2. Aku Ingin Bercerai

1028 Words
Keesokan harinya, Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya. Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir. Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup. Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya. Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara. ‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana. Tidak ada air mata lagi yang bisa Mariana tumpahkan. Semuanya terasa hampa. Di sisi lain, Bara berdiri dengan kepala tertunduk. Wajahnya menyiratkan penyesalan, tetapi Mariana tak ingin melihatnya. Sejak di rumah sakit, ia telah berkata dengan tegas bahwa pria itu tidak lagi memiliki tempat dalam hidupnya. Bianca tak ada di antara mereka. Mariana bahkan tak ingin tahu di mana adiknya berada. Gadis itu tidak pantas berada di sini. Tak pantas menangisi bayinya yang tidak pernah bisa lagi Mariana genggam. Di samping Mariana, ibunya sesekali menyeka air mata dengan ujung jarinya. Sang ayah berdiri di belakang mereka, wajahnya tegas namun matanya menyimpan duka yang mendalam. Orang tuanya belum tahu kebenaran yang sesungguhnya. Belum tahu siapa yang telah mengkhianati Mariana. Belum tahu bagaimana dalam satu malam, hidupnya hancur berantakan—kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan segalanya. Dan Mariana tak tahu apakah ia sanggup memberi tahu mereka. Pemakaman telah selesai, dan satu per satu pelayat pun bubar. Namun Mariana sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Seorang perempuan setengah baya, ibu Mariana, menepuk pundaknya dengan lembut. “Mariana, kita pulang sekarang, hm?” Mariana masih diam. Pulang? Ke mana? Rumahnya sudah bukan rumah lagi. Kamar yang telah ia persiapkan untuk bayi kecilnya dengan penuh cinta kini hanya menjadi ruang kosong yang menyimpan kepedihan. Dan kamar tidurnya bersama Bara hanya akan mengingatkannya pada pengkhianatan paling keji. Pria itu bergumul bersama adiknya tepat di atas kasur mereka. Tanpa menjawab, Mariana hanya memandang tanah itu sekali lagi. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta bisikan yang entah berasal dari mana. Ia menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Tatapannya tetap terpaku pada tanah basah itu, seolah berharap keajaiban bisa mengembalikan bayinya. Namun, kenyataan tak sebaik itu. Dengan langkah lemah, ia bangkit dari posisinya. Kakinya hampir tak sanggup menapak, seakan nyawanya sendiri ikut terkubur bersama bayinya. Hari ini, Mariana bukan hanya kehilangan anaknya. Hari ini, ia kehilangan segalanya. *** Usai dari pemakaman, Mariana memilih pulang ke rumah orang tuanya. Setidaknya masih ada tempat yang bisa dituju selain rumahnya bersama Bara. Sepanjang perjalanan, Mariana menatap kosong jalanan di luar jendela mobil. Tidak ada percakapan yang terdengar di dalam kendaraan itu. Hanya deru napas yang bersahutan dalam keheningan. Di samping Mariana, ibunya mengamati putri sulungnya itu dengan cemas. Sejak tadi malam, Mariana belum mengucapkan sepatah pun kata. Dan itu membuat ibunya merasa khawatir. “Mariana,” panggil ibunya. Mariana menoleh ke samping, menatap ibunya dengan pandangan kosong. Bibirnya seakan terkunci, Mariana tidak mengucapkan apa pun. Mata ibunya tampak berkaca-kaca. “Ibu mengerti kamu merasa sangat terpukul. Tapi, kamu harus kuat ya,” ucapnya seraya menggenggam punggung tangan Mariana. Kuat? Bagaimana ia bisa kuat di tengah semua hal yang memaksanya untuk hancur? Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai ayah Mariana memasuki halaman rumah. Begitu kendaraan berhenti, Mariana langsung turun dan melangkah masuk ke dalam kamarnya saat masih gadis dulu. Mariana duduk di ujung ranjang dengan tatapan kosong. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi ada sesuatu yang lain—sensasi nyeri di dadanya. Mariana menunduk. Pandangannya jatuh pada noda basah di bajunya. ASI. Meskipun bayinya sudah tiada, tubuhnya masih mengira ada kehidupan yang harus ia beri makan. Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, dan tanpa bisa ditahan, tangisnya pecah lagi. Bahkan setelah kehilangan segalanya, tubuhnya masih mengingat bahwa ia adalah seorang ibu. Namun, kini tak ada lagi bayi yang bisa disusuinya. “Ya Tuhan …,” lirih Mariana di sela isak tangisnya. Ketukan pelan terdengar sebelum pintu perlahan terbuka. Di ambang pintu, ibunya berdiri sejenak sebelum melangkah masuk. Mata perempuan itu masih sembap, tetapi raut wajahnya tetap lembut saat menatap putrinya yang duduk diam di tepi ranjang. “Mariana,” panggilnya lirih. “Di luar Bara menunggumu. Katanya dia ingin bicara.” Mariana tidak langsung bereaksi. Ia tetap diam dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti di pipinya. Kepalanya terasa berat, pikirannya pun masih kacau. Perasaan sesak masih mengunci dadanya rapat-rapat. Sang ibu melangkah lebih dekat, lalu duduk di sampingnya dengan ragu-ragu. Jemarinya menyentuh punggung tangan Mariana, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. “Apa kalian bertengkar?” tanya ibunya hati-hati. Selama ini ia jarang sekali melihat Mariana mengabaikan suaminya seperti itu. Sekali pun mereka bertengkar, dengan sifat Mariana yang berhati lembut, putrinya itu bahkan masih memperhatikan Bara. Tapi kali ini ada yang berbeda. Mariana benar-benar mengabaikan Bara, bahkan terlihat tak sudi untuk menatapnya. Mariana masih tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah kata-kata ibunya tidak sampai ke telinganya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar napas lirih di antara keduanya. Setelah beberapa saat, Mariana akhirnya menoleh, menatap ibunya dengan mata sayu yang penuh luka. Suaranya nyaris tidak terdengar ketika ia berkata, “Aku akan menemui Bara.” Ibunya mengangguk pelan, namun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia berdiri dan mengekori Mariana yang perlahan bangkit dari ranjang. Dengan langkah lemah, Mariana berjalan keluar dari kamar dan membiarkan ibunya mengikuti dari belakang. Begitu tiba di ruang tengah, pandangannya langsung bertemu dengan Bara yang duduk di samping ayahnya. Pria itu tampak lelah, matanya merah seperti baru saja menangis. Namun Mariana sama sekali tidak peduli. Ia tidak ingin mencari tahu apakah Bara benar-benar menyesali perbuatannya atau tidak. Baginya, semua itu sudah tidak ada artinya lagi. Kenyataan bahwa Bara membunuh anak mereka sama sekali tidak bisa ditepis begitu saja oleh Mariana. Mariana berhenti tepat di depan Bara. Tanpa basa-basi, ia membuka mulut dan mengucapkan kata yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya dengan lantang. “Aku ingin bercerai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD