Seorang gadis muda berjilbab melajukan motornya secepat mungkin pagi ini karena khawatir terlambat masuk kerja. Dia baru delapan bulan bekerja sebagai divisi marketing di sebuah rumah makan besar di Surabaya. Dan baru kemarin dia diangkat sebagai pegawai tetap di sana. Itulah alasannya kenapa dia tidak ingin terlambat.
Seandainya saja semalam dia tidak terlena menonton drama Korea lawas yang terus membekas di hatinya, DOTS, dia tidak akan tertidur lagi setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat. Dia selalu saja baper jika dihadapkan dengan tontonan cinta yang manis seperti itu, membuatnya ingin merasakan cinta sejati yang sesungguhnya di kehidupan nyata. Ah, sudahlah! Dia harus berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi larut menonton drama Korea jika esoknya bekerja.
Satu tahun yang lalu, dia lulus dari universitas negeri jurusan kuliner dengan nilai memuaskan. Dengan penuh percaya diri, dia melamar kerja di rumah makan Nusantara yang terkenal di Surabaya itu dan diterima.
Motor matic putih itu meliuk-liuk menyalip kendaraan di depannya. Tidak lupa hatinya terus menggumamkan salawat agar selamat sampai tujuan. Lima belas menit kemudian, dia sudah memarkirkan motornya di tempat kerja, sebuah bangunan yang cukup luas dan eksotik dengan ornamen kayu dan bambu khas Indonesia.
Baru saja dia melepas helm, ponselnya berdering. Bilqis sejenak merapikan jilbabnya sebelum membuka tas, mencari keberadaan benda kecil dan canggih itu.
Nama ayahnya tertera di layar ponsel. Senyum terbit secara otomatis di wajahnya. Dengan penuh semangat, gadis asal Jombang itu mengangkat panggilan dari ayahnya.
“Assalamu’alaikum, Ayah.”
“Wa’alaikum salam, Qis. Sudah berangkat kerja?”
“Sudah, ini baru saja sampai. Ada apa ayah menelepon?”
“Ibukmu ini lho terus saja mengingatkan ayah untuk telepon kamu. Jangan lupa nanti sore pulang. kamu tidak lupa kalau besok sepupumu nikah, ‘kan?”
“Nggak dong. Bilqis udah siap pulang kok. Nanti mau pamit Pak Rayyan mau pamit pulang cepat.”
“Ya sudah. Hati-hati. Kamu beneran pulang, ‘kan? Nggak yang kayak kemarin?” Hasan kembali menegaskan. Pasalnya, bulan lalu putrinya itu tidak jadi pulang karena hendak dijodohkan dengan putra salah satu ustaz di kampungnya.
“Iya, Yah. Asal jangan dijodoh-jodohkan seperti yang terakhir itu,” jawab Bilqis sambil terkekeh.
Lalu suasana pun menjadi hening. Bilqis sontak menelan ludahnya dengan kasar. “Yah?” Bilqis merasa sesuatu akan terjadi jika dia pulang nanti.
“Tidak ada perjodohan, Qis. Ibukmu hanya ingin mengenalkanmu dengan seorang putra teman pengajianya. Hanya berkenalan saja. Ibuk dan ayah tidak menuntut apa pun. Kalau kamu tidak cocok, ayah tidak akan memaksa.”
Bilqis mengela nafasnya. “Ayah, Bilqis sudah pernah bilang kalau akan memikirkan pernikahan saat umur dua puluh lima, ‘kan? Tolong mengerti, Yah. Bilqis masih serius bekerja.”
“Dicoba saja dulu, Qis. Apa susahnya? Anggap saja kamu sedang berkenalan dengan seorang teman baru. Pasti tidak sulit.” Ibunya tiba-tiba bersuara. Tampaknya dari tadi ibunya sudah berada di samping sang ayah dan ikut mendengarkan.
“Bu....” Bilqis tidak bisa lagi berkata-kata.
“Dia sudah lulus S2 di Malang. Insya Allah kalian akan cocok. Sekarang dia bekerja di....”
“Bu, maaf aku sudah terlambat. Aku masuk dulu ya. Nanti Insya Allah Bilqis pulang kok. Assalamu’alaikum, Ayah dan Ibu.” Bilqis langsung memotong kalimat ibunya. Dia tidak sanggup lagi mendengarkan lanjutannya. Biarlah nanti di rumah dia memikirkan cara lain untuk menghindari pria itu.
Sudah berkali-kali Bilqis bilang kalau dia belum ingin berumah tangga. Umurnya masih dua puluh dua tahun. Dia belum memikirkan rumah tangga.
Dulu, saat menjadi mahasiswa, dia pernah berteman dengan seorang pemuda yang aktif di masjid kampus. Angan tinggi di angan Bilqis mereka bisa bersanding. Namun yang dia dapat adalah rasa sakit. Ternyata pemuda itu berteman dengannya karena menyukai teman dekatnya saja. Bilqis sama sekali tidak menyangka. Di depan matanya, mereka saling mengungkap rasa. Rasa sesak dan panas mendominasi hatinya selama beberapa hari.
Dan sejak saat itu, Bilqis mengalihkan pikirannya dengan belajar dan belajar sampai wisuda dan mendapat predikat memuaskan. Setelah lulus, kebiasaan Bilqis itu terus berlanjut sampai sekarang di tempat kerja.
“Kenapa masih di sini? Tidak ingin masuk?” Suara seorang pria mengagetkan Bilqis. Dia pun menoleh.
“Eh, Pak Rayyan. Iya, ini mau masuk, Pak.” Kehadiran sang manajer yang tiba-tiba mengagetkan Bilqis yang masih teringat masa lalunya.
Sang manajer restoran itu mengangguk. “Jam kerja sudah mau mulai. Jangan terlalu lama di parkiran.”
“Iya, Pak.”
Dengan langkah tegap, Rayyan meninggalkan Bilqis di parkiran.
Bilqis segera memarkir motornya dengan baik, lalu melangkahkan kakinya masuk.
--
Suasana rumah makan cukup ramai pagi ini. Lalu keramaian itu berlanjut sampai mendekati jam makan siang. Tiga buah perusahaan menyewa ruang private untuk rapat, juga ada tiga nama lagi yang menyewa sisa ruang private. Bilqis cukup sibuk karena dia adalah tokoh marketing di sana. Hingga tidak terasa azan ashar terdengar di telinga Bilqis.
“Ya Allah! Ini beneran udah sore?” seru Bilqis dari balik mejanya. Raut panik tercetak jelas di wajahnya.
“Iya, memangnya kenapa?” Cindy, teman kerjanya yang berada di sampingnya, menyahut.
“Aku harus pulang sore ini, tapi aku belum beres-beres apalagi salat. Aku juga lupa belum pamit Pak Rayyan. Duh, gimana ini?” Bilqis semakin panik.
“Ke Jombang?”
Bilqis mengangguk sambil tangannya membereskan meja.
“Tumben banget pulang sore. Biasanya kamu pulang pagi, ‘kan? Kenapa sekarang sore?”
“Sepupuku besok pagi nikah. Nggak akan sempat kalau pulangnya besok pagi,” jawab Bilqis sambil terus menata berkas-berkas yang tadi berserakan di mejanya. “Aku ke ruangan Pak Rayyan dulu ya. Mau pamit,” ucapnya setelah mejanya rapi.
“Oke, good luck!” Cindy mengacungkan jempolnya.
Bilqis tersenyum lebar. “Makasih.”
Gadis berjilbab asal Jombang itu pun melangkahkan kakinya menuju ruang manajer yang berada di depan mejanya. Tangannya ke atas, mengetuk pintu. Setelah dipersilakan masuk, Bilqis pun membukanya.
“Pak, saya permisi mau pulang cepat,” ucap Bilqis begitu dia sudah berada di depan meja Rayyan.
“Ada apa? Apa ada masalah?” Rayyan menghentikan aksinya mencoret-coret berkas.
“Tidak ada, Pak. Saya hanya mau pulang kampung.”
“Ke Jombang?” Rayyan tampak cukup terkejut.
“Iya, Pak.”
“Sore begini? Kenapa tidak besok pagi saja?”
“Sepupu saya besok pagi nikah, Pak. Jadi sore ini saya harus pulang.”
Rayyan mengambil nafas dalam-dalam. Pena yang tadi dipegangnya, diletakkan di meja begitu saja. “Kenapa tadi pagi tidak ijin libur saja? Jadi kamu bisa pulang pagi. Jangan sore begini. Kalau berangkat sekarang, kamu sampai rumah pasti malam, Qis.”
“Tidak apa-apa, Pak. Dulu waktu kuliah juga pernah pulang sore. Insya Allah aman,” ucapnya tenang sambil tersenyum.
“Tapi saya yang....!!” Rayyan tiba-tiba menghentikan ucapannya. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya. Hampir saja dia mengatakan yang sesungguhnya. Matanya tertuju pada Bilqis. “Bagaimana kalau besok pagi saja saya antar? Kebetulan saya juga harus ke Nusantara pusat di Jombang.”
“Jangan, Pak!” Bilqis menggelengkan kepalanya dengan tegas.
Rayyan meneguk ludahnya dengan kasar. Melihat keteguhan Bilqis, dia pun hanya bisa mengalah. “Baiklah, tapi kamu harus hati-hati ya. Saya tidak ingin anak buah saya ada masalah di jalan. Hubungi saya saja kalau ada apa-apa.”
“Baik. Terima kasih, Pak.”
Keluar dari ruangan Rayhan, Bilqis langsung mengela nafasnya. Baik, satu urusan sudah selesai. Sekarang, dia harus salat dulu sebelum pulang ke kos untuk berganti baju.
“Bagaimana?” tanya Cindy.
Bilqis tersenyum dan mengacungkan jempolnya. “Aku mau salat dulu terus balik ke kos.”
“Oke!”
Baru saja Bilqis melangkah, ponselnya bergetar, seperti notifikasi pesan masuk. Bilqis pun meraih ponselnya dan melanjutkan langkah. Namun itu tidak lama. Gadis itu kembali menghentikan langkahnya saat membaca pesan dari sang ibu.
“Jangan lupa pulang. Ibu sudah membelikanmu rok dan baju yang sangat cantik. Ibu ingin kamu tampil cantik besok apalagi putra teman ibu itu juga cukup tampan.”
Bilqis sontak meremas ponselnya. Matanya terpejam erat. Kenapa ibunya masih saja memaksa untuk menerima perjodohan itu???