hijau di layar. Belum sempat dia mengucapkan salam. Suara di seberang sudah mendahului bicara.
"Fer, ada dimana? Bisa nggak kita ketemu. Tadi kamu nggak masuk kerja kan. Kata Cici kamu sakit."
Shafira diam, ketika menyadari suara siapa itu.
"Fer ... Ferdy ...."
Shafira menjauhkan ponsel dari telinga. Ferdy yang telah turun berjalan mendekat. Shafira memberikan ponsel pada suaminya.
"Siapa?" tanya Ferdy. Shafira tidak menjawab lantas melangkah pergi ke dapur.
"Hallo."
"Fer, ini aku."
"Untuk semua urusan kerjaan, bisa ke Cici saja. Dia yang akan memberitahuku nanti."
Telfon ditutup. Ferdy memandang Shafira yang sibuk mengemas meja keramik dapur.
"Sayang," panggil Ferdy.
Shafira menoleh.
"Jangan salah paham. Ini hanya urusan pekerjaan. Mas sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi sejak di Balikpapan hari itu." Ferdy coba menjelaskan. Istrinya tersenyum.
"Urusan pekerjaan atau bukan. Aku tidak ingin tahu, Mas." Setelah berkata demikian, Shafira meninggalkan Ferdy yang terlihat bingung dan serba salah.
Sialan, Merry menghubunginya menggunakan nomor baru. Ferdy segera bergegas menyusul Shafira ke halaman depan. Disana ia melihat istrinya menyiram tanaman sambil memandang lagit barat yang merona jingga. Ferdy mendekat.
"Sha, semua tidak seperti yang kamu pikirkan."
"Mas serius, Sha. Mas hanya mencintai kamu."
Shafira menoleh sebentar. Kemudian kembali fokus pada tanaman.
"Bicaralah pada Mama, Mas. Secepatnya. Aku sudah siap."
Ferdy menyugar rambutnya dengan kasar. Kepala yang tadinya sembuh kini terasa berdenyut lagi.
???
Pagi kembali datang dalam keheningan rumah besar mereka. Shafira tetap seperti biasa, melayani Ferdy saat sarapan.
Ada yang tersayat didalam sana, ketika melihat mata sembab istrinya. Ya, Shafira menangis semalaman. Ferdy mendengar dari luar pintu kamar.
"Sayang," panggil Ferdy pelan, seusai sarapan. Shafira memandang sekilas tanpa menjawab.
"Mas hari ini pulang agak telat, ya. Ada relasi dari Jakarta datang."
Shafira mengangguk, sambil menyesap teh.
"Nanti pulang Mas beliin s**u hamil. Mau merk apa dan rasa apa?" Ferdy bertanya karena ia melihat Shafira belum mengonsumsi s**u kehamilan.
Shafira menggeleng, "nggak usah."
Ferdy tidak berkata lagi, karena Shafira segera berdiri dan mengemas piring mereka.
* * *