Mariana menatap lama batu nisan bertuliskan nama anaknya itu. Tatapannya kosong, tapi di dalam dirinya, ribuan emosi berkecamuk tanpa henti. Semakin lama ia duduk di sana, semakin dalam kerinduan terhadap mendiang anaknya menggerogoti hatinya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Jantungnya berdetak sangat cepat, kepalanya terasa ringan dan berputar-putar. Ia mencoba menarik napas panjang. Mariana bangkit perlahan, menyadari bahwa jika ia tetap di sini, tubuhnya akan tumbang cepat atau lambat. “Mama pulang dulu ya, Nak. Nanti Mama datang lagi,” gumamnya sebelum berbalik. Namun baru beberapa langkah, rasa pusing itu semakin menjadi. Kakinya lemas, dunianya seolah miring. Mariana kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, seseorang dengan sigap menangkap tubuhnya dan menopangnya den