3. Pikiran Buruk

1115 Words
“Ayo!” Jindan mengajak Bilqis kembali ke depan kontrakannya. Saat berada di dekat bangku tadi, Jindan berhenti. Bilqis pun otomatis menghentikan langkahnya. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku benar-benar capek setelah kerja dua belas jam. Aku juga tidak. bisa membiarkanmu masuk. Aku hidup sendiri. Kamu tidak apa-apa makan dulu di sini?” Bilqis segera mengangguk dengan cepat. Sejujurnya dia juga akan merasa berat jika harus masuk ke kontrakan Jindan. Bagaimana pun juga mereka sudah dewasa dan tidak seharusnya berada di dalam satu rumah. Melihat jawaban Bilqis, Jindan segera memasuki rumah untuk mengambil air minum dan kobokan untuk Bilqis. Di luar, Bilqis sudah membuka bungkusan itu. “Aku salat dulu. Kamu makan saja. Kalau sudah selesai, kamu bisa tidur di kamarku.” “Hah?? Ap-apa??” Bilqis melotot tidak percaya. Jindan terkekeh. “Tenang saja, aku akan tidur di luar. Aku juga tidak ingin masuk neraka.” Setelah mengatakan itu, Jindan segera masuk untuk mandi dan shalat. Wajah Bilqis yang awalnya terkejut langsung berubah cerah. Dia merasa pria yang ditemuinya ini sopan dan baik meski mereka belum saling mengenal. Dalam hati dia sangat bersyukur karena sudah dipertemukan dengan Jindan. Seandainya dia bertemu pria lain, dia mungkin tidak seberuntung ini, mendapat makan gratis juga tempat yang aman untuk bermalam. Tiga puluh menit kemudian, Jindan keluar dengan kaos polos dan sarung. Dia juga membawa bantal, selimut, obat nyamuk, dan ponsel. “Masuklah, aku sudah menyiapkan celana dan kaos panjang di kasur. Handuk bersih ada di depan kamar mandi.” “Mmm, terima kasih. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Mas.” Bilqis menunduk dan meremas jari-jarinya. “Asal kau tidak berbohong,” ucap Jindan tajam. “Aku tidak berbohong.” Bilqis menyanggah dengan cepat. “Aku benar-benar kecopetan di bis waktu berangkat. Akhirnya tidak bisa lanjut ke Jombang dari terminal Bungurasih.” Jindan mengangguk. “Aku percaya. Sudah, sana masuk! Besok pagi kamu bisa melanjutkan perjalanan.” Bilqis segera memasuki rumah dan Jindan duduk-duduk di teras. Ya, dia memutuskan duduk di teras saja. Meski ini kontrakannya, tetap saja dia tidak ingin berada di dalam rumah bersama seorang gadis meski tidak satu kamar. Tidak! Jindan tidak ingin tergoda nikmat seorang gadis. Setelah Bilqis masuk, Jindan segera menutup pintu rumahnya. Fix! Bilqis di dalam sendiri dan dia di luar sendiri. Dengan begini, hatinya menjadi sedikit tenang. Di dalam, Bilqis celingak-celinguk. Ruang tamunya kecil tanpa perabotan. Hanya ada karpet dan televisi yang ditempel di dinding. Di bawahnya, ada meja kecil berisi buku-buku dan tas. Juga ada stoples-stoples berisi camilan. Bilqis kembali bergerak menyusuri rumah. Kali ini dia memasuki kamar. Kasurnya ukuran sedang, 120 x 180 senti. Sepreinya bercorak garis-garis dan sedikit kusut. Mungkin pemiliknya tadi tergopoh-gopoh memasangnya. Terlihat masih ada yang mencuat di beberapa tempat. Bilqis jadi tersenyum sendiri. Lalu ada gantungan-gantungan baju kerja, kemeja, sajadah dan sarung. Bilqis melihat kaos panjang dan celana training di atas kasur. Mungkin ini yang disiapkan untuk Bilqis. Sebenarnya dia membawa baju di tasnya. Tapi itu semua baju kotor yang tidak mungkin bisa dipakai lagi. Jadi, Bilqis akan memakai apa yang sudah disiapkan Jindan. Untung saja tadi dia sudah menunaikan shalat isya’. Dan di tasnya juga ada mukena untuk shalat subuh besok. Sebaiknya dia segera membersihkan diri sebelum tidur. Di luar, Jindan merasakan perutnya mulai memberontak karena belum diisi. Mau masuk, tidak enak karena ada Bilqis di dalam. Takut dikira mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tidak! Dia tidak ingin Bilqis menganggapnya pria c***l. Jindan memutuskan untuk mengambil “uang simpanan” di balik cover ponselnya. “Alhamdulillah. Lumayan ada lima puluh ribu,” ucapnya dengan senyum lebar. Jindan berdiri dan memakai sandalnya. Dia akan berjalan ke depan gang. Biasanya ada nasi goreng mangkal di sana. Tiba di depan gang, ternyata tidak ada gerobak nasi goreng. Ada satu gerobak tahu telur dan Jindan melihat banyak orang yang makan di sana. Jindan pun melangkah mendekat. biarlah antri daripada malam ini dia tidak makan. “Pak, makan sini satu.” Jindan berseru pada penjual tahu telur itu. “Maaf, Mas. Piring saya habis. Bungkus saja ya?” Jindan sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk. Penjual tahu telur pun tersenyum lebar dan mulai memasak untuk Jindan. Sepertinya dia bisa pulang lebih awal dari biasanya. Sepuluh menit kemudian, Jindan sudah membayar untuk satu porsi tahu itu. Jindan sejenak mengela nafas. Sebenarnya dia enggan masuk rumah karena ada seorang gadis asing di dalamnya. Apalagi Jindan akui kalau gadis ini sangat manis dan dia menutup dirinya dengan jilbab. Jindan suka gadis berjilbab. Dan sekarang Jindan takut khilaf. Tapi mau tidak mau dia harus masuk untuk mengambil sendok. Sangat tidak mungkin untuk memakan tahu telur dengan bumbu petis udang tanpa sendok. Setelah berkali-kali mengambil nafas, Jindan pun membuka pintu rumah dengan perlahan. Sepi. Tidak ada suara gadis itu di mana-mana. Mungkin dia sudah tidur. Jindan pun melangkah tenang menuju dapur. Saat Jindan mengambil sendok, tiba-tiba pintu kamar mandi di sampingnya terbuka. Jindan sontak menoleh. Dia berdiri mematung, tapi sedetik kemudian dia langsung memalingkan muka. Secepat kilat dia mengambil sendok dan keluar. Dia tidak boleh terlalu lama di dalam. Bisa-bisa dia benar-benar khilaf. Bilqis keluar dari kamar mandi lengkap dengan baju dan jilbab instannya. Tiap tetes-tetes air di wajahnya membuat aura kecantikannya meningkat. Dengan pencahayaan yang terang, Jindan semakin bisa melihat bagaimana gadis ini manis dan menarik di saat yang bersamaan. Kulitnya tidak putih tapi agak coklat khas Indonesia dan memiliki daya tarik tersendiri. Ditambah dengan wangi sabun yang bisa tercium dengan baik membuat Jindan tidak berkutik. “Astaghfirullah.” Jindan terus mendengungkan istighfar di mulut dan hatinya. Jindan terus saja beristighfar tapi bayangan seorang gadis yang mandi di kamar mandinya dan sekarang tidur di atas kasurnya membuat nafasnya semakin berat. Dia sudah berkali-kali menelan ludahnya. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lanjut. Jindan pun membuka aplikasi Quran di ponselnya dan mulai membaca surah Taubah. Selesai melantunkan Alquran, Jindan masih belum bisa tenang. Dia pun beralih membaca shalawat, memohon berkahnya agar diselamatkan Tuhan. Jindan semakin putus asa. Pikirannya sudah menjelajah ke mana-mana. Gemetar di tangannya belum juga reda. Malah sekarang keringat mulai muncul di tangan dan keningnya. “Ya Allah, tolong selamatkan aku. Selamatkan aku,” ucap Jindan terus-menerus sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dia teringat obat bakar nyamuk yang tadi dibawanya. Dia segera membuka mata dan menyambarnya, membakar obat nyamuk itu dan mulai menempelkan obat bakar itu ke tangan kirinya. “Ya Allah!” suara Jindan mendesis, merasakan panas menjalar kulitnya. Nafasnya naik turun akibat panas di tangannya. Sepertinya usahanya cukup berhasil. Pikirannya sedikit mengendur. Ya, hanya sedikit saja. Mendapati pikiran kotornya kembali datang, Jindan menempelkan obat bakar nyamuk itu di tangan kirinya sebelum dia membayangkan dipegang oleh gadis di kamarnya itu. Jindan terus melakukan itu entah sampai berapa kali hingga dia benar-benar yakin kalau pikirannya sudah mengendur dan normal kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD