Saat pertama kali aku bisa melihat kematian orang lain, aku merasa dunia sangat kejam. Berkali-kali aku berusaha mencegahnya, tetapi kematian selalu berada dua sampai tiga langkah di depanku. Aku tidak dapat melakukan apapun meskipun sudah mengetahuinya. Rasanya, ini terlalu lancang jika disebut sebagai kelebihan. Nyatanya, melihat kematian orang lain hanya membuatku semakin merasa tersiksa. Meskipun, jauh lebih sulit melihat kematian yang akan datang pada diriku sendiri. Denis Aditya, suamiku, dia adalah penyebab dan alasan mengapa aku meninggal dunia. Setidaknya, aku merasakan seperti itu semenjak pertama kali, aku melihat bagaimana dia akan membunuhku. Namun, fakta bahwa aku masih di dunia ini, hidup dan bernyawa, membuatku semakin putus asa. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, nyatanya, aku sangat ketakutan dan tidak pernah bisa berhenti untuk tidak khawatir.
Saat SMA, aku pernah “melihat” bagaimana akhir dari seorang Annisa Sofiana, yang akan menikah dengan seorang Denis Aditya. Meskipun waktu itu aku menyukainya dan senang dengan fakta itu, nyatanya, semua itu benar-benar terjadi. Aku menikah dengannya, tidak peduli meskipun aku pada akhirnya tahu, kalau dia adalah seoran pembunuh berdarah dingin dan kalaupun aku sudah tidak mencintainya, melainkan mencintai orang lain, takdir seolah tidak berhenti melakukan tugasnya. Terkadang, impian seseorang akan berantakan, sebab dipermainkan oleh keadaan, sama seperti yang aku alami dan rasakan. Semuanya terasa sangat mengecewakan. Akan tetapi, aku tidak bisa melawan atau melakukan apapun untuk berubah keadaan. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya berusaha untuk memperbaiki situasi. Meskipun aku tidak terlalu yakin akan bisa melakukannya. Ferdi, kekasihku, bukan, mantan kekasihku, tidak ada lagi. Aku sendirian dan harus berjuang dengan kenyataan itu, sungguh ini menyakitkan.
Aku mengakui kalau memang aku tidak pandai dalam menganalisis, sejauh ini, sejak dari awal pun, Denis sepertinya sudah tahu mengenai fakta tersebut. Jadi, tidak mengherankan jika dia menyarankan hal ini. Bagaimanapun, aku sudah tidak bisa berubah pikiran. Aku sudah memutuskan untuk melangkah maju ke depan, aku tidak bisa serta-merta berbalik dan melangkah mundur karena ketakutan. Aku juga tidak mau kembali ke ruangan pengap itu, juga tidak mau lagi melihat video menjijikkan dan membuat perut seperti dikocok keras yang sering Denis pertontonkan. Aku tidak mau lagi. Sudah cukup penderitaanku selama hampir setengah tahun ini. Walau sebagai gantinya, aku harus kembali menjadi watcher. Padahal, aku sudah beberapa kali kehilangan kemampuan itu. Semuanya, saat Denis tidak lagi bersamaku. Ini sungguh menjadi misteri dan tanda tanya besar bagiku. Terlebih, saat kami masih menjadi sepasang suami-istri, aku sama sekali tidak memiliki kemampuan itu lagi. Aneh, saat dia melepasku pergi, aku tiba-tiba mendapatkan kemampuan itu lagi. Sungguh sangat membingungkan. Bagaimanapun aku mencoba menganalisa dan menalarnya, otakku sepertinya tidak akan pernah mampu untuk menarik kesimpulan ataupun jawaban dari fakta tersebut.
Watcher, kemampuan itu menyiksa selama hampir delapan belas tahun hidupku. Namun, aku tidak pernah berhenti mengeluh tentangnya. Kali ini, aku memilikinya lagi dan rasanya, aku merasa beruntung karena kemampuan aneh itu kembali. Dengan begitu, mungkin aku akan memiliki petunjuk dan selangkah berada di depan Denis. Dia memberiku tugas dan tugas itu mencari pelaku sebenarnya, seolah dia mengatakan, kalau bukan dia yang harus aku incar. Denis tidak pernah mengelak kalau dia pembunuh, mustahil dia memintaku mencari pelakunya, jika memang dia adalah pelakunya. Meskipun itu tidak menutup kemungkinan. Aku merasa harus menyampingkan pemikiran itu dulu dan fokus untuk menemukan petunjuk. Hal pertama yang harus aku lakukan sekarang adalah pergi ke tempat yang sudah Denis kirimkan tadi. Sekarang? Aku ragu-ragu. Bagaimanapun, ayah pasti akan bertanya jika aku pergi di jam seperti ini. Walau sudah jam enam, ayah pasti kecewa jika aku melewatkan sarapan pagi bersamanya di hari pertama aku kembali ke rumah ini. Ini sangat membuatku dilemma. Namun, mungkin tidak apa-apa. Aku tidak punya rencana apapun untuk kasus kali ini. Kalaupun aku datang ke sana dan ternyata belum ada yang menemukan mayatnya, aku pasti akan menjadi tersangka. Hal itu akan menyulitkanku untuk bisa mencari petunjuk. Ah, Denis memang ahli dalam mempermainkan perasaan dan pikiran orang lain, tidak mengherankan jika dia memang benar-benar psikopat. Otaknya berpikir dengan cara yang mengagumkan. Ini bukan sebuah pujian, tapi sindiran. Juga, rasa iri, mungkin.
Aku turun dari ranjang, keluar kamar, tepat hampir setengah tujuh. Sesuai dugaanku, ayah sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untukku. Wajahnya berseri, ceria. Sangat berbeda dengan apa yang kulihat setiap hari Selasa selama ini. Walau dia juga menunjukkan kegembiraan, keceriannya pagi ini, sangat tulus dan begitu nyata, seolah tidak ada beban. Aku bersyukur tidak buru-buru pergi tadi. Jika aku melakukannya, mungkin ayah akan kecewa dan memasang raut wajah sedih. Aku tidak mau sampai itu terjadi. Sudah cukup selama berbulan-bulan aku meninggalkannya tanpa kabar dan membuatnya terus khawatir padaku. Walau aku sudah dewasa, merasa dewasa dan sudah berstatus istri orang, di mata ayah, aku tetaplah seorang anak kecil. Anak perempuan yang menurutnya harus selalu diawasi dan dilindungi. Padahal selama ini, aku merasa belum berhasil membahagiakannya, tetapi dia selalu mengatakan betapa bangganya dia padaku pada orang-orang. Aku menjadi sedih sekaligus gembira setiap kali ayah berkata demikian.
“Kamu mau pergi?” tanya ayah saat melihatku sudha berpakain rapi.
Aku mengangguk, “Ya, Denis memintaku melakukan sesuatu ayah,” jawabku. “Namun, aku akan sarapan dengan ayah lebih dulu.”
Raut ayah yang sempat akan kecewa segera kembali ceria mendengarkan penuturanku. “Kemana? Ayah antar?” tawarnya.
“Tidak usah, Yah. Nisa bisa sendiri, bukankah ayah harus pergi bersama dengan paman Sam? Kalian sudah berjanji akan memancing bersama bukan?” Aku berdalih. Ayah mengatakan padaku kalau pagi ini, ayah berencana pergi memancing dengan paman Sam.
Paman Sam adalah teman baru ayah. Setelah aku pergi, tetangga sebelah pindah rumah dan tetangga baru kami adalah paman Sam. Yang ayah ceritakan, paman Sam seorang Duda, tanpa anak, yang sangat suka memancing. Mungkin karena sama-sama merasa hidup sendirian dan kesepian, ayah dan paman Sam cepat menjadi teman. Mereka suka memancing di akhir pekan. Suatu kegiatan yang rutin, begitu kata ayah tadi malam saat kami mengobrol tentang bagaimana hidup ayah berjalan saat aku tidak ada di sisinya dan apa saja kabar terbaru yang aku lewatkan. Selama di rumah Denis, ayah dan aku membatasi obrolan kami. Aku tahu rumah itu disadap dan Denis akan mendengarkan semua obrolan kami. Itulah alasan mengapa aku membatasi pembicaraan. Walau penasaran dan ingin tahu alasannya, nyatanya, ayah tidak pernah bertanya tentang tindakanku tersebut. Mungkin, dia berpikir topiknya tidak menarik sehingga dia selalu memilih untuk menanyai kabarku atau bercerita tentang hal-hal menyangkut dirinya, tanpa melibatkan orang lain. Juga, cerita masa lalu ayah, termasuk kisah percintaannya dengan ibu. Berulang kali ayah bercerita membuatku menghafal cerita itu di luar kepala. Walau demikian, aku tidak pernah merasa bosan dengan cerita yang sama tersebut. Itu kisah cinta sederhana yang romantis sekaligus menyentuh hati. Aku senang dengan kemesraan dan kisah cinta mereka di mana sangat berbeda dengan kisah cintaku dengan Denis. Cinta? Mungkin di antara kami, tidak ada kata dan rasa semacam itu.
“Kamu yakin bisa sendirian?” tanya ayah meragukan.
Aku mengangguk menyakinkan, “Ayolah, Ayah. Aku akan baik-baik saja. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sore hari setelah ayah selesai pergi memancing?” saranku.
“Baiklah, janji?” Ayah setuju.
Aku mengangguk, “Janji,” sahutku seraya tersenyum tipis membuat ayah menghela napas lega. Aku tidak tahu mengapa ayah sangat khawatir, padahal aku menggunakan Denis sebagai alasan. Mungkin, ayah merasa, aku akan pergi darinya dan tidak ingin kehilanganku lagi. Kerinduannya padaku belum selesai, walau mungkin tidak akan pernah bisa usai.
“Hati-hati di jalan dan jangan lupa kabari ayah,” pintanya.
Aku mengangguk yakin.
“Yasudah, ayo kita makan,” ajak ayah.
Aku mengangguk mengiyakan.
Kami pun makan dengan lahap. Setelahnya, aku mengantar ayah ke rumah paman Sam, tetangga kami. Aku secara resmi menyapa dan memperkenalkan diri padanya. Sejauh yang aku lihat, tidak ada yang mencurigakan tentangnya. Seperti yang ayah katakan, dia tinggal sendirian dan rumahnya cukup berantakan. Lelaki memang sering enggan membersihkan. Walau Denis tidak demikian. Dia berbeda, secara sikap dan pemikiran. Psikopat yang perfeksionis. Begitu aku menyebutnya.
Setelah berpamitan pada ayah dan paman Sam, aku masuk ke mobil ayah di mana ayah menebeng pada paman Sam. Ayah bilang, aku bebas menggunakannya. Aku sudah memiliki lisensi menyetir, jadi seharusnya tidak akan ada masalah yang akan terjadi.
Aku menggunakan bantuan aplikasi untuk mencari alamat yang Denis berikan padaku. Cukup memakan waktu, tetapi aku sampai di sana, di mana sudah ada mobil polisi di sana. Juga ambulan dan kerumunan orang. Aku sengaja memarkirkan mobilku cukup jauh dari sana dan berjalan kaki, ingin mencari informasi.
“Nisa.”
Aku menoleh saat teriakan itu membuat bulu kudukku meremang. Aku mengenali suara itu. Rasanya, aku ingin kabur dari sana sesegera yang aku bisa, tetapi tubuhku hanya diam mematung dengan air mata bertetesan.
Lelaki itu mendekat dan nyaris memelukku, tetapi dia seperti menerima kembali kewarasannya sesaat sebelum pelukan itu terjadi.
“Maaf,” katanya canggung. “Kenapa kamu di sini?” tanyanya heran sekaligus senang.
“Denis,” jawabku singkat.
“Kamu?”
“Sama.”
Pupil mataku melebar, kaget sekaligus tidak percaya. What the heck is that?
Sebuah pesan mendarat di saat yang tepat. Dari Denis.
Kamu suka hadiahmu? Aku akan membiarkan kalian bekerja sama. Namun, ingat! Kamu istriku. Perselingkuhan harus dibayar dengan kematian!
Aku menelan ludah. Sungguh, Denis selalu seperti ini. Dia suka mempermainkan perasaan dan pikiran orang lain. Dia mengirim Ferdi, padahal tahu kalau aku mencintai lelaki itu.
“Nisa, aku di sini untuk kasus, kamu?” Ferdi menatapku lekat.
“Ya, aku juga,” jawabku.
“Itu artinya….” Ferdi ragu-ragu.
“Kita harus bekerja sama, tetapi tidak boleh jatuh cinta. Aku adalah istri Denis,” ucapku tegas.
Ferdi mengangguk pelan, “Aku tahu,” katanya dengan tersenyum kecut membuatku merasa bersalah, terlebih saat melihat jari tangannya yang hilang karena aku. Bagaimanapun, ini adalah hal di luar dugaan. Apa maksud sebenarnya dari Denis melakukan ini? Untuk bersenang-senang atau dia sengaja melakukannya untuk menguji kesetiaanku? Ah, ini sungguh menyebalkan. Aku tidak suka dengan keadaan ini. Daripada bersama Ferdi, aku lebih baik sendirian. Dengan demikian, apapun yang terjadi, aku bisa berkonsentrasi dan fokus, tanpa harus terganggu dengan masa lalu. curang! Psikopat itu benar-benar membuatku kesulitan. Sialan.