YANG AKAN TERJADI

1116 Words
Ervan memasukkan baju-bajunya yang tidak terlalu banyak ke dalam tas. Dia berencana untuk check out hari ini, meskipun dia tidak akan pergi ke Tangerang hari ini juga. Itu hanya alasannya saja agar bisa terlepas dari Febi. Sejak dia mengajari Febi bercinta tadi pagi, sepertinya perempuan lugu itu merasa memiliki Ervan sepenuhnya dan enggan untuk berpisah darinya. Sebenarnya rasa cinta pada Febi hampir tidak ada, hubungannya dengan Febi hanya karena kebutuhan. Ervan memerlukan perempuan yang sangat mencintainya itu untuk memuluskan beberapa rencananya.  Sewaktu di SMA dia punya kaki tangan yang bisa dimanfaatkan. Gadis cantik juga, yang begitu tergila-gila pada Adhit. Dengan sedikit keahliannya membujuk dan menghasut, gadis itu bisa dipengaruhi agar dia tidak kenal lelah mendekati Adhit. Untungnya gadis itu punya sifat yang sedikit jahat. Begitu bencinya pada Shila, dia tega memukuli dan menyiksa Shila secara fisik. Tujuannya agar Shila mau putus dengan Adhit.   Dan pada akhirnya, Shila memang putus dengan Adhit. Sayangnya dia menghilang dan tidak bisa Ervan telusuri keberadaannya hingga sekarang. Kali ini dia tidak boleh kehilangan Shila lagi.     Setelah check out, Ervan menunggu sebentar di lobi hotel. Dia sudah minta tolong kepada salah satu karyawan hotel agar dicarikan kendaraan yang bisa mengantarnya ke beberapa tempat. Kendaraan yang tidak mencolok dan bisa menghilang dengan cepat di keramaian.   "Pak, orangnya sudah menunggu di luar."   Seorang karyawan hotel memberitahunya dan mengantar Ervan keluar. Dia menunjuk kepada seorang lelaki dengan jaket lusuh dan mengenakan helm di pelataran parkir motor. Ervan mengangguk puas dan memberi sejumlah tips kepada karyawan itu.   Dengan berjalan kaki dan menyandang tas berisi pakaian, Ervan menghampiri bapak dengan jaket lusuh yang ditunjukkan karyawan hotel tadi. Ervan berbasa-basi sebentar lalu naik di belakang bapak tersebut.   "Ke mana kita, Pak?" tanya bapak itu. Ervan menyebutkan satu alamat. Motor pun melaju meninggalkan hotel.   *** Sepulang dari hotel tempat Ervan menginap, hati Febi berbunga-bunga. Sungguh pengalaman baru dan dia menyukainya. Di dalam mobil yang dia kendarai, tak henti-henti Febi tersenyum. Memutar ulang kembali peristiwa bersama Ervan tadi. Tak ada rasa malu, tak ada batasan, yang ada adalah penyatuan kedua tubuh mereka dan juga hati mereka. Febi mengelus dadanya, tubuhnya, juga selangkangannya. Rasanya dia ingin mengulang kembali. Sepertinya dia kehausan. Sayang, Ervan harus pulang sore nanti karena besok pagi dia sudah harus masuk kerja.   Febi merapikan tampilannya sebentar sebelum turun dari mobil. Hari ini dia akan mengecek peralatan pinjaman yang harus dikembalikan setelah selesai digunakan pada reuni kemarin. Dia juga harus memastikan kalau aula sudah kembali seperti sedia kala. Beberapa pekerja upahannya sudah datang dan dia harus mengawasi mereka selama bekerja. Akan makan waktu cukup lama. Untungnya anak-anak masih libur sekolah, jadi kegiatan angkut-angkut barang tidak mengganggu aktivitas belajar mengajar.   Hari telah sore setelah semua pekerjaan selesai. Febi lupa kalau dia belum makan siang. Jika ada Adhit, pasti sahabatnya itu akan menegurnya. Namun Adhit kini punya Shila dan bisa dipastikan jika mereka berdua sedang menghabiskan waktu bersama. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua sekarang dan bagaimana perasaan mereka? Bohong jika bilang mereka sudah tidak punya perasaan satu sama lain. Meskipun Shila sudah menikah, tapi Febi yakin dia tidak bisa melupakan Adhit.   Sebelum pulang, Febi mampir di kios sate ayam dan membeli dua porsi sate ayam. Satu untuk dia, satu untuk mamanya. Harinya sedang baik, Febi ingin menghabiskan hari ini dengan mamanya. Mengobrol dengannya, setelah dia disibukkan dengan urusan reuni selama beberapa minggu ini.   “Ma, Febi pulang bawa sate ayam. Yuk, kita makan bareng!” teriak Febi begitu membuka pintu rumahnya.   Mama melongokkan kepala dari kamarnya. “Tumben kamu bawa kesukaan Mama, ada apa, nih?” tanya Mama sambil berjalan ke meja makan dan menyiapkan dua piring kosong.   “Urusan reuni udah beres, Ma. Udah lama juga kita nggak ngobrol bareng, kan?” jawab Febi sambil mengangsurkan bungkusan sate ke mamanya.   “Iya, kamu sibuk banget ngurusin reuni. Syukurlah kalau sudah beres.” Mama membuka bungkusan sate dan meletakkannya di piring.   “Memangnya Adhit nggak bantuin kamu, ya, Feb? Bukannya dia ketuanya?”   “Bantuin, kok, Ma. Kita punya kerjaan masing-masing.”   “Eh, kamu beneran nggak mau jadian sama Adhit? Kalian, kan temen lama. Adhit juga udah duda. Masa kamu masih nggak enak sama sahabatmu itu. Siapa namanya?”   “Shila, Ma?”   “Iya Shila. Dia, kan udah bersuami juga. Nggak mungkin dia menikah lagi sama Adhit, kan?”   “Ya emang nggak mungkin. Tapi Adhit itu cinta mati sama Shila. Buat dia lebih baik menjomlo seumur hidup dari pada menikah selain sama Shila.”   Mama mencibir. “Laki-laki, kok gitu. Dia tu, ya. Kalau mau bisa dapetin anak gadis lagi. Masih ganteng, kok. Udahlan kamu deketin saja, Feb. Mama dukung!” Mama mencondongkan tubuh dan menekankan kata-kata terakhir.   Febi mulai kesal dengan sikap Mama yang selalu menjodohkannya dengan Adhit. “Ma, sudahlah. Itu nggak mungkin. Lagi pula, Febi sudah pacaran sama Ervan. Dan kami serius.”   Mama tersedak. Lelaki itu, lelaki yang dia coba jauhkan dair Febi, sekarang lelaki itu datang lagi?   “Jangan main-main sama Mama, Feb! Katamu nggak akan berhubungan sama Ervan lagi!”   “Febi salah. Ternyata Febi masih belum bisa melupakan dia. Lagi pula sekarang dia sudah bercerai dengan istrinya jadi nggak ada yang menghalangi kami, Ma.”   “Kenapa dia bercerai? Pasti karena dia berbuat jahat, ya? Selingkuh? KDRT?”   “Mama kenapa, sih? Justru istri Ervan yang selingkuh!”   “Kenapa istrinya bisa selingkuh, kamu harus waspada, Feb. Tidak mungkin ada asap kalau nggak ada api!”   “Di mata Mama Ervan selalu salah! Mama maunya apa, mau Febi jadi perawan tua sampai mati! Udah syukur ada yang mau sama Febi. Mama mau cucu tidak?”   “Ya tapi jangan sama dia!” Mama berdiri, perutnya kenyang tiba-tiba. “Pokoknya kalau sama dia Mama nggak akan pernah setuju!”   “Ma ..., Ervan itu sudah lama tinggal di Jawa. Dia lebih paham adat kita daripada adatnya sendiri. Jangan rasis, deh, Ma.”   “Hati seorang ibu itu nggak bisa dibohongi, Feb. Mungkin perasaan Mama ke Ervan itu nggak bisa dijelaskan dan nggak bisa kamu terima. Tapi Mama tetap percaya kalau Ervan bukan lelaki yang baik buatmu.” Mama menatap Febi dengan tajam. Sepertinya pendiriannya tidak tergoyahkan.   “Baik kalau itu mau Mama. Mulai sekarang mungkin kita harus belajar untuk tidak saling mengenal,” ujar Febi dingin sambil pergi meninggalkan mamanya. Menuju mobil dan mengemudikannya kencang-kencang hingga rodanya berdecit-decit.   ***   Sambil menunggu kedatangan Adhit, Shila memutuskan membaca surat kedua dari Donna. Isinya sangat pendek dan seperti surat pertamanya, isinya menimbulkan banyak pertanyaan.   Halo Shila, aku cuma mau memberitahumu satu hal. Apa kamu tahu tentang Dhita? Adik kandung Adhit? Sebaiknya kamu mencari tahu, karena setelah tahu mengenai kisahnya mungkin pendapatmu tentang Adhit akan berbeda.   Lelaki yang kamu cintai tidak sesempurna kelihatannya.   Dhita? Adik kandung Adhit? Apa lagi ini? mengapa begitu banyak teka-teki yang harus Shila hadapi?   Ketukan di pintu menghapus rasa penasarannya. Tidak mungkin itu Adhit, kan? Dia memintanya menunggu di lobby. Ah, mungkin orang hotel yang akan membereskan kamarnya, pikir Shila. Tanpa curiga dia pun langsung membuka pintu. Dan alangkah terkejutnya ketika dia mengetahui siapa yang berdiri di muka pintu. Bagaimana bisa?   “Kamu? Kok bisa kemari? Sama siapa?” tanya Shila sambil melongok ke arah lorong hotel. Kosong. Dia memandang kembali sosok yang sedang tersenyum padanya. Senyum yang menyebalkan. ©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD