4. Saudara Tidak Tahu Malu

1073 Words
Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana. Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat. “Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan. Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap. “Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana. Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu. Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” desaknya, lalu terdiam sebentar sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara bergetar. “Dia berselingkuh, Mas. Pria kurang ajar itu berselingkuh dengan—” Armand menatap istrinya dengan sorot tajam sementara tubuhnya menegang. “Apa?! Berselingkuh? Dengan siapa?” tanyanya dengan suara tinggi. Ratna menggigit bibirnya cukup kuat sebelum akhirnya mengucapkan sebuah nama dengan suara yang nyaris patah. “Bianca,” sahutnya lemah. Hening. Untuk sesaat, Armand tidak bereaksi. Matanya membelalak sementara napasnya tertahan di tenggorokan. Kata-kata istrinya bergema di kepalanya, tetapi otaknya menolak untuk memprosesnya. Ketika akhirnya kesadaran menghantamnya dengan keras, wajah pria tua itu memucat. Rahangnya mengeras hingga otot-otot di pelipisnya menegang. “Tidak ….” Armand menggeleng, seolah menolak untuk memercayai apa yang baru saja didengarnya. “Itu tidak mungkin.” Ratna menutup mulutnya, mencoba menahan isakannya yang semakin pecah. “Aku berharap begitu, Mas… tapi Mariana melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Mereka berdua ….” Suaranya terputus dan tubuhnya sedikit limbung, membuat Armand waspada untuk segera menopangnya. Namun pria tua itu sendiri masih terkejut. Tangannya yang memegang bahu Ratna ikut bergetar. Ada kemarahan, kekecewaan, juga kesedihan yang bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Armand mengepalkan tangannya, matanya memerah. Lalu dengan suara bergetar menahan amarah, ia bertanya, “Di mana Bianca sekarang?” Ratna menatap suaminya dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. “Di kamarnya,” jawabnya dengan suara bergetar. Tanpa menunggu lebih lama, Armand langsung melangkah dengan penuh amarah menuju kamar Bianca. Tangannya mengepal erat hingga urat-urat tangannya tercetak jelas di bawah kulitnya. Napasnya berat menahan kemarahan yang siap meledak kapan saja. Tanpa mengetuk, Armand langsung membuka pintu kamar Bianca dengan kasar. Gadis itu, yang sedang duduk di tepi ranjang, tersentak kaget saat melihat ayahnya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi marah. “A-Ayah?” ucap Bianca terbata, seakan tahu apa yang membuat ayahnya begitu marah saat mendatanginya di kamar. Namun Armand tak memberinya kesempatan untuk bicara lebih jauh. Dengan cepat, ia meraih pergelangan tangan putri bungsunya itu dan menariknya berdiri dengan kasar. “A-Ayah! Lepaskan! Sakit!” Bianca berusaha meronta, tetapi genggaman Armand begitu kuat. Tanpa menghiraukan protes putri bungsunya itu, Armand menyeretnya keluar dari kamar dengan langkah cepat. Bianca semakin panik saat menyadari ke mana arah tujuan ayahnya membawanya. “Ayah! Jangan! Ayah! Bia nggak mau!” Bianca meronta semakin kuat saat mereka sampai di depan kamar Mariana. Armand masih tak menghiraukan gadis itu dan langsung mendorong pintu kamar hingga terbuka. Di sana, Mariana masih terduduk di ranjang dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat dan lelah seperti kehabisan energi untuk sekadar bereaksi. Sementara matanya bengkak karena terlalu banyak menangis sebelumnya. Armand mendorong Bianca masuk, hingga membuat gadis itu hampir kehilangan keseimbangan. “Minta ampun pada kakakmu! Sekarang!” Suara pria tua itu menggema dalam ruangan. Bianca masih gemetar dan ketakutan jelas terpancar di wajahnya. Tatapan ayahnya yang penuh kemarahan membuat nyalinya menciut. Namun saat ia menoleh ke arah Mariana, sesuatu dalam dirinya berontak. Tangannya mengepal kuat, ketakutannya perlahan tergeser oleh amarah yang mulai menguasainya. Napasnya memburu dan sorot matanya yang semula penuh kecemasan kini berubah menjadi tajam. Armand semakin geram melihat sikap putrinya yang bukannya menyesal, malah menunjukkan perlawanan. Dengan suara bergetar menahan amarah, ia bertanya, “Apa kamu bahkan sadar dengan yang sudah kamu lakukan, hah?! Berani sekali kamu berselingkuh dengan kakak iparmu sendiri, Bianca!” teriaknya. Bianca terdiam sejenak, tetapi hanya untuk kemudian menegakkan tubuhnya dan menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. “Justru karena Bia sadar, makanya Bia melakukannya!” sahut Bianca dengan suara penuh penekanan. Ia melirik sekilas ke arah Mariana sebelum kembali menatap ayahnya. “Selama ini kalian selalu membandingkan Bia dengan Kak Mariana. Kalian selalu membanggakannya dan nggak pernah memperlakukan Bia dengan sikap yang sama.” Mata Bianca memerah, bukan karena ingin menangis, melainkan karena kemarahan yang selama ini ia pendam. Dan hari ini, kemarahan itu akhirnya meledak. “Karena itu, mengambil sedikit kebahagiaan Kak Mariana nggak ada salahnya, ‘kan? Selama ini Kak Marinana sudah mendapat banyak kebahagiaan dari kalian.” Ratna yang sejak tadi berdiri dengan tubuh lemah, langsung menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Wajahnya semakin pucat seiring dengan setiap kata yang keluar dari mulut putri bungsunya itu. Mata Armand semakin menyala karena marah. “Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar! Jadi karena iri, kamu merasa berhak merusak rumah tangga kakakmu sendiri?! Kamu ini masih punya hati atau tidak, hah?!” bentaknya. Bianca tetap berdiri tegak, menatap ayahnya dengan sorot mata yang membara. “Iya! Bia belajar dari Ayah dan Ibu! Bia nggak punya hati karena kalian!” serunya tanpa ragu. PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Bianca. Kepala gadis itu terpelanting ke samping dan rasa perih menjalar cepat di kulitnya. Ia mengangkat tangan memegangi pipinya yang berdenyut. Meski begitu, sorot matanya tak surut oleh api perlawanan. Air mata menggenang di pelupuknya, bukan karena sakit, tetapi karena ketidakadilan yang ia rasakan. “Bia cuma mengambil sedikit kebahagiaan Kak Mariana, tapi Ayah langsung memperlakukan Bia seperti ini?” suaranya bergetar karena emosi. “Ini nggak adil!” Mariana yang sedari tadi hanya diam di atas ranjang, akhirnya bangkit dan melangkah cepat menghampiri Bianca. Dengan satu gerakan cepat, sebuah tamparan keras melayang ke pipi adiknya itu. PLAK! Tamparan kedua mendarat di sisi lain wajah Bianca. Meski tidak sekeras tamparan ayah mereka, tapi cukup untuk membuat Bianca terdiam. Kali ini bukan hanya pipi Bianca yang terasa panas, tapi juga harga dirinya yang tercabik. Ruangan dipenuhi ketegangan yang nyaris meledak, sampai akhirnya— “Bu!” Seruan Armand memecah keheningan saat tubuh Ratna tiba-tiba limbung. Wajah wanita itu seketika pucat, pandangannya kosong sebelum akhirnya ia jatuh pingsan di tempat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD