BAB 8

1357 Words
Aku melangkah gontai menuju kelasku. Tidak ada tenaga yang tersisa, sepertinya semangat hidupku telah sirna hanya karena sebuah ketakutan yang seharusnya sudah mampu kuhadapi. Karena aku telah membunuhnya sekali. Jadi, seharusnya aku juga bisa membunuhnya untuk kedua kalinya. "Nisa!" Aku tersentak kaget mendengar sapaan itu. Aku menoleh dan kulihat Satria sudah berada di depanku. Dia menatapku lekat membuatku bertanya-tanya bagaimana bisa aku tidak menyadari keberadaannya. "Nisa!" katanya lagi. "Kamu baik-baik saja?" tanya Satria sedikit cemas. Aku mengangguk pelan. "Tidak apa-apa," sahutku. Satria menghela napas lega mendengar jawabanku. "Syukurlah, Nis!" katanya. Aku terdiam sambil menatap Satria. "Ada apa?" tanya Satria heran. "Sat," "Ya?" "Jangan perhatian padaku!" ucapku tegas. "Eh? Kenapa?" tanya Satria. "Aku tidak mau kamu terluka," ucapku. "Hm?" "Ah! Pacarmu? Tenang saja ini hanya bentuk perhatian seorang teman. Aku tidak menaruh perasaan seperti yang kamu kira, Nisa!" sanggah Satria. Aku terdiam. Benar juga, dia kan homo. Tentu saja dia tidak akan tertarik pada wanita. "Bukan begitu, maksudku-," "Baiklah, mari kita mulai mata kuliah hari ini!" Ucapanku terpotong karena dosenku telah datang dan memulai mata kuliah hari ini. "Kita bisa bicara nanti!" kata Satria lalu kembali ke tempat duduknya. Aku menghela napas berat. Entah kenapa aku merasakan sebuah pertanda buruk jika Satria berada di dekatku. Semoga firasatku kali ini salah. Mata kuliah sudah usai, aku dan Satria berjalan berdampingan menuju ke gerbang kampus. Entah sejak kapan aku merasa kalau Satria menganggapku sebagai satu-satunya teman bagi dirinya. "Sat!" Aku menoleh dan seorang cewek cantik mendekati kami. Dia mengerutkan keningnya saat melihatku dan menunjukkan keBTan. "Kamu siapa?" tanyanya rada jutek. "Aku-," "Minggir!" potongnya sambil mendorong lenganku dengan kasar. Aku terbelalak kaget dengan apa yang aku lihat. Cewek itu menarik lengan Satria dengan keras mmebuatku tanpa sadar menarik tangan cewek itu untuk menghentikannya. "Jangan pergi!" cegahku. Cewek itu menatapku sinis. "Lepas!!" teriaknya. "Jangan pergi!" cegahku. Cewek itu mendorong lenganku kasar membuat Satria menepis tangannya dan membantuku berdiri. "Dasar sialan kamu!" umpatnya lalu berlari pergi. "Nisa, kamu baik-baik saja?" tanya Satria. "Sat, kejar dia!" suruhku. "Heh?" "Dia akan mati. Cepat kejar!!" pekikku. "Apa maksudmu, Nisa?" tanya Satria bingung. Aku mendecih kesal karena Satria tidak melakukan apapun. Aku pun bergegas bangun lalu mengejar cewek itu. Aku menoleh kiri-kanan untuk mencari cewek itu. Aku melihatnya sedang berada di ujung jalan, hendak menyeberang. "Hei!!!" pekikku. Dia tidak mendengar teriakanku, tetap menyeberang. Brakkk... Cittt... Aku tercekat di tempat, cewek itu baru saja ditabrak oleh truk dan aku menyaksiakannya dengan kedua mataku sendiri. Aku tertunduk lemas sedangkan Satria yang baru datang langsung berteriak lalu pingsan saat melihat tubuh cewek itu yang kini sudah hancur dengan daging dan tulang yang sudah tidak utuh dan berserakan di jalan. Kenapa? Bagaimana bisa kematian yang baru kulihat langsung terjadi? Apa kemampuanku kembali mengalami penyimpangan? *** Aku hanya duduk dengan badan gemetar serta keringat dingin yang terus mengalir deras dari tubuhku. Kematian itu hanya sekilas kulihat dan langsung terjadi tepat di depan mataku hanya dalam selang beberapa menit. Ini sungguh suatu kejadian yang baru pertama kali terjadi padaku. Kematian itu mengerikan dan jauh lebih mengerikan saat mata dan pikiranku menyaksikan kejadian yang sama dua kali. Seolah kematian dari cewek yang bahkan belum kutahu namanya itu sebuah permainan game yang bisa aku reply. Aku benci melihat kematian semacam itu. Ini suatu penyimpangan yang tidak lazim dan menyebalkan. Cewek yang ditabrak itu bernama Ririn, mantan pacar Satria. Saat ini kami sudah di rumah sakit, tepatnya di depan kamar jenasah. Kami sedang menunggu keluarga Ririn untuk datang dan mengambil mayat anak perempuan mereka yang sungguh malang nasib. Si supir truk maut itu telah ditangkap, dia menyerahkan dirinya. Anehnya, supir truk itu bilang bahwa dia mengantuk tetapi dapat kulihat jelas betapa sadarnya dia saat turun dari truk dan melihat mayat Ririn. Aku tidak berpraduga bahwa ini pembunuhan, hanya saja ada sesuatu yang janggal yang kurasakan. Walaupun aku belum begitu mengerti, apa kejanggalan dalam kasus ini. "Nisa," Aku tersentak kaget dengan panggilan lembut itu. "Ah, Sat! Maaf!" kataku tersadar dari lamunanku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Satria cemas. Aku menggangguk. "Mau minum?" tanya Satria sambil menyodorkan sebotol air mineral. Aku hanya menggeleng pelan. "Tidak usah!" tolakku. "Sejak tadi kamu hanya diam dan melamun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Nisa?" tanya Satria. Aku hanya tersenyum kecut. "Tidak ada, aku hanya sedikit trauma dengan kejadian ini!" bantahku berbohong. Satria tersenyum getir. "Aku pun sama, rasanya aku tidak ingin percaya jika Ririn kini sudah meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu," ucap Satria sedih. Aku menegakkan tubuhku, kugeser dudukku sehingga sedikit lebih dekat pada Satria lalu aku tepuk-tepuk kecil pundaknya. "Sabar, Sat!" ucapku tulus. Satria mengangguk sambil tersenyum. "Terimakasih, Nisa!" katanya. Aku mengangguk. "Sama-sama!" "Ah, sebentar lagi orangtua Ririn akan datang, jadi sebaiknya kamu pulang!" ujar Satria. "Baiklah," "Atau perlukah aku mengantarmu?" tanya Satria menawarkan. "Tidak usah, aku bisa sendiri!" tolakku. "Sebaiknya kamu telpon pacarmu, Nisa! Aku cemas jika kamu pulang sendirian, wajahmu pucat pasi begitu!" usul Satria. "Tidak usah! Pacarku ada urusan!" tolakku sekali lagi. "Baiklah jika kamu bersikeras, aku harap kamu sampai di rumah dengan selamat!" kata Satria. "Ya, aku juga berharap begitu!" ucapku menimpali. Tak lama kemudian, sepasang suami-istri yang sepertinya orangtua dari Ririn datang. Keduanya tampak menangis dan sangat berduka. Kesedihan itu begitu nyata terlihat di mata keduanya. Satria menghampiri mereka, ditemani dengan seorang petugas rumah sakit dan beberapa anggota kepolisian, mereka bertiga masuk ke kamar mayat. Tunggu! Satria masuk ke dalam? Kenapa? Waktu pertama kali melihat mayat Ririn dia muntah-muntah bukan? Kenapa sekarang dia tanpa biasa saja? Tingkahnya.. Entah mengapa mengingatkan aku pada seseorang. Mungkinkah...? Ah, tidak mungkin. Wajah manusia tidak akan bisa berubah dalam dua tahun bukan? Kalau pun hal itu bisa dilakukan, aku tidak mencium atau merasakan kehadiran 'dia' saat Satria bersamaku. Itu tidak mungkin dia. Aku bangun dari dudukku, menghela napas panjang lalu mulai melangkah pergi. Deg! Aku menghentikan langkahku, hawa membunuh yang begitu kuat itu aku rasakan lagi. Aku mengepalkan kuat-kuat tanganku yang gemetar. Kutelan ludah beberapa kali lalu menoleh ke belakang. Brak. "Aw!" rintihku kesakitan saat tubuhku menabrak sesuatu. Aku mendongakkan kepalaku saat melihat seorang cowok yang sudah tidak asing lagi bagiku. "Nisa!!" pekiknya. "Ah, Ferdi!" sahutku. "Ada apa? Apa kamu terluka?" tanyanya. Aku menggeleng. "Tidak! Sedang apa kamu di sini?" tanyaku heran. "Pamanku masuk rumah sakit!" jawab Ferdi. "Hah?" Aku perhatikan Ferdi baik-baik dan sempat kaget saat melihat beberapa luka goresan di pipi dan siku tangannya. Telapak tangannya pun juga terluka. "Fer, kamu baik-baik saja?" tanyaku. Ferdi hanya tersenyum tipis lalu cowok ganteng itu menggenggam erat kedua tanganku. "Tenanglah! Aku baik-baik saja!" katanya. "Pamanmu kenapa?" tanyaku. Ferdi hanya tersenyum. "Tidak apa-apa," jawab Ferdi. "Apa dia datang?" tebakku. Ferdi hanya tersenyum kecut. "Tidak apa-apa, tenanglah!" kata Ferdi enggan memberikan jawaban pasti. "Apa pamanmu tertikam?" Ferdi memelukku. "Tenanglah, Nisa!" katanya berulang kali seolah dia tahu bahwa aku sangat ketakutan sehingga seluruh tubuhku gemetar dan lemas. "Kamu sendiri bagaimana? Kenapa kamu di sini?" tanya Ferdi saat aku sudah merasa tenang dan kami sudah duduk di kursi tunggu, berdua saja. "Teman dari temanku tewas!" jawabku. "Kenapa bisa tewas?" tanya Ferdi. "Tertabrak truk!" jawabku. "Apa kamu tidak melihat kematian tentangnya?" tanya Ferdi. "Justru itu, aku melihat kematiannya dan peristiwa itu langsung terjadi. Sedangkan pamanmu yang aku perkirakan akan meninggal dalam 2-3 hari, malah masih hidup. Apa penglihatanku sudah tidak akurat lagi?" tanyaku merasa bimbang. Ferdi terdiam, cowok ganteng itu tampak sedang berpikir. "Aneh, rasanya ini seperti sebuah masa depan yang berubah karena suatu faktor x!" gumam Ferdi. "Mungkinkah ini terjadi karena dia?" tanyaku. "Apa kamu bertemu dengannya Nisa?" tanya Ferdi. Aku menggeleng. "Tidak, tetapi aku merasakan kehadirannya." jawabku. "Kapan?" tanya Ferdi. "Tadi sesaat sebelum bertemu denganmu!" jawabku. "Hah?" teriak Ferdi kaget. "Benarkah itu?" tanyanya panik. Aku mengangguk. "Sial!" dengus Ferdi lalu berlari pergi. Aku yang merasa penasaran segera berlari menyusul Ferdi. Rupanya dia pergi ke sebuah kamar rumah sakit. Aku pun menyusulnya masuk ke kamar itu dan langsung ternganga saat kulihat paman waktu itu, adik dari alm ayah Ferdi telah berbaring kaku dengan luka sayatan di lehernya. Paman itu tewas dengan darah yang telah merubah sprei putih menjadi warna merah darah. "Siallll!!" teriak Ferdi. Cowok ganteng itu mengepalkan tinjunya dan melayangkannya ke tembok beberapa kali. Aku yang melihatnya begitu segera merangkulnya. "Jangan begitu, Fer! Jangan! Tolong hentikan!" pintaku. Ferdi membisu dan bisa kudengar dengan samar isak tangisnya. "Radit sialan!" makinya. "Maaf," ucapku. "Radit b*****h!!!" teriak Ferdi sekali lagi. Kesabarannya menghilang. Ferdi melepas rangkulanku dan mendekati paman yang kini telah tiada itu. Dia mengusap wajah paman itu sehingga matanya yang terbelalak karena kematian mendadak yang dialaminya akhirnya terpejam sempurna.   Ferdi menggigit erat bibirnya, dengan airmata yang membasahi kelopak mata dan pipinya, pacarku itu menunjukkan sebuah sorot mata penuh amarah dan balas dendam yang begitu menakutkan. "Tunggu saja Radit! Aku  menemukanmu lalu akan aku membunuhmu!" katanya penuh kesungguhan. Aku hanya berdiri bimbang, aku bingung tidak tahu bagaimana caranya bersikap dalam situasi ini. Kini aku mengetahui satu hal, bahwa meski penglihatanku berubah, hasil akhirnya sama aja. Semua yang aku lihat dalam penglihatanku akan mati. Itu artinya, hal yang sama berlaku padaku. Aku juga akan segera mati dan pembunuhku adalah dia, psikopat gila itu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD