BAB 23

2128 Words
Pagi yang menyebalkan. Aku terbaring di ranjangku dengan emosi yang tidak kunjung bisa mereda. Sebenarnya, aku sudah pasrah, putus asa dan tidak ingin lagi melawan Denis. Akan tetapi, kata-katanya kemarin membuatku seperti sudah amnesia, keberanian ini mulai terkumpul kembali, Aku ingin melawannya sekali lagi, tidak peduli meskipun ini hanya sebatas sia-sia ataupun tidak. Aku sama sekali tidak ingin menjadi ibu dari seorang anak yang mewariskan darah psikopat dari seorang monster sepertinya. Aku lebih suka mati daripada menanggung penderitaan seperti itu. Aku tidak mau anakku menjadi seorang pembunuh sama seperti ayahnya. Walau sekarang aku belum hamil, aku sama sekali tidak ingin hal butuk itu terjadi. Membayangkannya saja membuatku merasa ingin mati, mengalaminya sendiri mungkin akan membuatku membunuh diriku sendiri sebelum anak itu tumbuh dan berkembang. Aku tidak ingin lagi ada korban berjatuhan karena anakku, darah dagingnya. Sama sekali tidak boleh!             Denis sepertinya sengaja untuk membuatku emosi. Dia tahu bagaimana mengendalikanku. Namun, untuk triknya kali ini, aku tidak bisa mengabaikan ataupun berpura-pura tidak mendengar hal mengerikan yang diucapkannya padaku secara terang-terangan. Walau Denis tertawa seolah sedang berlelucon, bagiku hal itu bukan candaan dan sama sekali tidak lucu. Aku benar-benar tidak mau melahirkan anak seorang monster atau mungkin sudah setara iblis. Aku tidak bisa membiarkannya tumbuh menjadi manusia yang menghabisi sesamanya dengan kejam. Dia tidak boleh menjadi predator ataupun ancaman bagi kaumnya sendiri. Never.             Pemikiran-pemikiran itu membuat kesehatanku yang sudah menurun semakin drop. Aku demam hingga hampir mencapai 40℃. Namun Denis terus mencekokiku dengan berbagai macam obat-obatan dan memaksaku meminum banyak air putih, sehingga berangsur-angsur kesehatanku memulih. Namun, tidak dengan emosi di hatiku. Kobaran api tekad it uterus tumbuh dan bertahan menjadi suatu yang terus membulat seolah aku tidak akan pernah lagi mengaku kalah dan pasrah tanpa melakukan perlawanan lebih dulu. Walau dalam prakteknya, aku masih nol, suatu saat nanti, mungkin akan ada kesempatan di mana aku akan benar-benar menyelinap dan pergi dari tempat ini. Bahkan, mengalahkan Denis mungkin. Meskipun, untuk saat ini, aku belum tahu caranya mengalahkannya.             Sarapan pagi diantarkan, tetapi aku masih di ranjangku, sama sekali tidak berniat untuk makan. Otakku sibuk untuk berpikir, tidak ada waktu untuk menundanya hanya karena perut keroncongan. Aku tidak begitu mengerti bagaimana otakku bisa berpikir tanpa makanan, yang jelas, aku hanya ingin membuat apa yang Denis katakana tidak terjadi sama sekali. Aku tidak mau mengandung anaknya, melahirkannya apalagi. Aku tidak mau melihat seorang anak dari keturunan iblis. Dia pasti mewarisi sifat ayahnya yang seorang monster kejam dan tidak memiliki hati nurani terhadap orang lain. Walau Denis mengatakan, dia begitu karena latar belakang keluarganya yang tidak jauh berbeda dengannya—meskipun aku yakini tidak seburuk dia—mungkin. Aku tidak yakin, tetapi itu bukan alasan baginya untuk melenyapkan nyawa orang lain sesuka hati. Dia bukan Dewa, Malaikat maut ataupun Tuhan. Dia tidak berhak membunuh semua korban yang sama sekali tidka bersalah tersebut. Mereka tidak layak mati. Ada banyak hal di kehidupan mereka yang harus dijalani, tetapi harus berhenti karena kesialan mereka bertemu dengan Denis di waktu yang tidak tepat. Denis selalu berburu saat suasana hatinya buruk, jarang sekali dia berburu di saat moodnya sedang baik. Masalahnya, dia selalu terlihat dalam kondisi hati yang buruk dan tentu itu sama sekali bukan hal yang bagus. Walau sudah memahami kalau dia badmood, aku tidak bisa melakukan apapun. Terkadang,a pa yang aku lakukan jutsru  membuatnya semakin berbahaya. Oleh karena itu, aku harus benar-benar berhati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai apa yang aku lakukan sampai merugikan orang lain. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi. Never.             Denis sepertinya sibuk dengan rutinitasnya akhir-alhir ini—yang sama sekali tidak aku ketahui dan tidak ingin tahu—dia tidak mengunjungiku selama beberapa hari. Hanya pelayan yang sering keluar-masuk dari ruanganku, bukan ruangan di mana biasa aku dikurung, tetapi kamar kami. Tempat di mana untuk pertama kalinya aku melawannya sesaat setelah kami menikah. Ini cukup mengherankan, dia tidak datang mengunjungiku, mengingat bagaimana dia selalu mencemoohku dan senang melihatku dalam kesakitan dan menderita. Aku tidak ingin bertanya pada pelayan, sebab, Denis mungkin sedang menamati CCTV. Dia akan salah mengira kalau aku bersekongkol dengan pelayan atau merencanakan sesuatu. Jika dia sampai curiga, pelayan tidak berdosa itu akan menjadi korban dan dibunuh olehnya. Aku tidak mau pelayan itu mati konyol. Aku tidak tahu apa yang Denis lakukan, mengancamkah atau memang para pelayan itu setia, mereka sama sekali tidak melawan Denis. Bahkan, terlihat ketakutan sepanjang waktu, baik pelayan perempuan ataupun lelaki. Dari luar, rumah seperti istani ini terlihat megah dan mewah, tetapi di dalamnya hanya ada hal yang sama sekali tidak menyenangkan, mengerikan dan menjikkan. Sungguh klamufase yang luar biasa. Denis memang pandai dalam berakting dan memanipulasi. Ini bukan pujian, melainkan sindiran keras untuknya. Dia bisa dibilang sangat munafik. Aku sangat membencinya karena kelebihannya tersebut. Di kehidupan sebelumnya—jika memang ada—sepertinya dia seorang pelakon atau pernah menyelamatkan Negara dari kehancuran. Kejahatan yang dilakukannya sama sekali tidak terendus polisi, membuatnya bisa bebas melakukan pembunuhan di sana-sini tanpa ada yang menghalangi atau mencegahnya. Sungguh sangat menyebalkan dan tidak adil sama sekali. Akan tetapi, aku tidak protes pada siapapun. Aku bukan siapa-siapa, hanya mangsa yang dibiarkan hidup karena status tidak berarti yang disebut istri.             Pada awalnya, aku sangat terkejut dan bahagia dengan mimpi atau pandangan masa depan yang pernah aku lihat dulu—saat SMA dan belum tahu bagaimana Denis—tetapi, setelah mimpi itu menjadi kenyataan, aku sama sekali tidak merasa bahagia, malah menyesal mengapa hal semacam itu bisa terjadi kepadaku. Namun, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan hanya akan membawaku ke jurang kehancuran tidak bertuan. Aku tidak boleh begitu terus, aku harus bangkit dan bangkit hingga memiliki cukup keberanian untuk melawan Denis, kalau bisa membunuhnya. Dia harus dibunuh. Dengan demikian, dia akan berhenti dari kegiatannya yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Aku mau dia menghentikan semua kekacauan ini. Penjara bukan solusi untuk Denis, dia sangat berbahaya. Bahkan, terapi dan konsultasi kejiwaan baginya tidak akan berguna. Namun, dia tidak layak masuk ke dalam rumah sakit jiwa. Sebab, dia membunuh dengan akal dan hatinya. Dia tidak gila, hanya kehilangan nurani, bukan akal.             Di hari ke-sepuluh, Denis muncul seperti biasa, dia menyapaku dengan senyuman. Padahal, aku sama sekali tidak berharap dia akan tersenyum dan bersikap ramah padaku. Meskipun kami suami-istri, aku sama sekali tidak ingin menyapanya. Dia masih menepati janjinya mempertemukanku dengan ayah, meskipun dia tidak di sana. Saat ayahku bertanya ke mana Denis, aku berbohong dengan mengatakan kalau Denis ada urusan sehingga tidak bisa pulang. Ayahku sedikit kecewa, tetapi berusaha mengerti. Padahal, dia harusnya bersuka cita karena menantunya yang kejam itu tidak muncul dan menunjukkan wajah padanya. Entah bagaimana jadinya jika ayah tahu kalau menantu yang dibanggakannya hanyalah seorang pembunuh. Dia pasti kecewa. Namun, inilah kehidupan. Mimpi selalu mengembirakan, sedangkan kenyataan selalu mengecewakan. Ini bukan curhatan, hanya sepenggal kisah yang tidak membahagiakan karena selalu dipermainkan kendaraan.             Aku sama seperti  biasa, makan dan mengobrol bersama dengan ayah. Ayahku yang sangat baik dan polos itu menceritakan banyak hal tentang apa yang dilakukannya selama seminggu ini. Dengan antusias, aku menyimak dan mendengarkan keluh-kesahnya. Sejak aku menikah, tidak ada lagi yang ayah miliki. Walau ayah masih bisa melihat dan bertemu denganku sekarang, tentu dia akan memiliki 6 hari dalam seminggu di mana dia merasa sepi dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku tidak bisa berkomunikasi dengan ayah karena Denis tidak mengizinkanku memegang ponselku. Jadi, mau tidak mau, aku hanya bisa berbicara dan bertemu dengan ayah di hari Selasa. Soal Ferdi, ayah juga tidak pernah menyinggungnya seolah tahu kalau Denis pasti akan cemburu dan hal itu bisa berdampak pada hubunganku dengan Denis. Apa yang ayah duga memang tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih daripada sekadar cemburu. Denis pasti akan segera menghabisi kami bertiga jika sampai hal itu terjadi. Aku tidak bisa menyia-nyiakan nyawa orang lain hanya karena keegoisanku. Itu tidak adil dan tidak pantas.             Setelah cukup lama bersama dan memang sudah waktunya untuk pulang, ayah berpamitan, lantas dia pun pergi. Aku hanya diam di kamar setelah ayah pulang, bersama dengan kehampaan yang sama dan terasa lebih nyata dari hari ke hari. Denis tidak memaksaku untuk menonton video akhir-akhir ini, seolah perhatiannya teralihkan, bukan kepadaku lagi. Suatu saat, mungkin dia akan bosan dan membiarkanku pergi. Namun, aku tidak mau berharap tinggi. Sebab, harapan adalah hal paling mematikan di dunia ini. Harapan kecil akan menjadi besar, ekspektasi akan semakin menjulang tinggi dan membuat minat untuk hidup akan hilang setelah semua harapan dan ekspektasi musnah tak bersisa ataupun sama sekali berbeda dengan yang diharapkan selama ini. Aku pernah mengalaminya dan akan sangat bodoh jika terus melakukan kesalahan yang sama berulang kali.             Aku cukup terkejut, ketika pintu kamar tiba-tiba dibuka. Sponstan, aku meloncat turun dari ranjang saat Denis masuk dan mendekatiku. Tubuhku seolah tidak mau lagi disentuh olehnya. Namun, dia sama sekali tidak terganggu dengan penolakanku. Dia masuk, memelukku paksa dan mengarahkan pisau ke leherku seolah memintaku untuk diam dan tidak bergerak. Aku sama sekali tidak siap, jadi aku hanya diam saja.             “Nisa, aku sudah memikirkannya tentang keadaan kita sekarang,” katanya pelan membuatku mendadak merasakan firasat buruk.             “A-apa maksudmu? Kamu akan membunuhku?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Dadaku sesak dan tenggorokanku sakit saat menanyakannya. Aku takut untuk mendengar jawaban Denis, tetapi rasanya akan gila jika tidak bertanya. Aku tidak mau menebak-nebak. Sebab, pikiran Denis sama sekali tidak tertebak.             Denis melepas pelukannya lantas dia menendang kakiku, membuatku menjerit dan melangkah mundur. Saat dia mencoba untuk memukulku, sekuat tenaga aku menghindar. Sekali-dua kali berhasil, tetapi yang ketiga tidak. Aku terpelanting dan jatuh ke lantai, dengan segera Denis menarik rambutku, memaksaku menatapnya, tetapi aku terus berontak, dia bergegas, memberikan tendangan di perut dan sekali lagi, aku terkapar di tanah. Kali ini, dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.             Aku menghela napas panjang dan lemah. Seluruh tubuhku, terutama pinggang dan punggungku terasa sakit dan ngilu. Aku menyeka darah yang keluar dari hidung dan mulutku. Tidak terlalu banyak, tetapi sakitnya bukan main. Sepertinya ada kerusakan di dua bagian itu. Aku mendongak, menatap Denis yang menatapku lekat.             “Aku bosan dengan permainan ini, kamu boleh tinggal dengan ayahmu. Sekali-kali, aku mungkin akan datang.,” katanya kemudian.             “Eh?” Aku ternganga, pernyataan darinya barusan sukses membuatku bingung sekaligus heran.             “Setiap Selasa aku akan memberikanmu kasus, kamu harus menebak bagaimana dan siapa pelakunya. Setiap bisa memecahkan sepuluh kasus, aku akan mengabulkan apapun keinginanmu. Bagaimana?”             Aku menautkan alis, “Kamu yakin?”             Denis mengangguk, “Kamu percaya diri bisa memecahkan kasus dariku?” tantangnya,             Aku mengangguk.             “Sekali-kali, aku akan datang, kamu harus ingat itu. Jangan mencoba mengkhianati atau melarikan diri. Aku pasti akan menemukanmu. Saat itu terjadi, itu adalah akhir dari hidup semua orang yang kamu sayangi. Aku akan membuatmu melihat kematian mereka satu per satu sebelum akhirnya aku membunuhmu, kamu mengerti?” ancamnya,             Aku mengangguk mengiyakan.             “Sekarang pergilah!” Denis memberikan isyarat.             Aku diam beberapa saat, memastikan ini benar. Saat Denis memberikan isyarat yang sama, aku segera yakin dan buru-buru bangkit dengan susah payah meskipun kakiku terasa sakit untuk digunakan berjalan. Sepertinya, saat terpelanting, ada yang salah pada kakiku sehingga tidak bisa berjalan dengan benar. Dengan tertatih, aku berjalan menuju pintu kamar. Tanpa berbalik—karena khawatir, Denis tiba-tiba sudah berada di belakangku lalu membunuhku, aku hanya terus berjalan. Ketika tanganku berhasil meraih knop pintu, aku sempat menoleh ke belakang sebentar saat tanganku mulai membuka pintu kamar. Di sana—lelaki gila itu menyunggingkan sebuah senyuman penuh dengan kesedihan dan juga ketulusan yang sulit dirasionalkan. Tidak ingin teracuni, aku berbalik dan berjalan secepat yang aku bisa. Walau tubuhku hancur, minimal aku harus mati di tempat yang lebih layak dariada kamar ‘penjagalan’ milik Denis. Aku menghela napas lega saat berhasil keluar dari kamar itu. Walau saat ini masih berada di depan kamar. Tidak ada tanda-tanda Denis mengejarku dan aku bersyukur untuk itu.  Dengan cepat, seorang pelayan datang, membantuku untuk keluar dari sana, mengantarku ke mobil. Aku tidak bertanya akan dibawa ke mana, aku tahu siapa dia. Dia adalah Feng, supir pribadi Denis. Dia yang biasa menjemput dan mengantar ayahku. Dia tidak segera mengantarku ke rumah, membawaku ke klinik terdekat, di mana dokternya adalah dokter yang biasa mengobatiku. Dia mengatakan, aku harus dirawat beberapa hari sebelum diizinkan pergi. Aku setuju karena tidak mungkin aku mendatangi ayah dalam keadaan seperti ini. Feng mengatakan, dia akan datang lagi tiga hari lagi untuk mengantarku ke rumah ayahku. Untuk sementara aku akan tinggal di klinik. Aku hanya mengangguk setuju, lalu dia memberiku sebuah ponsel di mana hanya ada dua nomer di sana, nomer ayah dan Denis. Feng mengingatkan agar aku tidak menelpon polisi, Ferdi atau siapapun yang berpotensi untuk membuat Denis murka. Aku hanya mengangguk mengerti. Feng pun pamit undur diri. Sedangkan aku hanya bisa berbaring di ranjang klinik dengan pikiran yang masih menerka-nerka mengapa Denis bisa berubah pikiran. Entah apa yang terjadi padanya selama kami tidak bertemu, saat ini aku sungguh sangat penasaran dengan itu. Walau tentu, sepertinya itu bukan ide yang bagus. Tetap saja, aku sangat penasaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD