7. Jindan Menggerutu

1090 Words
Setelah menurunkan Bilqis di depan rumah makan tempatnya bekerja, Jindan segera memutar motornya. Ternyata rumah makan tempat istrinya bekerja berada di pusat kota. Cukup jauh dari kontrakan apalagi tempatnya bekerja. Jika Warung Nusantara berada d pusat kota, maka pabrik tempat Jindan bekerja berada di pinggir kota. Otomatis kontrakan Jindan juga berada di pinggir kota. Untuk mencapai tempat istrinya dia harus memacu motornya selama empat puluh menit. Jindan membutuhkan total delapan puluh menit untuk mencapai tempat kerjanya. “Semoga aku cepat menemukan solusi untuk masalah ini. Jujur saja sepertinya aku tidak akan sanggup jika harus mengantarnya bekerja setiap hari seperti ini. Apa aku perlu pindah kontrakan yang berada di tengah-tengah saja ya? Kasihan jika dia harus menempuh jarak jauh begitu. Belum lagi kalau terkena macet. Aku juga tidak tega jika dia harus berangkat sendiri menggunakan motor kalau jaraknya jauh begitu. Eh, memangnya dia punya motor tidak ya? Semoga saja punya. Kalau tidak punya, terpaksa nanti aku carikan yang bekas dan bisa dicicil saja,” pikir Jindan dalam hati. “Untungnya dia berjilbab. Sepertinya dia juga selalu salat lima waktu. Seandainya dia bukan gadis baik-baik bagaimana?? Duh, Ya Allah, semoga saja dia memang gadis yang baik. Huft! Biar pun dia sudah membuatku susah, tapi dia sudah benar-benar menjadi istriku. Aku tidak bisa membiarkan dia begitu saja. aku juga tidak ingin menambah daftar deretan dosa yang sudah aku lakukan. Ya Allah, kenapa hidupku jadi begini?” keluh Jindan dalam hati. “Ya Allah, kenapa jadi mengeluh? Udah lah! Ikhlas aja! Sekarang hanya bisa berdoa semoga pernikahanku ini memang diridhoi Tuhan. Semga bisa jadi jalanku menuju hidup yang lebih baik. Untuk akhirat yang lebih baik juga. Aamiin.” Jindan terus bermonolog dalam hatinya selama perjalanan. Beberapa pro kontra tentang jalan hidupnya berkelebat dalam benaknya. Sama sekali tidak pernah membayangkan menikah dengan gadis yang tidak pernah dia kenal, gadis yang dia temui di jalan. Hati Jindan terus saja berdebat selama perjalanan dan seharian itu. Apalagi saat teman-temannya membahas istri-istri mereka di rumah. Mau tidak mau, itu membuat Jindan kembali teringat pada Bilqis. -- “Ndan! Tumben banget kamu nggak ikut komen. Biasanya meski kita bahas istri di rumah, kau ikutan nimbrung. Kenapa? Ada masalah?” tanya Aziz. Jindan, Hendra, dan Aziz kini sedang istirahat, makan siang di warung belakang pabrik seperti biasa. “Hah? Nggak. Nggak ada apa-apa kok. Aku salat dulu ya.” Jindan segera bangkit. Untung saja makanannya sudah habis. Jadi dia bisa keluar dari pertanyaan Aziz itu sebelum Hendra ikutan bertanya. Dia belum bisa memberi tahu tentang pernikahannya yang mendadak itu. Bisa-bisa dia akan diinterogasi habis-habisan. “Dia kenapa? Sepertinya agak pendiam hari ini.” Aziz bertanya pada Hendra sambil menunjuk Jindan dengan dagunya. Hendra hanya mengedikkan bahunya. “Nggak tahu. Aku masih pusing belum boleh lembur sama istriku.” “Yang penting ‘kan diajak lembur sendiri sama istrimu,” sahut Aziz sambil tertawa. Hendra pun tertawa mendengar kalimat temannya. Dia memang membenarkan Aziz. “Jelas dong!” ucapnya sambil melempar kerupuk ke arah Aziz. “Makanya nggak usah nyesel nggak dibolehin lembur. Besok pasti diizinkan lembur lagi,” tambah Aziz. “Ya, semoga aja. Dia pasti kasih izin lagi, yang penting urusan ranjang dia beres. Hahaha...!!!” Hendra tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatnya sendiri. Aziz pun tertawa tidak kalah kencangnya. Untung warung memang sangat ramai. Jadi tawa mereka sama sekali tidak mengganggu. Pukul tujuh malam, saat Jindan pulang, pria yang baru dinikahkan paksa itu mampir ke warung Abah Rukhin seperti biasa. “Bah, dua bungkus ayam dan tahu ya?” “Tumben dua bungkus?” “Iya, ada teman yang nginap di kontrakan.” “Kemarin bukannya juga beli dua bungkus? Temanmu betah tinggal sama kamu?” “Hah?? Oh, iya. Kayaknya mulai sekarang aku punya teman di kontrakan,” jawab Jindan sambil tersenyum kecut. “Enak tuh. ada temannya bersih-bersih rumah. Lumayan juga untuk menghemat biaya kontrakan,” ucap Abah Rukhin sambil tertawa. Jindan hanya bisa tersenyum kecut. Seandainya saja Abah Rukhin tahu yang sebenarnya terjadi, Jindan tidak yakin Abah masih bisa mengajaknya tertawa seperti ini. Jindan sengaja memesan dua bungkus. Tidak mungkin dia makan sendiri dan membiarkan istrinya melongo sendiri. “Kalau dia sudah makan bagaimana? Ah, sudahlah! Aku bisa memakannya besok untuk sarapan.” Hati Jindan lagi-lagi galau karena istri barunya. Jindan mengernyit melihat lampu di rumahnya masih mati. “Apa dia belum pulang? Perasaan tadi pagi aku sudah memberinya kunci rumah. Atau jangan-jangan dia tersesat? Duh, bikin orang bingung aja tuh anak! Kemarin kecopetan. Apa dia memang selalu ceroboh?” gerutunya dalam hati. Jindan memasuki rumah sambil mengucapkan salam dan satu kali surah Al Ikhlas. Dia langsung menghidupkan lampu-lampu di rumahnya. Setelah membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban empat rakaatnya, Jindan duduk di depan televisi. Dia membiarkan benda itu menyala tanpa ada niat untuk menontonnya. Tangannya justru sibuk dengan ponsel. Dia biarkan bungkusan nasi telentang menggoda di depannya. Perutnya sungguh lapar tapi hatinya tidak tenang. Istrinya belum pulang. “Dia ke mana sih? Kenapa jam delapan belum pulang juga? Memangnya di rumah makannya tidak ada sistem shift? Kalau begini dia mau pulang jam berapa? Argghh!! Baru satu hari jadi istri sudah bikin kepala mau pecah saja!!” Jindan benar-benar menahan segala amarah untuk istrinya. “Ini kenapa juga tadi nggak saling tukar nomor WA?? Ah! Aku lupa kalau dia tidak punya ponsel. Kalau sudah begini aku harus bagaimana? Tadi pagi aku juga Cuma ngasih dia dua ratus ribu untuk makan dan ongkos pulang. Apa lagi-lagi dia kecopetan? Semoga saja enggak. Ya Allah, aku dengar teman-temanku lebih banyak senangnya sama istrinya. Kenapa istriku justru seperti ini?” Jindan mendengus. Namun sedetik kemudian, dia meralat ucapannya. “Ya Allah kenapa sejak punya istri aku jadi sering menggerutu dan mengeluh??” Dia pun menggelengkan kepalanya. Jindan mengela nafasnya dalam-dalam. Dia memutar-mutar ponselnya. Matanya tidak bisa fokus. Kepalanya sesekali melirik jendela. Dia sengaja membuka jendela rumahnya lebar-lebar. Siapa tahu istrinya lewat. Namun setelah sekian lama yang ditunggu tidak juga datang. Jindan mulai tidak sabar. “Hah, sudahlah! Lebih baik aku mulai makan saja dari pada menunggu gadis tidak tahu diri itu. Lebih baik menikmati ayam goreng dan sambal ini. Dia sudah besar. Dia bisa meminta tolong temannya untuk memesankan ojek online. Hidup jaman sekarang sudah tidak susah. Ada banyak cara untuk pulang.” Jindan pun menikmati makan malamnya yang sudah sangat terlambat sambil terus menggerutu. Meski begitu, matanya tetap saja mengawasi jendela dan berharap istrinya akan datang lewat pintu. Ayam goreng dengan sambal yang harusnya terasa nikmat di lidah, kini Jindan hanya merasa hambar. Ah, Jindan. Seandainya saja kamu tahu kalau istrimu sudah tidur dengan nyenyak di bawah selimut di kamar kosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD