“Susan, tolong bikinkan kopi seperti biasa.”
David berkata pada Susan lewat sambungan interkom.
“Baik, Pak.”
Susan segera ke ruang pantry untuk membuatkan David kopi. David biasanya menyukai kopi yang sedikit manis, tapi kali ini Susan akan membuatkan kopi tanpa gula. Dia masih marah pada David. Seenaknya saja David mengabaikan panggilannya.
Tok.. tok..
“Masuk!” jawab David dari dalam.
Susan masuk dengan membawa kopi di atas nampan. David menatap sekretarisnya itu sebentar lalu kembali fokus pada dokumen-dokumen di atas mejanya. Pekerjaannya sedang banyak. Dia tidak ingin kehilangan fokus apalagi rapat triwulan akan segera dilaksanakan.
“Tolong taruh di sini.” David memberi perintah tanpa menatap Susan.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana sakit hati yang dirasakan Susan. Matanya memancarkan amarah yang luar biasa. David sudah mengacuhkannya sejak semalam.
“Silakan, Pak.”
Susan menaruh kopinya di atas meja David lalu segera keluar ruangan. Dia akan menunggu detik-detik David akan menyemburnya karena kopi yang pahit. Selagi menunggu itu, lebih baik dia fokus dengan pekerjaannya saja.
Benar saja. Tiga puluh menit kemudian, terdengar suara David menjerit, memanggilnya dari dalam ruangan. Susan tidak terlalu memikirkannya. Dia malah tersenyum sinis sebelum perlahan beranjak menuju ruangan David.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya Susan tanpa merasa bersalah sama sekali.
“Apa benar kau yang membuat kopinya?” tanya David sambil menahan amarah.
Dia sudah berdiri di depan meja sambil berkacak pinggang. Pekerjaannya sedang banyak dan Susan sengaja memancing amarahnya? Ada apa ini?
“Iya, Pak. Saya yang membuatnya. Ada apa ya, Pak?”
“Kau! Apa sebenarnya maumu? Kenapa kau seperti ini?”
“Saya? Saya baik-baik saja, Pak.”
“Lalu kenapa kopi buatanmu seperti sampah? Kau paham betul kesukaanku tapi apa ini yang kau berikan padaku?”
David belum pernah sekali pun marah pada Susan. Ini adalah yang pertama. Sebenarnya dalam hati, Susan sudah sedikit takut melihat mata David yang melotot. Tapi rasa sakit dan kecewa yang dirasakannya sejak semalam membuatnya menekan rasa takut itu. Alih-alih menunjukkan rasa takut, Susan terlihat menantang David.
“Apa Bapak ingin dibuatkan kopi lagi?”
David yang melihat aura Susan berubah, seketika menggeleng. “Tidak usah! Bawa saja ini ke pantry.”
Susan segera mengambil cangkir kopi dan membawanya ke pantry.
David kembali duduk dan memijat pelipisnya. Dia masih memikirkan Susan. Apa Susan marah padanya? Tapi kenapa? Lama David termenung. Kemudian dia ingat kalau semalam dia mengabaikan panggilan Susan dan pagi ini juga dia belum meminta maaf dan memberikan penjelasan.
David segera mengambil ponselnya lalu memesan satu buket bunga dengan kartu pemintaan maaf. Semoga saja mood Susan segera membaik agar dia bisa bekerja dengan tenang.
Satu jam kemudian, suara ketukan terdengar. “Masuk!” perintah David.
Susan muncul dari balik pintu lalu menutupnya. Dia kemudian berjalan menghampiri David. Wajahnya sudah tidak tertekuk seperti beberapa saat lalu. Bibirnya seperti menahan senyuman.
“Ada apa, Susan?” tanya David basa-basi.
“Tidak ada, Pak. Seseorang baru saja mengirimkan bunga padaku.”
“Lalu? Apa kau tidak menyukainya?”
“Aku sangat menyukainya.”
“Apa kau tahu alasan dia mengirimu bunga?”
“Dia meminta maaf.”
“Lalu apa kau memaafkannya?”
“Dengan bunga yang wangi dan coklat yang manis? Tentu saja aku memaafkannya.”
“Lalu apa masalahnya?” tanya David pura-pura bingung.
“Aku hanya bingung kira-kira aku harus membalasnya dengan apa?” tanya Susan dengan nada merayu.
“Kau bisa menciumnya,” jawab David tanpa berpikir panjang. Dia bahkan tidak menutupi smirk di wajahnya.
“Kira-kira aku harus menciumnya di bagian mana?” Susan bertanya dengan kakinya yang melangkah anggun mendekati David.
David memutar kursinya menghadap Susan yang menghampirinya. Kini Susan sudah sepenuhnya berhadapan dengan David yang masih setia duduk di kursinya.
“Mungkin di pipinya.”
“Apa Bapak yakin hanya di pipinya?”
“Mungkin setelah itu kau bisa mencium bibirnya.”
Susan kembali berjalan mendekat. Dengan gerakan menggoda, dia duduk di pangkuan David. Wajah mereka sudah sangat dekat. David tersenyum. Susan berbisik lembut di telinga David. “Sepertinya aku tahu yang lebih baik.”
Susan mengecup singkat telinga dan leher David. Tangannya sudah merayap di d**a dan perut David. David sendiri sudah mulai susah menelan salivanya. Dia memejamkan matanya menikmati sentuhan dan kecupan Susan.
Tiba-tiba Susan menjauh. Dia berdiri. David seketika membuka matanya. Wajahnya tersirat kebingungan. Matanya bertanya ada apa.
Susan hanya tersenyum dan tiba-tiba tangannya sudah berada di sabuk David, sibuk membukanya. David terkesiap. Tapi sedetik kemudian, wajahnya sudah kembali cerah; secerah mentari.
Susan pun berlutut di depan David. Tangan dan mulutnya sibuk dengan tubuh David sedangkan David hanya bisa memejamkan matanya. Tangannya meraih rambut Susan dan menikmati perlakuan Susan di bawah sana.
Saat David sedang menikmati permainan Susan, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. David dan Susan terkejut bukan main. Susan segera merangkak ke bawah meja, bersembunyi. David segera menghadapkan tubuh dan kursinya ke arah meja. Dia sengaja menutupi tubuh bawahnya dengan meja. Hampir saja David memecat siapa saja yang memasuki ruangannya dengan tidak sopan.
“Di-Diana? Babe, ada apa kau kemari?” David tidak bisa menutupi kegugupannya. Apa Diana melihat apa yang baru saja terjadi? Keringat mulai muncul di dahi David.
“Babe, apa kau baik-baik saja?” tanya Diana khawatir.
“Tentu saja aku baik-baik saja. Apa kau ada perlu kemari?”
“Apa aku perlu alasan khusus untuk mendatangi ruangan kekasihku?”
Diana tersenyum tipis. Dia berjalan ke arah sofa.
“Tidak, Babe. Bukan begitu. Hanya saja pekerjaanku sedang hectic.” David mencoba berkata senatural mungkin.
Tangannya sedikit demi sedikit membenarkan celananya dari bawah meja. Dia mencoba sehalus mungkin agar tidak menarik perhatian Diana. Sedangkan Susan di bawah sana sudah mengucapkan banyak sumpah serapah untuk Diana. Apalagi kini dia bersembunyi di bawah meja di antara kaki David. Sial!!
“Aku sebenarnya ingin mengajakmu makan siang. Apa pekerjaanmu tidak bisa ditinggal?” tanya Diana penuh harap.
David sontak melihat jam dindingnya. Benar saja, ini sudah jam 12.05.
“Baiklah. Kau ingin makan siang di mana?”
David sudah selesai merapikan celananya. Dia memundurkan meja dan berdiri. Lalu dengan senyumnya yang manis, dia menggandeng tangan Diana untuk keluar dari ruangannya.
“Di mana Susan? Dari tadi aku tidak melihatnya?” Diana menatap David penuh selidik. Apa Susan kembali memasuki kamar mandi David? Sejujurnya Diana kurang suka jika Susan terlalu sering memasuki ruang pribadi David.
“Aku menyuruhnya fotokopi di bawah. Agar dia bisa sekalian makan siang,” jawab David penuh percaya diri.
Diana tersenyum mendengar jawaban David. Dia bisa bernafas lega sekarang. Susan tidak lagi memasuki ruang pribadi David. Diana yang sedang berbahagia langsung mencium pipi David.
Susan masih di bawah meja menunggu kedua orang itu keluar dan suara ruangan tertutup. Setelah dirasanya sepi, Susan segera keluar dari bawah meja. Dia segera menuju kamar manda untuk merapikan rambutnya sebentar dan keluar.
Rasanya dia sudah tidak ingin melakukan apa pun, tapi dia harus bersikap profesional agar bisa tetap menjadi sekretaris David. Jadi, dia memutuskan untuk memesan makanan lewat online saja sambil meneruskan pekerjaannya.
Sementara itu...
Rahang Leo kembali mengeras melihat apa yang ada di layarnya. Lagi-lagi David dan Susan melakukan hal yang menjijikkan di ruangan David. Sampai kapan Leo bisa menahan mulutnya untuk tidak mengatakan apa pun?